Satirenya The Juice Media: Petaka atau Faedah Bagi Komunikasi Publik Pemerintah?

Satirenya The Juice Media: Petaka atau Faedah Bagi Komunikasi Publik Pemerintah?

Sumber Gambar: thejuicemedia.com

SKETSA - The Juice Media (TJM) merupakan salah satu perusahaan di Australia yang terkenal karena rutin membuat konten satire politik dan sosial kontemporer. “We make honest government ads,” begitulah kira-kira yang mereka tuliskan dalam deskripsi kanal Youtube-nya.

TJM didirikan oleh seorang sejarawan Australia, penulis, satiris, sekaligus produser video, Giordano Nanni. Tayangan perdana TJM mulai dipublikasikan sejak 12 tahun lalu, tepatnya pada 4 Oktober 2009. Usai sukses dengan episode pertamanya yang berjudul Juice Rap News, media ini kembali meluncurkan seri ‘iklan jujur pemerintah’ pada 28 Mei 2016. Seri itulah yang sering kita kenal dengan istilah  Honest Government Ad Series.

Hadirnya iklan satire yang diproduksi TJM lantas menimbulkan pertanyaan. Apakah komunikasi yang dilakukan pemerintah selama ini hanya sebuah pencitraan dan mengabaikan fakta sosial yang ada?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, awak Sketsa mencoba menghubungi Johantan Alfando salah satu dosen FISIP Unmul yang mendalami kajian media, Kamis (2/12).

Menurut Johantan, hal tersebut dapat ditinjau melalui dua perspektif yakni publik dan pemerintah. Dalam perspektif pemerintah, kehadiran media semacam ini tentu terlihat sebagai sebuah ancaman, sebab informasi yang dihadirkan kerap kali tak selalu positif layaknya hal yang diinginkan pemerintah.

“Kalau kita berbicara dari perspektif pemerintah, memang (TJM) ini terlihat sebagai sebuah ancaman atau lebih tepatnya sebagai pengganggu dalam jalannya pemerintahan,” paparnya melalui aplikasi Zoom Meeting, Kamis (2/12).

Sedangkan dalam perspektif publik, masyarakat dapat memiliki sumber yang lebih beragam. Tidak hanya mengetahui informasi positif yang diberikan pemerintah, tetapi masyarakat juga didorong untuk kritis mempertimbangkan lewat berbagai sumber yang tersedia.

“Jadi kalo dari sisi publik, (hal) ini dapat dijadikan sumber pertimbangan. Tetapi bukan sebagai acuan untuk langsung percaya, karena akun-akun seperti ini informasi yang (mereka) sajikan (juga) patut dipertimbangkan.” 

Tak hanya melayangkan sindiran-sindiran kepada pemerintah Australia saja, bahkan salah satu konten TJM pernah diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2019 lalu. Isi kontennya membahas mengenai kekerasan aparat terhadap warga asli hingga eksploitasi sumber daya alam di Papua Barat, dengan gaya satire yang khas dari media ini.

Apakah tindakan Kominfo tersebut semakin menguatkan asumsi bahwa pemerintah memiliki komunikasi publik yang buruk?

Lebih lanjut Johantan menilai tindakan yang dilakukan Kominfo sudah tepat, sebab konten yang disajikan TJM kala itu berpotensi mengganggu keutuhan negara. Apalagi jika konten tersebut hadir di situasi Indonesia yang sedang berjuang melawan pandemi. Baginya masyarakat sudah cukup jenuh dengan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah akibat kebijakan yang selalu berubah-ubah.

“Meskipun informasi yang diblokir itu benar, itu bisa membuat negara ini tambah kacau. Kita tahu sendiri bahwa informasi itu sama saja seperti isu teroris yang bisa mengancam keutuhan negara. Apalagi (jika) ternyata informasi yang tersebar itu tidak benar dan membuat kegaduhan."

"Sebenarnya itu kritik dengan cara komedi dari apa yang saya nilai, sama dengan Juice Media bisa dikatakan efektif kalau dilihat. Karena buktinya saja Kominfo memblokir, kan. Artinya pesannya sampai ke pemerintah gitu, ya," tambahnya.

Jika menilik kultur masyarakat Indonesia tatkala menerima informasi, Johantan menilai penerimaan atas penyajian beragam informasi untuk masyarakat Indonesia yang majemuk, kerap lebih sensitif dibanding kondisi negara lain. Namun, bagaimana pun masyarakat memiliki hak atas informasi dan edukasi yang jelas. Sebagaimana Pasal 28F UUD 1945.

Johantan menambahkan bahwa fenomena hadirnya media seperti TJM ini punya kemiripan dengan akun calon Presiden (Capres) fiktif yang sempat viral di media sosial pada 2019. Kehadiran akun yang mengusung Nurhadi-Aldo sebagai pasangan calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden ini atas dasar kegerahan dengan suasana menjelang pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. 

"Positifnya tadi bisa jadi bahan masukan pemerintah, lebih mudah masuk, lebih mudah sampai pesannya. Kalau bicara negatif, publik takutnya enggak percaya (sama pemerintah). Lebih baik hal-hal seperti ini menjadi sebuah balancing informasi saja. Kadang, kan, kasus-kasus yang tidak terungkap di pemerintah, biasanya di akun-akun seperti ini (malah) muncul. Tinggal user-nya lagi, bisa enggak melihat ini secara cermat," pesannya menutup sesi wawancara bersama awak Sketsa. (ems/ahn/nkh/rst)