Sumber Gambar: Istimewa
SKETSA - Beberapa waktu lalu insan farmasis dibuat kecewa lantaran RUU Kefarmasian dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020 DPR RI. Bentuk kekecewaan tersebut kemudian disampaikan ramai-ramai di media sosial dengan menggunakan tagar #FarmasiKecewa dan #Pray4Farmasi, dan sempat puncaki trending topic di Twitter.
Banyak yang menyayangkan keputusan DPR itu, karena tidak hanya berdampak pada pekerja farmasi, tapi juga pasien. Keselamatan dan peningkatan kualitas hidup pasien serta masyarakat yang menjadi dasar perlunya RUU Kefarmasian sebagai payung hukum yang kuat. Tanpa RUU Kefarmasian maka sulit untuk membuat keteraturan dalam pelaksanaan pelayanan farmasi.
“RUU Kefarmasian ini sangat penting, dan diharapkan dapat segera terwujud menjadi undang-undang. Kita ketahui bahwa bidang kefarmasian sangat luas, sehingga tanpa RUU Kefarmasian, pelaksanaan tugas sebagai farmasis tidak bisa maksimal,” ungkap dosen Fakultas Farmasi Unmul, Islamudin saat dihubungi Sketsa (28/7).
Islamudin menyebutkan seperti halnya dalam pengawasan obat, makanan, dan kosmetik. Para apoteker tidak bisa berbuat banyak karena terhalang aspek legalitas dan payung hukum yang kurang mendukung, meski sudah dibekali pengetahuan yang mumpuni.
Kemudian, di bidang lainnya seperti farmasis di rumah sakit dan puskesmas. Para apoteker tak bisa menjamin jika obat yang diberikan kepada pasien sudah tepat sasaran, tepat dosis, dan tepat penggunaan, lagi-lagi karena keterbatasan wewenang.
"Bagian distribusi obat, apoteker/farmasis hanya sebatas tukang teken saja karena semua diatur oleh pemilik modal, sama halnya di apotek. Oleh karena itu, harapan jika RUU Kefarmasian ini disahkan, maka peran apoteker dapat maksimal sesuai dengan ilmu yang dikuasai, belum lagi berbicara dari hulu ke hilir,” jelasnya.
Sama seperti Islamudin, Naufal sebagai mahasiswa Farmasi sangat mendukung pembahasan RUU Kefarmasian di DPR. Dia menganggap masih banyak masalah terkait kefarmasian yang muncul karena tidak adanya regulasi yang jelas, seperti kemunculan obat ilegal dan palsu di masyarakat.
Menurutnya, aksi yang dilakukan di media sosial tersebut sudah sewajarnya dilakukan dan cukup menggambarkan kekecewaan mereka. “Bahkan dicabut itu kita tidak tahu bakal dibahas 2021 kah bakal dibahas di 2022 kah. Makanya teman-teman farmasi ini tetap ingin mendesak. Karena kami ini tidak memiliki payung hukum," ujar mahasiswa angkatan 2018 itu, (11/8).
“Farmasi itu belum ada kejelasan payung hukum yang kuat dalam mengakomodir seluruh pekerjaan, pendidikan, yang menyeluruh di kefarmasian. farmasi ini udah lumayan tua tapi masih begini begini saja,” tambahnya. (bey/fzn/nhh/wil)