SKETSA – Sendatnya alur komunikasi, perjalanan tahap demi tahap yang lamban, dan birokrasi yang agaknya berbelit antara birokrat dengan mahasiswa perihal anggaran kemahasiswaan, membuat sejumlah lembaga kemahasiswaan dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bingung sekaligus resah berkepanjangan.
Alif Mustofa Ketua DPM KM Unmul 2017 mengatakan setiap awal tahun selalu ada pertemuan dengan birokrat. Tujuannya adalah untuk membahas anggaran kemahasiswaan. Namun, setelah itu rentang waktu pertemuan kembali untuk membahas evaluasi daya serap anggaran bersama bendahara kemahasiswaan terbilang cukup lama. Evaluasi baru dilakukan sebulan sebelum tutup buku.
Alif berdalih rentang waktu selama itu membuat sejumlah UKM kebingungan. Laporan pertanggungjawaban (LPJ) dan surat pertanggungjawaban (SPJ) yang diajukan nasibnya jadi tidak jelas.
“Jadi teman-teman UKM ini setidaknya yang mau kegiatan mengajukan proposal lalu SPJ-an, tapi enggak tahu kelanjutannya bagaimana dengan birokrat,” ujar Alif.
DPM KM Unmul pada 2017 menerima kucuran anggaran Rp55 juta dan hingga akhir kepengurusan yang terserap hanya Rp39 juta. Dana paling banyak terserap, kata Alif, saat pelaksanaan Pemira 2018 yang menghabiskan dana hingga Rp31 juta. Alif mengakui Rp16 juta dana anggaran yang tersisa terjadi karena kurangnya kreativitas anggota DPM KM Unmul sendiri dalam memaksimalkan anggaran.
Adapun, program kerja DPM KM Unmul 2017 meliputi Pemira, Kongres KM, penjaringan, evaluasi caturwulan BEM KM Unmul, serap aspirasi, dan badan legislasi. DPM KM Unmul pun punya program nasional seperti BEM KM Unmul, bernama Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) yang tahun ini rencananya akan diselenggarakan di Bandung dan Manado.
Alif mengatakan untuk skala regional FL2MI belum berjalan, namun sejauh ini sudah ada deklarasi FL2MI regional untuk Kaltim–Kaltara. Perjalanan dinas yang dilakukan dari FL2MI ini pun akan masuk dalam anggaran kemahasiswaan.
“Karena kalau BEM dan DPM biasanya banyak porsi perjalanan dinasnya untuk relasi,” jelasnya.
Merasa Anggaran Kurang, Tapi Tak Habis hingga Gagal Juara
Kegelisahan yang sama juga disampaikan Rizwan Fahrony sebagai Ketua Bina Prestasi UKM Mulawarman Chess Club (MUCC/Catur) 2017. Ia merasa dana kemahasiswaan yang diterima UKM Catur sebesar Rp23 juta masih kurang, ditambah lagi lambannya proses pencairan dana dari rektorat setelah menyelesaikan LPJ.
Berbeda dengan DPM KM Unmul yang orientasinya penyelenggara legislasi dan UKM relasi, UKM Catur sebagai UKM prestasi memang acap mengirim anggotanya mengikuti perlombaan baik di level regional hingga nasional. Dan dana yang dibutuhkan untuk itu pun seringnya tidak kecil.
Rizwan mengisahkan akhir April sampai awal Mei tahun lalu, UKM Catur mengirimkan satu tim yang berisi empat orang dan dua anggota individu untuk mengikuti kejuaraan yang digelar di Surabaya. Dalam satu kali perjalanan itu menghabiskan dana sekitar Rp14 juta.
“Kami tidak juara karena kecapekan dan tidak ada yang menjadi official. Karena kekurangan orang jadi apa-apa di sana kami semua yang ngurus,” katanya.
Menurut Rizwan, dana anggaran UKM Catur yang disediakan tahun lalu cuma cukup sekali mengirim anggota ke kejuaraan nasional, padahal idealnya dua kali. Keterlibatan pertama ditujukan untuk mencari pengalaman, keterlibatan kedua baru dimaksimalkan membawa pulang gelar.
“Ini malah enggak ada pengalaman, tiba-tiba datang langsung nyari juara,” ujarnya.
Pernyataan Rizwan mengenai kurangnya anggaran agaknya kontradiktif karena dari Rp23 juta yang disediakan, UKM Catur hanya memakai Rp20 juta. Bahkan dalam proses pergantian kepengurusan Desember lalu—yang menjadikan Rizwan kini Bendahara Umum, tidak dilaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) sekadar cukup musyawarah sederhana.
Usut punya usut, hal tersebut terjadi karena anggota UKM Catur tidak lagi kuat untuk menalangi biaya Mubes. Ditarik jauh musababnya kembali lagi pada proses pencairan anggaran yang lamban. Kemudian menjadi terputar-putar di sanalah urusan anggaran kemahasiswaan ini. (erp/wal/aml/els)