Sumber: Istimewa
SKETSA - Meski Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo tengah terjerat kasus korupsi terkait ekspor benih lobster dengan dugaan gratifikasi atas izin eksportir, polemik yang menyangkut benih lobster masih terus mengikuti. Berbuntut dari kebijakan Edhy yang tertuang pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di Wilayah Indonesia. Menyebabkan gugurnya kebijakan yang dibuat oleh Susi Pudjiastuti selaku Menteri KKP sebelumnya pada Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster.
Kebijakan yang menawarkan produk laut tanah air kepada negara asing, dengan daya jual benih lobster yang tinggi hingga menembus nominal Rp150 ribu per ekor tersebut diharapkan mampu mendongkrak perekonomian negara oleh Kementerian. Namun, pro dan kontra tak terbendung pada berbagai kelompok masyarakat. Bagaimana civitas academica Unmul menanggapi hal ini?
Sempat diwawancarai oleh Sketsa pada Selasa (8/12), Esti Handayani Hardi menyampaikan bahwa langkah pemerintah dalam mengatur ekspor benih lobster sudah tepat. Sebab ada atau tidaknya regulasi yang mengatur tentang ekspor benih lobster, kegiatan ekspor tersebut akan terus berjalan. Jika tidak ada peraturan terhadap ekspor benih lobster, pemerintah tidak akan menerima keuntungan dari aktivitas ini.
“Negara sebenarnya melegalkan ekspor benih lobster itu benar menurut saya. Karena tanpa ada regulasi dari pemerintah, ekspor tetap berjalan tetapi ilegal. Kalo ilegal, nggak ada negara diuntungkan. Nol pendapatannya dan hanya masuk ke dalam kantong-kantong eksportir ilegal. Sehingga perlu dilakukan legalisasi dengan pengaturan yang sangat ketat,” pungkasnya.
Ia menjelaskan, kebijakan perizinan ekspor lobster merupakan pilihan yang terbaik saat ini. Esti menuturkan, regulasi diambil sebab pemerintah dan stakeholder yang terlibat belum dapat mengolah pembudidayaan lobster secara optimal. Namun, jika mereka dapat mengolah budidaya lobster dengan optimal, maka ekspor benih lobster harus dihentikan.
“Pemerintah harusnya akan melarang ekspor jika negara sudah berhasil atau masyarakatnya sudah berhasil melakukan budi daya. Kalau belum, nggak papa ekspor aja. Tapi kalau misalnya negara, masyarakat, perguruan tinggi dan balai riset sudah bisa mengembangkan budi daya dengan sangat baik, pemerintah harus menghentikan perizinan,” tegas Esti.
Boby Fathur Rachman, Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unmul menyatakan penolakannya terhadap kebijakan tersebut. Menurutnya, nasib nelayan yang berlokasi di pesisir akan semakin terpuruk karena masih menggantungkan kegiatan transaksi pada pedagang perantara yang membeli hasil tangkapan nelayan dengan harga terjangkau.
“Solusi terbaik adalah KKP atau DKP tiap kota dan provinsi dapat mendata dan memfasilitasi tempat pendaratan ikan, serta memberi edukasi pada nelayan mengenai pengolahan ikan yang baik agar dapat meningkatkan nilai jualnya,” terang Boby pada Sketsa, Kamis (10/12).
Selain solusi, Boby berharap KKP dapat mengeluarkan kebijakan alternatif atau pendukung dari pencabutan regulasi sebelumnya. Hal tersebut dapat mendukung pengembangan budi daya lobster dalam negeri dan memenuhi kuantitas sebelum melakukan ekspansi ke luar negeri.
“Kami berencana melakukan audiensi terkait fenomena tersebut dengan DKP Kaltim. Kami akan kawal tak hanya perihal lobster. Sejumlah permasalahan kelautan lain akan kami suarakan, seperti pengadaan alat tangkap cantrang yang kembali diperbolehkan, nasib nelayan andon hingga RZWP3K Kaltim. Rencana kami akan bertemu dinas terkait dalam waktu dekat,” tegasnya.
Sebelumnya, pihak BEM FPIK telah mengeluarkan pernyataan sikap yang memuat tiga tuntutan terkait kebijakan ekspor benih lobster. Tertuang pada dokumen Kajian Lobster BEM FPIK Unmul, mereka meminta pelaku penangkapan dan pengekspor lobster ilegal agar memperoleh hukuman secara tegas.
Selain itu, mereka berharap agar peran pemerintah semakin optimal dalam upaya pemerataan distribusi dan infrastruktur budi daya lobster di Indonesia guna meningkatkan kuantitas dan kualitas benih lobster. Terakhir, mereka mengajak agar masyarakat sadar dengan kondisi nelayan saat ini.
Dihubungi Sketsa pada Jumat (11/12), Iwan Suyatna selaku Dekan FPIK Unmul turut menganggapi kebijakan ini. Menurutnya, pergantian menteri tentunya akan menerbitkan kebijakan yang berbeda dan memiliki dampak yang berbeda pula. Iwan menyebut, kebijakan yang diambil Edhy sulit untuk diawasi dan berpotensi menimbulkan praktik kecurangan dalam perizinan ekspor.
“Benih ekspor sebenarnya boleh diambil, asal sesuai perhitungan. Saya pribadi bisa saja menghitung jumlah baby lobster yang ditangkap dan diekspor. Tetapi siapa yang bisa mengawasi di lapangan ngambil sekian, (atau) ada persaingan antar perushaan dan nelayan.”
“Yang menjadi persoalan, kebijakan dari perizinan perusahaan eksportir. Ada perusahaan yang sudah ngantri mendaftar ke KKP untuk diberi izin ekspor. Banyak yang gak dapat, sementara ada beberapa perusahaan (yang) baru saja daftar (tapi) dia diprioritaskan. Ternyata perusahaan tersebut ada kongkalikong,” lanjutnya.
Ia juga menambahkan, kebijakan yang mengizinkan ekspor benih lobter ini dapat mengancam ketersediaan benih lobster itu sendiri. Iwan menyampaikan sikap dukungannya terhadap pelarangan ekspor benih lobster.
“Kalo saya pribadi, sebagai orang perikanan saya sepakat pelarangan kebijakan baby lobster. Karena tidak banyak dan tumbuhnya lama, jika diizinkan ekspor maka akan mengancam populasi. Intinya, saya kalo boleh mewakili (civitas) academica, saya tidak mengizinkan. Tutup saja kebijakan ini mumpung masih bermasalah,” tutupnya. (fzn/syl/hdt/len)