SKESTA - Tindakan penyelesaian kasus asusila perlu ketegasan tanpa pandang bulu. Apalagi jika sudah menyangkut soal pelecehan dan kekerasan seksual. Akhir-akhir ini marak dukungan untuk Agni, mahasiswi yang mempertanyakan kejelasan penyelesaian kasus pelecehan yang dialaminya. Ada juga Baiq Nuril, yang dinyatakan sebagai terpidana atas pelecehan yang dilakukan rekannya sendiri. Keduanya merupakan penyintas dan pencari keadilan.
Isu pelecehan dan kekerasan seksual seperti membuka kasus lainnya yang tak jauh berbeda. Beberapa waktu lalu, terungkap kasus pelecehan seksual dalam sebuah organisasi di Samarinda. Sebagai bentuk dukungan dan kepedulian, beberapa waktu lalu mahasiswa Unmul lakukan aksi solidaritas dalam Selasa Ilmiah.
(Baca sebelumnya, https://sketsaunmul.co/berita-kampus/dukungan-selasa-ilmiah-untuk-penyintas-pelecehan-seksual/baca)
Penyintas Lain di Samarinda
Bukan hanya nama-nama mereka yang kini terendus media, Agni dan Baiq Nuril yang mengalami tindakan asusila. Di Samarinda, melalui akun Instagram Lingkar Studi Kerakyatan (LSK) pada Selasa (13/11) lalu, pihaknya menyatakan pernyataan sikap terbuka atas kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh tiga anggotanya.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan LSK sejak penerimaan laporan pada Minggu (4/11), diketahui nama-nama yang terlibat sebagai pelaku dalam kasus ini dengan inisial J seorang aktivis, NP aktivis dan wartawan, serta SP yang merupakan seorang wartawan. Dua di antaranya tercatat pernah menjadi mahasiswa Unmul, sedang satu masih aktif sebagai mahasiswa Unmul.
Dengan tegas, tertulis dalam pernyataan sikap tersebut ketiganya menerima sanksi atas hal melenceng yang sudah dilakukan. Di antaranya ialah dengan memecat J dari anggota LSK, mencabut hak politik J, melarang pelaku terlibat dalam setiap agenda Organisasi Kaum Muda Sosialis, menuntut pelaku membayar biaya pengobatan dan perawatan penyintas, serta mendorong segala bentuk tindak kolektif: aksi massa, kampanye atau pembuatan petisi yang berisi pemecatan di tempat kerja para pelaku. Tindakan LSK ini bertujuan untuk menunjukkan keseriusan pihaknya dalam memerangi segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar organisasi.
Diyat, selaku anggota LSK dan juga salah satu mahasiswa Unmul sedikit berbagi kronologis terungkapnya kasus ini kepada Sketsa. “Penyintas melaporkan kasus kekerasan seksual oleh salah satu anggota kami. Dan ini seperti efek domino, atas laporan tersebut, kasus-kasus lain ikut terbuka. Akhirnya muncul tiga nama itu,” terangnya.
Diterangkan Diyat, J merupakan anggota aktif LSK, sedang NP alias Y, dan SM pernah terlibat aktif dalam kegiatan dan pembangunan LSK. Proses kajian pelecehan dan kekerasan seksual ini juga didukung dengan pengakuan salah satu pelaku.
Diketahui penyintas merupakan anggota LSK dan lebih dari satu. Salah satunya merupakan mahasiswi Unmul. “Mulanya penyintas bercerita ke salah satu anggota lainnya. Dan kami rasa ini tidak bisa dibiarkan. Maka dari itu kami tegas dan tidak kompromi,” ujar Diyat.
Sejauh ini beberapa pihak telah menawarkan healing, dan masih tengah dipertimbangkan organisasi. Dan atas permintaan penyintas, Diyat tidak bisa membagikan tindakan hukum yang akan diambil.
Diyat menambahkan, dengan adanya pernyataan sikap terbuka dari LSK ini dapat menjadi pembelajaran bagi organisasi lain. “Saya yakin bahwa kekerasan dan pelecehan seksual di lintas komunitas organisasi ini masih kerap terjadi. Harapannya juga korban mau berbicara. Dan reaksi kita jangan menjadikan penyintas sebagai pelaku juga,” imbuhnya.
Pengakuan Salah Satu Pelaku
Di hari yang sama, tepatnya Selasa (13/11) lalu, akun Facebook Lingkar Studi Kerakyatan Kutai Timur turut mengunggah surat pernyataan terbuka LSK. Postingan ini turut mengundang komentar. Di antaranya berasal dari rekan para pelaku yang beberapa di antaranya tak percaya dan meragukan kebenaran isi surat tersebut.
Merasa perlu meluruskan demi menghindari kesalahpahaman, salah satu pelaku dengan inisial J membuat surat pernyataan terbuka melalui akun Facebook miliknya. Melalui tulisannya itu, J menanggapi beragam tanggapan terhadap surat pemecatan yang dikeluarkan oleh Lingkar Studi Kerakyatan.
Bermula dengan menjelaskan keinginan awalnya bergabung organisasi tersebut untuk belajar menggali teori-teori sosialis dan mengembangkan diri. Ia juga mengaku selama lima tahun belakangan sejak ia terlibat aktif dalam perjuangan yang beradasarkan teori dan praktek, ia berhasil mengubah dirinya. Hingga akhirnya ia melakukan kesalahan itu. Tindakannya tak selaras dengan teori-teori yang selama ini ia pelajari.
J tak mengelak, bahwa tindakan itu bukan sebuah kekhilafan. Ia mengaku bahwa itu benar ia lakukan, secara sadar pula. "Saya telah melakukan kesalahan besar dalam hidup saya. Saya adalah seorang yang seksis. Saya telah melecehkan seorang perempuan yang sedang serius belajar. Orang yang juga sangat percaya pada saya."
Dalam surat tersebut, J mengatakan berupaya menunjukkan keseriusan untuk memperbaiki diri. Ia juga menyampaikan pemohonan maaf kepada para penyintas dan bersedia bertanggungjawab terhadap semua pemulihan para penyintas, sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh organisasi. (adl/fqh)