Penurunan UKT Ditolak, BEM Farmasi Bertindak

Penurunan UKT Ditolak, BEM Farmasi Bertindak

SKETSA – Surat penolakan penurunan UKT sejumlah mahasiswa Fakultas Farmasi Unmul membuat Gubernur BEM Farmasi 2016 Dimas Aqil Fikrinda terperangah. Pasalnya, surat jenis itu baru pertama kali muncul dan dipublikasikan. Sejauh yang dia tahu belum pernah ada surat berisi jawaban birokrat terhadap ajuan penurunan UKT, biasanya berupa penolakan langsung.

Membicarakan UKT, rupanya tabu di Farmasi. Tak hanya soal surat itu, pengawalan isu maba tak mampu bayar UKT pun baru pertama kali dilakukan di era Dimas, tepatnya saat penerimaan maba angkatan 2016, Agustus lalu. Mirisnya, upaya yang dikerahkan BEM Farmasi menemui jalan buntu. Alhasil, sejumlah maba ketika itu gagal kuliah karena tercekik besaran UKT.

“Kami sudah upayakan. Tapi, birokrat tetap kekeh tidak bisa menurunkan UKT untuk mahasiswa siapa pun dia. Kami dioper-oper dari fakultas ke rektorat dan sebaliknya. Kami juga tidak tahu bagaimana sebenarnya kriteria agar UKT itu bisa turun. UKT di Farmasi memang cukup tinggi,” ucap Dimas, masih mengenakan jas laboratorium.

Perihal surat penolakan, akan dikawal BEM Farmasi dengan jalan audiensi membahas alasan penolakan dan SOP penurunan UKT. Hingga saat ini, Dimas bersama pihaknya belum mengetahui siapa saja mahasiswa yang mengajukan penurunan tersebut, disebabkan masa transisi kepengurusan BEM Farmasi.

“Penurunan adalah wewenang penuh dari dekan. Tapi, memang semester ini banyak yang mengeluhkan. Yang sudah kuliah sih belum ada laporan berhenti karena tidak mampu bayar. Kalau maba ada beberapa,” ungkapnya.

Kendati demikian, nominal UKT yang menjulang nyatanya berbanding lurus dengan fasilitas penunjang. Setidaknya itu yang dirasakan Dimas dibuktikan dengan ruangan yang nyaman dan baginya lebih dari cukup. Mulai fasilitas laboratorium yang lengkap, hingga pendingin ruangan kian membuat nyaman mahasiswa berkuliah.

“Di ruangan ada dua unit AC, televisi. Peralatan lab juga terpenuhi. Kecuali ada semacam yang harus kita cari sendiri. Itu pun tidak sulit atau mahal didapat,” ucapnya.

Seperti diketahui, besaran UKT di fakultas yang sifatnya kesehatan memang fantastis. Di Farmasi ada beberapa golongan UKT, yakni Rp 500 ribu, Rp 1 juta, Rp 6 juta, Rp 8 juta, Rp 10 juta, dan Rp 12 juta. Besaran tersebut tidak lepas dari jalur mana mahasiswa masuk. Jika masuk jalur SNMPTN dan SBMPTN, masih bisa berharap mendapatkan UKT golongan rendah atau turun ke golongan satu. Sedangkan yang masuk melalui jalur SMMPTN, sudah dipastikan akan berada dalam UKT golongan 4 atau 5.

Fakta lain dari uang kuliah di Farmasi adalah pembayaran alat dalam kegiatan penelitian sebagai tugas akhir yang mesti ditempuh oleh setiap mahasiswa Farmasi. Pembayaran itu dilakukan di luar komponen UKT.

Birokrat Farmasi berdalih, fakultas hanya memfasilitasi dan bermaksud mempermudah. Jika mahasiswa membeli alat di luar, maka harus dalam jumlah besar pun dana yang besar pula. Sementara, jika pengelolaan diserahkan ke fakultas tentu lebih efisien. Sebab penelitian tiap mahasiswa berbeda-beda, maka kebijakan yang sesuai adalah menerapkan pungutan penelitian untuk semua.

“Angkatan 2013 sebagai angkatan pertama yang memakai sistem UKT, harus membayar peralatan yang digunakan ketika penelitian tugas akhir di lab. Sebelum lulus kita harus lunasi apa yang kita pakai dan itu di luar UKT. Teman-teman hanya menggerutu di belakang dan menjalani pasrah,” pungkasnya. (aml/jdj)