SKETSA - Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) lantai 1 tampak lengang. Hanya tampak sesekali orang hilir mudik sambil mendekap berkas. Kesunyian itu tampak wajar saat proses perkuliahan tengah berlangsung. Salah seorang mahasiswi bernama Mayang (bukan nama sebenarnya) tampak membawa berkas ditangannya menuju akademik. Rupanya ia hendak mengumpulkan KRS. Namun, saat menemui petugas akademik program studi yang ditempuh Mayang, yang didapatinya adalah amarah sang petugas. KRS-nya tidak diterima seraya petugas tersebut mengatakan, “Mayang, kamu cuti saja.”
Sebenarnya bukan tanpa alasan petugas tersebut melontarkan kekesalan, sebab waktu pengumpulan KRS telah lama berakhir sejak 26 januari lalu. Dan bahkan belakangan ini diperpanjang hingga 5 Februari dan masa perbaikan KRS hingga 15 Februari. Namun kemarahan ini juga sekaligus mengundang tanya, seberapa pentingkah proses penginputan dan pengumpulan KRS?
Ditemui di ruang Sistem Informasi Akademik (SIA), tiga staf akademik FISIP bergantian menerangkan. “Pengumpulan KRS itu bertujuan untuk absensi, DPNA, dan KHS. Kalau mahasiswa tidak input, otomatis namanya tidak akan terdata,” ujar Mosiah.
Hingga saat ini, masih banyak mahasiswa yang baru mengurus KRS ke SIA. “Saya itu bingung dengan mahasiswa, namanya juga KRS, Kartu Rencana Studi, seharusnya direncanakan dari awal. Hal ini selalu saja terjadi setiap tahunnya. Seharusnya kami sudah mengurus hal lain tapi sampai sekarang data KRS mahasiswa masih terus kami cocokkan,” jawab staf akademik FISIP Astuti seraya menunjukkan tumpukan berkas di mejanya.
Pencocokan data KRS yang dimaksud adalah data online serta data manual yang mahasiswa serahkan ke akademik. Bahkan, antara kedua data tersebut masih banyak yang tidak sama. Itulah mengapa, saat pengumpulan KRS di akademik, petugas meminta nomor ponsel dicatat di data sistem registrasi (Sireg) agar mahasiswa dapat dihubungi apabila datanya tidak sama.
Perihal mahasiswa yang diminta cuti karena terlambat mengumpulkan KRS, menurutnya itu adalah salah mahasiswa sendiri karena menyepelekan KRS. “Walaupun kenyataannya sampai sekarang masih kami layani dengan catatan ada ijin dari atasan. Kecuali mahasiswa tersebut sudah dalam masa-masa pertengahan kuliah dan akan ujian sedangkan belum mengurus KRS sama sekali, baru kami suruh cuti.”
Kebijakan FISIP yang masih menggunakan data manual dan harus meminta tanda tangan dosen serta mengumpulkan KRS ke akademik beberapa kali dikeluhkan mahasiswa. Berbeda halnya dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah menggunakan sistem online secara keseluruhan sehingga mahasiswa tidak perlu mengurus ke ruang SIA.
Sementara menurut Yamin, salah satu staf akademik lainnya, hal itu bukan tidak mungkin. “FISIP masih mengikuti alur dari universitas dan tim IT berasal dari rektorat, tidak seperti FEB yang memiliki tim IT sendiri. Sejujurnya kami ingin sistem seperti itu, yang low paper. Tapi mahasiswa harus benar-benar teliti dalam pengisiannya. Intinya, sistem itu bisa dilaksanakan, namun ini tergantung lagi dengan kebijakan Fakultas. Saya berharap dengan ini mahasiswa sadar dan tidak lagi menyepelekan yang namanya KRS,” ungkapnya.
Sistem penginputan KRS di FIB pun setali tiga uang. Staf akademik FIB, Marsend Tolanda menjelaskan KRS cetak tetap diperlukan sebagai syarat mahasiswa terdaftar secara resmi di perkuliahan. “Karena tetap KRS harus ada persetujuan dari dosen penasihat, untuk mengetahui mata kuliah yang diambil dan bagaimana perkuliahannya,” terang Marsend.
Ia juga menambahkan sistem yang demikian berfungsi memonitor apakah mahasiswa memang mengurus KRS atau tidak. Selama KRS belum dikumpulkan, maka KRS belum disetujui walaupun yang bersangkutan telah menginput di SIA.
Di sisi lain, Marsend mengatakan bahwa mahasiswa yang KRS-nya terkendala harusnya bisa memaksimalkan peran dosen penasihat, tidak hanya sekadar meminta tanda tangan saja. Diakuinya, FIB belum ada niat untuk beralih ke sistem online yang telah diterapkan FEB. “Tergantung dari fakultasnya, karena perlu biaya besar,” tutup Marsend. (nis/pil/els)