Penghapusan FABA dari Limbah B3, Aktivis: Ini Kejahatan Lingkungan dan Romantisme Oligarki

Penghapusan FABA dari Limbah B3, Aktivis: Ini Kejahatan Lingkungan dan Romantisme Oligarki

Sumber Gambar : Istimewa

SKETSA – Satu lagi kabar tidak menyenangkan datang dari kebijakan pemerintah. Beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3). Kebijakan ini terdapat pada peraturan turunan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.

FABA sendiri tak lain adalah limbah padat hasil pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), boiler dan tungku industri untuk bahan baku konstruksi dan bangunan. Limbah ini tentu saja berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat, sebab mengandung senyawa kimia seperti arsenik, timbal, merkuri, kromium, dan sebagainya.

Dilansir dari Greenpeace Indonesia, sebelumnya terdapat 14 orang yang meninggal dunia akibat FABA yang ditimbulkan oleh PLTU batu bara Mpanau di Palu. Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam dan kanker paru-paru. Adapun penetapan aturan ini tak terlepas dari intensitas Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), termasuk Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA).

Jumat (12/2), Koalisi Bersihkan Indonesia menggelar konferensi pers secara daring. Menghadirkan beberapa narasumber dan aktivis seperti Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Andri Prasetiyo dari Tren Asia, Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) hingga Herlambang P. Wiratraman selaku akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR).

Kala FABA masih berstatus sebagai limbah B3, banyak studi kasus yang menunjukkan bahwa perizinan belum berhasil memastikan adanya perlindungan atas risiko limbah. Para penghasil abu maupun pihak ketiga yang mengelola abu belum benar-benar mengelola risiko dan memenuhi persyaratan teknis yang layak, sebagaimana diatur dalam regulasi.

Beberapa kasus menunjukkan jika pemilik izin pertambangan melakukan pembuangan abu secara illegal, tanpa adanya pengelolaan di sungai, rawa, tanah kosong dekat pemukiman penduduk sampai memberikan secara cuma-cuma kepada penduduk sebagai material urug. Contohnya ialah kasus PT Indominco Mandiri yang terletak di Bontang, Kalimantan Timur. Perusahaan ini telah divonis bersalah atas pengelolaan FABA yang buruk dan tak ada pemulihan lingkungan di lapangan. Nilai denda yang dijatuhkan juga sangat kecil dan tak sebanding,

“Begitu juga warga di dekat PLTU Mpanau, Sulawesi Tengah. Warga yang sakit dan mengadu ke pemerintah justru diminta untuk membuktikan sendiri keterkaitannya penyakit yang diderita dengan dampak FABA operasi PLTU. Jadi, perlindungan warga dari limbah FABA itu omong kosong,” tukas Merah dari JATAM.

Dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan yang bermasalah. Upaya masif oligarki batu bara ini dimulai dari revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), Omnibus Law UU Cipta Kerja, proyek hilirisasi batu bara yang berusaha membajak RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT), lalu menghapus limbah FABA dari jenis limbah B3. Kebijakan-kebijakan ini hanya bertujuan agar industri energi kotor batu bara dapat terus mengeruk keuntungan yang berlipat.

“Penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya ini adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batu bara mulai dari hulu hingga ke hilir,” ucap Andri, peneliti dan pengkampanye Trend Asia.

Belum lagi masalah kandungan unsur dalam batu bara yang mengancam. Batu bara sendiri mengandung unsur racun juga logam berat dan radioaktif. Saat batu bara dibakar pada pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya, FABA. Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur yang beracun ini akan terlindikan secara perlahan ke badan lingkungan.

“Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air dan satwa liar. Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batu bara dari pembangkit listrik yang memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batu bara dengan mengeluarkannya dari daftar Limbah B3,” kata Fajri dari ICEL.

Menurut Herlambang, akademisi FH UNAIR, hal ini terjadi karena adanya relasi kuasa oligarki di tengah menguatnya model otoritarianisme. Sehingga, terjadi kelonggaran pengaturan pengelolaan FABA yang bertentangan dengan perlindungan hak konstitusional atas lingkungan hidup yang bersih dan nyaman. Hasilnya, terdapat state capture alias korupsi kebijakan dan pembajakan negara oleh kepentingan private.

“Krisis keadilan eko-sosial kian meluas dan sistematik, mengancam masyarakat adat, lokal dan daya dukung ekologis. Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) akan meluas seiring dengan potensi penyalahgunaan kekuasaan atas nama hukum,” paparnya.

Seharusnya, jika pemerintah memang mempunyai orientasi serta niat yang baik pada upaya pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup, mencegah bencana lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat. Maka, pemerintah harus mengatur FABA batu bara sebagai limbah B3, karena kebijakan yang berdalih mendorong pemanfaatan ini dapat berakhir sebagai langkah ekonomi yang berisiko tinggi. (len/fzn)