Peliknya Hitung-hitungan UKT

Peliknya Hitung-hitungan UKT

SKETSA - Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dinilai memberatkan finansial mahasiswa, dan konon menguntungkan kampus ternyata tak sepenuhnya benar. Realitanya, meski di satu sisi, terkesan memberatkan mahasiswa. Di sisi lain, penerimaan dana UKT, bahkan tak mampu menopang setengah dari pagu anggaran Unmul.

Pagu ialah anggaran yang terkalkulasi untuk menghidupi institusi dalam kurun satu tahun. Semisal Unmul, seluruh operasional perkuliahan dikalkulasi Unmul, guna menentukan total pagu tahunan. Operasional perkuliahan yang dianggarkan, tentu beragam. Mulai dari biaya aktivitas belajar-mengajar, peningkatan jumlah jurnal ilmiah, gaji karyawan, dan lainnya.

Jajaran pimpinan Unmul akhirnya berupaya keras mencari sumber pemasukan baru selain pemasukan UKT mahasiswa. Kebijakan pemanfaatan aset semisal sewa gedung, hingga kerja sama dengan pihak ketiga, kontinu dilakukan guna menambah-nambah kas universitas. Selain itu, pendapatan utama dalam menopang pembiayaan kas Unmul adalah bantuan APBN.

“Pendapatan Unmul dari APBN itu ada sekitar Rp 180 miliar untuk gaji dosen. Diluar APBN, ada yang namanya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dari PNBP itulah kita mendapat sekitar Rp 198 miliar,” papar Abdunnur Wakil Rektor Bidang Umum, Sumber Daya Manusia dan Keuangan, kepada Sketsa beberapa waktu lalu.

Dana PNBP adalah keseluruhan pendapatan UKT, pemanfaatan aset, dan kerjasama dengan pihak ketiga. Sedang, pemasukan Rp 120 miliar dari sektor UKT mahasiswa, difokuskan untuk pembiayaan kegiatan belajar-mengajar. Berdasar aturan universitas pula, mayoritas pengelolaan dana UKT diatur masing-masing fakultas.

“Jadi share keseluruhan uang UKT, 70 persen dikelola pihak fakultas. Kemudian 30 persen sisanya akan masuk ke dalam kas universitas, karena ada kegiatan-kegiatan di fakultas yang harus dibiayai universitas. Misalnya kegiatan akademik yang harus melakukan registrasi di sini (rektorat),” terangnya.


Dasar Keterpaksaan Sistem UKT dan BKT

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 55 tahun 2013 menjadi landasan dasar pemerintah pusat memberlakukan UKT dan BKT. Walhasil, Permendikbud ini (mau tak mau) mendorong PTN se-Indonesia memberlakukan UKT dan BKT dimasing-masing kampus. Dalam Permendikbud pula secara eksplisit menjelaskan hakikat UKT dan BKT sebagai berikut:

Biaya Kuliah Tunggal (BKT) merupakan seluruh biaya operasional per mahasiswa setiap semester pada program studi (Prodi) di sebuah perguruan tinggi. BKT digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah.

Sedangkan, Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan biaya kuliah yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Lalu, nominal UKT ditetapkan berdasarkan BKT, dikurangi biaya yang ditanggung oleh pemerintah.

“Harusnya secara riil, unit cost (keseluruhan biaya) kuliah itu dihitung dari BKT, bukan UKT. Kita ambil contoh saja delapan semester harusnya mahasiswa sudah lulus. Kemudian dihitung BKT-nya satu semester. Kemudian dikalikan delapan semester hingga mahasiswa yang bersangkutan berhasil meraih gelar sarjana. Itulah total biaya kuliah yang harus dibayar mahasiswa,” ujar Abdunnur.


Pemerintah Ingkar, Tambal-Sulam Dilakukan Unmul

Diakui Abdunnur, pemerintah pusat memberi sebuah ‘janji’ kepada PTN se-Indonesia. Dalam janjinya, pemerintah pusat akan menutupi ‘seluruh selisih’ antara BKT dan UKT melalui program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).

Anggaran bantuan yang diberi pemerintah pusat, selalu kurang dari total ajuan BOPTN yang diminta Unmul.

“Selisih BKT dan UKT tahun 2016 berapa? Setelah kita hitung-hitung, keseluruhan selisihnya ada Rp 100 miliar rupiah. Nominal itulah yang kita ajukan ke pemerintah pusat. Tapi berapa BOPTN yang kita dapat? Rp 33 miliar saja. Sisanya sekarang siapa yang harus menutupi? Mahasiswa? Tentu tidak, bukan? Sisa itulah yang harus dicari oleh Unmul. Mahasiswa tidak banyak yang mengetahui hal ini,” ujar Abdunnur.

Bantuan pemerintah pusat yang hanya Rp 33 miliar (padahal Unmul meminta Rp 100 miliar), membuat Rp 67 miliar sisanya harus ditanggung kas Unmul, bukan BOPTN. Masalah itu melecutkan jajaran Unmul untuk kreatif mencari tambahan dana. Deretan kerjasama Unmul dengan pihak ketiga, baik nasional hingga internasional.

Abdunnur pun beberkan dana BOPTN yang diterima Unmul dalam kurun empat tahun terakhir. Per tahun 2013, Unmul mendapat sekitar Rp 16 miliar, tahun 2014 naik menjadi sekitar Rp 20 miliar. Menapaki tahun 2015, pendapatan melonjak tajam jadi sekitar Rp 32 miliar, dan tahun 2016, naik tipis menjadi Rp 33 miliar.

Meski tren penerimaan BOPTN konsisten naik, nominal itu (sama sekali) tidak cukup, menutup selisih BKT dan UKT mahasiswa Unmul sedari 2013-2016. Jika ditotal, empat tahun terakhir, hanya Rp 101 miliar, jauh dari ekspektasi Rp 400 miliar tersebut.

Dengan kekurangan itu, Unmul serta universitas yang juga bernasib sama, harus lakukan ‘tambal-sulam’ anggaran, guna menutup selisih BKT dan UKT yang kian menggunung. (dan/jdj)