Pameran “CIYAAAT!”, Hasbi: Ingin Pengunjung Marah-Marah

Pameran “CIYAAAT!”, Hasbi: Ingin Pengunjung Marah-Marah

Sumber Gambar: Panitia Pameran CIYAAAT

SKETSA - Dalam sebuah ruangan semi terbuka di Tco Coffee, Jalan Banggeris pada Minggu (8/9) hingga (15/9) lalu, telah digelar sebuah pameran bertajuk “CIYAAAT!”. Pameran ini digagas oleh Salsabila Putri dan berkolaborasi dengan Samar Projek. Pameran ini menyoroti tindak kecurangan yang kasat mata hingga tak kasat mata di Kalimantan Timur.

Didukung oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), pameran ini menggandeng Dahri Dahlan, Fachmi. R, Iqarosse, Kholif Mundzira, Robby Octavian, Sabrina Eka, dan Sindikat Sinema sebagai seniman.

Acara ini dibuka dengan program publik, yakni bincang-bincang dengan tema “Demokrasi Transaksional dan Model Ekstraktivisme di Kalimantan Timur”, dan ditutup pula dengan bincang-bincang bertema “Merawat Padi Tanpa Gulma”.

Saat ditemui pada hari keenam pameran, Salsabila Putri mengatakan konsep pameran bersumber dari komik yang dibuatnya pada tahun lalu, yang berbicara mengenai pejabat suatu daerah. Bukan karena prestasi, tetapi karena kasus korupsi. Pejabat itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi sumber daya alam, gratifikasi, dan suap.

“Aku pengin mengajak masyarakat atau anak muda lebih luas lagi memahami atau meningkatkan kesadaran dan kepekaan bahwa banyak jurus-jurus korupsi itu,” paparnya pada Jumat (13/9) lalu.

Senada dengan nama pameran, kata “CIYAAAT!” dipajang oleh Salsabila untuk menunjukkan bahwa ada jurus-jurus yang digunakan pelaku korupsi untuk menutupi perbuatannya. Menggelar pameran bertema korupsi ini juga merupakan jurus yang digunakan Salsabila bersama kawan-kawan seniman untuk melawan tindak pidana tersebut.

“Relevansinya masih banyak jurus-jurus tindakan korupsi yang dinormalisasikan oleh masyarakat hari ini,” geramnya.

Awak Sketsa berkesempatan dipandu langsung oleh Salsabila berkeliling memungut makna dari sembilan karya yang dipamerkan. Sebuah karya garapan Dahri Dahlan berjudul Distangsi, berupa media campur, dan video satu kanal berdurasi 13 menit 27 detik. Karya tersebut menampilkan seorang pejabat yang tengah menyantap makanan dengan berbagai pilihan lauk di televisi.

Bertulis “Silakan duduk dan selamat menikmati”, Dahri memberi kesempatan pada pengunjung untuk duduk di kursi plastik sederhana menghadap televisi yang menampilkan video pejabat sedang makan enak.

“Kalau kawan kawan di situ duduk sambil makan melihat ini (televisi), kawan kawan tu pasti akan merasa ada jarak (kesenjangan sosial),” jelas Salsabila.

Beranjak ke karya Kholif Mundzir berjudul “Dichotomy of Post-Unconsciousness Scene”. Terdiri dari tiga bagian repetisi video dari film pendek “Remeh-Temeh Segumpal Daging”, Kholif ingin menunjukkan dikotomi yang menunjukkan seseorang ketika masanya menjadi seorang raja, kemudian menjadi pekerja, dan berakhir menjadi demonstran.

“Karya ini tidak membahas secara langsung korupsi, tapi bagaimana kerakusan seorang pemerintah itu akhirnya (akan) mendapat karma dari apa yang mereka lakukan,” jelas Mundzir selaku pembuat karya pada Jumat (13/9) lalu.

Bergeser, karya selanjutnya dikerjakan oleh Sabrina Eka Felisiana berjudul “Sepasang Gelap Mata”. Berupa patung setengah badan memakai rompi tahanan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), patung ini dilengkapi audio yang berisi potongan berita sebuah kasus korupsi.

“Secara garis besar ya, kenapa (mata patung) ditutup seakan akan dia tidak melihat ada ketidakadilan yang sebenarnya dia tahu, yang keluar dari mulutnya, yang juga dia rasakan,” terang Salsabila.

Selain tiga karya di atas, terdapat karya mural Fachmi R dengan judul “Bisa Diatur”, karya Iqarosse berjudul “Old Woman’s Circus”, dan karya Sindikat Sinema berjudul “Rapat Tertutup”. Ada pula karya Robby Ocktavian berjudul “Eks Lubang Tambang di Desa Karang Tunggal, Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara”, serta sumbangan karya Nugal Institut berupa potret lahan bekas tambang dan rumah yang digusur pemerintah.

Ditemui di depan karya Iqarosse berjudul “Old Woman’s Circus”, Komite Penyelenggara Pameran Hasbi Yahya mengatakan, secara keseluruhan karya yang disajikan dalam pameran bertujuan membangun kesadaran pengunjung.

“Pengin teman teman tuh ngerasa marah, ini gak adil.”

Hasbi menjelaskan, karya yang ada di pameran menunjukkan ketidakadilan, kerusakan lingkungan, dan kesenjangan sosial akibat dari tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, ia ingin pengunjung merasa geram setelah mengetahui hal tersebut.

“Teman teman itu harusnya dapat fasilitas yang lebih bagus dari ini (yang ada sekarang),” kata Hasbi dengan gusar pada (13/9).

Hasbi berujar, sebagai warga negara berhak untuk mendapat bis dan halte yang murah serta fasilitas umum yang gratis. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat dicapai karena anggaran fasilitas umum tersebut dikorupsi.

“Teman-teman itu harusnya marah, itu yang pengin kami bawa sebenernya di sini. Sudah marah belum? Sudah marah belum?” ujar Hasbi memastikan.

Pameran ditutup dengan diskusi bertajuk “Merawat Padi Tanpa Gulma” bersama Buyung Marajo dan Kholif Mundzira, yang dipandu oleh Rio Raharjo pada Minggu (15/9) lalu. Pada kesempatan tersebut, mereka membahas mengenai perlawanan terhadap tindakan jahat korupsi pada anggaran daerah. Acara tersebut kemudian diakhiri dengan sesi foto bersama. (mlt/ali)