Menjadi Perempuan: Mendobrak Stigma dan Rasa Takut

Menjadi Perempuan: Mendobrak Stigma dan Rasa Takut

Sumber Gambar: Istimewa

SKETSA - Magdalene.co menuliskan, "Oxfam (2020) menunjukan ketimpangan laki-laki dan perempuan dalam bidang ekonomi maupun politik." Adapun penduduk perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih tinggi (10%) daripada laki-laki (9%) (menurut data Badan Pusat Statistik di 2018).

Di dunia kampus, beberapa sosok perempuan sudah berhasil mengisi ruang kepemimpinan. Contohnya seperti dekan, kepala program studi, ataupun mahasiswi yang memimpin sebuah organisasi.

Sya’idah Alawiyah Dzakwan, Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran (FK) Unmul adalah salah satunya. Baginya, pemimpin wanita itu sangat istimewa. Layaknya seorang ibu yang dapat melaksanakan banyak hal sekaligus, begitu pula seorang pemimpin wanita yang dapat tetap fokus walaupun memiliki banyak tanggung jawab. 

"Segala sesuatu yang dilakukan dari hati pasti akan sukses hingga akhir," ungkapnya pada Sketsa, Minggu (22/11).

Berawal dari mimpi yang ingin diwujudkan dan kepercayaan teman-temannya bahwa ia mampu dan berkompeten menjadi pemimpin, akhirnya memantik keberanian Sya’idah untuk menjadi Gubernur BEM FK. Menurutnya, menjadi pemimpin itu sesuai dengan niat, kemampuan, dan kepribadiannya, bukan bergantung pada gender. 

"Jadi kalau ada laki-laki yang memang lebih baik dari ketiga hal tersebut, maka dia berhak menjadi pemimpin. Namun kalau ada perempuan yang lebih baik lagi, dia juga berhak. Saya gak pernah berpikir bahwa pemimpin harus laki-laki. Karena perempuan juga bisa memimpin," tegasnya. 

Tak hanya Sya’idah, Riska Meyliana, mahasiswa asal Sastra Indonesia 2016 ini merupakan sosok perempuan yang pernah memegang kepemimpinan di Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia (Hima Sasindo) pada 2017 silam. 

Berawal dari minimnya partisipan laki-laki yang menyanggupi untuk menjadi ketua umum, membuatnya berani untuk mencalonkan diri dan mengikuti berbagai proses hingga akhirnya terpilih. Meski sempat ragu dan tidak percaya diri karena pemimpin sebelumnya selalu laki-laki, tetapi dukungan dari teman-temannya membuat langkahnya lebih kuat. 

Perempuan dalam Kepemimpinan

Seperti proses kepemimpinan pada umumnya, berbagai kendala juga terjadi pada mereka. Sya’idah mengaku, kendala terberatnya saat memimpin ialah ketika harus mengambil keputusan dan ternyata merugikan orang lain. Ia sempat merasa tidak percaya diri untuk mengambil keputusan lagi. 

Dari hal ini, dia belajar bahwa semua yang terjadi adalah pelajaran agar selanjutnya dapat lebih berhati-hati serta mempertimbangkan banyak hal saat mengambil keputusan. 

"Saya sadar kita gak bisa memuaskan semua orang. Pasti akan ada orang yang kecewa sama keputusan kita. Yang paling penting kita telah memilih keputusan tebaik pada saat itu. Hasil atau dampak yang terjadi itu di luar keinginan kita," kata Sya’idah. 

Suara yang berbeda datang dari Riska. Ketika sedang menjabat, organisasinya mengalami diskriminasi dari pihak lain. "Namanya (dia) perempuan, yah. Pasti baper (terbawa perasaan) dan lain-lain," contohnya, Jumat (4/12).

Fatimah, akademisi Unmul asal Program Studi Sastra Inggris memaparkan jika kendala-kendala di atas dapat terjadi karena adanya perbedaan model kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki. 

"Perbedaan model kepemimpinan perempuan dan laki-laki seperti yang Robbins (1998) kemukakan bahwa pada dasarnya perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih demokratis, sedangkan laki-laki lebih bersifat directive (menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah)," ujarnya, Minggu (6/12).

Sebagai seorang dosen yang sering membahas mengenai kritik feminis, baginya kendala perempuan ketika menjadi pemimpin seringkali ditinjau secara sosial budaya. Kodrat perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Lebih tepatnya, perempuan seharusnya tinggal di rumah dan mengurus keluarga. Adapun perempuan yang berkarier di lingkungan publik harus siap mengemban peran ganda sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai wanita karier.

Fatimah memaparkan, saat ini perempuan terlihat menduduki berbagai jabatan sebagai pemimpin baik kepala desa, kepala kantor, kepala sekolah, pimpinan universitas, manajer perusahaan, sampai dengan presiden. Walaupun demikian, persentase perempuan sebagai pemimpin dibandingkan populasi perempuan secara keseluruhan masih lebih rendah dibandingkan dengan persentase laki-laki sebagai pemimpin. 

"Pemimpin yang ideal tidak selamanya bergantung dari gender saja. Akan tetapi melihat kepemimpinan dari pengalaman dan sikap seseorang. Mulai dari integritas, lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, jujur, dapat dipercaya, tegas, hingga pekerja keras," sebutnya.

Disinggung mengenai stigma terkait kepemimpinan perempuan yang seharusnya diemban laki-laki, ia mengungkapkan jika perempuan sama kuatnya dalam memimpin banyak hal. Tak jarang pula, mereka mendapatkan respons yang baik dari masyarakat. 

"Kita tentunya tidak asing lagi dengan deretan nama-nama pemimpin perempuan. Sebut saja Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani, dengan tanggapan-tanggapan positif dari masyarakat tentang kepemimpinan mereka. Mereka adalah bukti bahwa kemampuan perempuan dalam memimpin tak bisa diragukan. Mereka adalah perempuan, tapi bisa juga menjadi leader sebagaimana kepemimpinan para laki-laki." tutupnya. (khn/bey/rst)