Sumber Gambar: Istimewa
SKETSA - Semilir angin malam menemani sekumpulan orang yang tengah duduk memperhatikan tiga orang yang sedang bercerita di atas panggung. Tak hanya itu, tampak tersusun rapi tumpukan buku berwarna hitam bertuliskan “Melawan dari Mahakam” pada meja berbentuk persegi panjang di atas panggung, Sabtu (29/5).
Jarum jam menunjukkan pukul 20.00 Wita, dua pria dan satu wanita yang kompak mengenakan kacamata menjelaskan tujuan mereka duduk berdampingan menghadap audiens yang hadir. Mereka adalah Herdiansyah Hamzah, Maria Teodora Ping, dan Muhammad Yopin Pratama sebagai moderator.
Kerlipan lampu yang menyoroti panggung, menemani mereka kala membahas perilisan buku berisi kumpulan orasi para aktivis Aksi Kamisan Kaltim yang memuat 11 bab utama. Sebanyak 289 halaman tak terasa kala dibaca, sebab tulisan pada buku tidak hanya diisi oleh Herdiansyah dan Maria, akan tetapi dengan penulis lainnya seperti, Abi Muhammad, Ahmad Naelul Abrori, Asman Azis, Fachri Aziz, Ficky Yosi Ardilles, Haris Retno Susmiyati, Hartina, Hari Widyantoro, Kelik Ismunandar, Lorensius Amon, Mareta Sari, Maria Yuno, Nasrullah Mappatang, Nelly Agustina Br Harahap, Orin Gusta Andini, Panji Aswan, Roedy Haryo, Widjono AMZ, Sholihin Bone, Sri Murlianti, Taufik Iskandar, Wawan Darmawan dan Yustianus Sapto Hardjanto.
Agenda yang berlangsung tak sebatas mengenalkan buku, melainkan mengajak audiens melakukan sesi diskusi mengenai isu sosial yang terjadi saat ini di Indonesia. Menggenggam erat mikrofon yang dipegangnya, Herdiansyah dengan lantang membahas sistem politik yang dianggapnya ternoda oleh beberapa oknum tidak bertanggung jawab.
Ia mengaitkan fenomena dengan tulisan yang ia buat pada bab Politik Tanpa Korupsi pada buku Melawan dari Mahakam. “Politik kita begitu kotor. Survei global oleh Corruption Barometer menunjukkan lembaga paling korupsi adalah DPR. Ada 589 anggota dari pusat hingga kabupaten kota dan daerah yang melakukannya,” ucap Herdiansyah yang juga akademisi Fakultas Hukum (FH) Unmul.
Melalui buku itu, ia berharap khalayak dapat mengetahui fenomena yang sesungguhnya terjadi pada negeri. Sesekali menggerakkan jemarinya, Herdiansyah menegaskan ketidakadilan yang terjadi harus disikapi dengan keberpihakan.
“Kita lihat siapa yang dirugikan secara sistematis dan politis. Beban sejarah itu kita semua masih tanggung,” tegas Herdiansyah.
Senada dengan Herdiansyah, Maria Teodora Ping, ungkap keresahannya melalui kaum milenial dan beban sejarah pada salah satu bab yang ia tulis di buku itu.
“Tulisan yang saya buat tentang beban sejarah harus dipikul pada setiap generasi. Beban itu akan selalu kita panggul, kalau kita tidak tahu apa yang terjadi dengan sejarah, kita tidak akan tahu beban kita,” tutur perempuan yang merupakan akademisi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) tersebut.
Maria menambahkan masalah sejarah negara tidak hanya menjadi pekerjaan rumah kepada pemerintah melainkan seluruh masyarakat.
“Untuk publik bisa memiliki kesadaran kolektif, kita masih punya utang beban sejarah mengenai hak asasi manusia yang berat. Perlu keterlibatan kita sama-sama mendorong penyelesaian itu,” jelas Maria.
Buku kumpulan orasi Melawan dari Mahakam merupakan karya lanjutan dari buku sebelumnya berjudul Senjata Kata-Kata pada 2020 silam. Berbeda dari buku yang baru saja dibahas, buku berjudul Senjata Kata-kata berisikan kumpulan puisi oleh para aktivis Aksi Kamisan Kaltim. (syl/rst)