Sumber Gambar: Rahman/Sketsa
SKETSA - Pada Kamis (21/3) kemarin, Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur (Mahakam) kembali menggelar aksi demonstrasi di halaman gedung DPRD Provinsi Kaltim. Aksi kali ini berangkat dari isu penggusuran masyarakat adat di daerah proyek IKN dengan tajuk “Aliansi Mahasiswa Kalimantan Timur Menggugat Reforma Agraria”.
“Ada upaya-upaya pemerintah dalam pengusiran masyarakat adat, sehingga membuat mahasiswa terpanggil lewat hati nurani terkait aksi problematik ini, untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat,” terang Saduani Nyuk, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim pada (21/3) lalu.
Aksi ini dihadiri sekitar 200 massa dari berbagai lapisan, didominasi oleh mahasiswa Unmul dari berbagai fakultas: BEM KM, BEM FISIP, BEM FH, LEM Sylva Mulawarman, HMPS FKIP, BEM FKIP, BEM FPIK, Hima Penjas, HMPKn, Sambaliung Corner, serta Forestry Magazine Kehutanan. Adapun organisasi eksternal kampus yang turut membersamai aksi, yakni HMI Unmul, GMNI Unmul, dan HMI Cabang Samarinda.
Sekitar pukul 15.00 WITA, massa aksi mulai memadati Islamic Center, titik kumpul aliansi. Setelahnya mereka pun ramai-ramai menggunakan kendaraan menuju gedung DPRD Kaltim.
Dalam demonstrasi tersebut, Naufal Banu Tirta Satria, Humas Aliansi Mahakam yang kerap disapa Banu, menyampaikan tuntutan utama. Salah satunya adalah mendesak pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat serta memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat.
Mereka juga menuntut perbaikan syarat dan standarisasi pengakuan serta perlindungan masyarakat hukum adat. Selain itu, mereka meminta kejelasan mengenai rencana pembangunan IKN serta pendirian dan pengembangan sekolah adat.
Tuntutan tersebut dipicu oleh penggusuran paksa di beberapa wilayah seperti Pemaluan, Sepaku, dan Saoloan. Banu menjelaskan bahwa keputusan aksi ini diambil sebagai respons terhadap penggusuran tersebut yang telah memantik kegelisahan masyarakat adat.
“Karena telah 25 tahun rancangan undang-undang ini berada di Prolegnas tapi sampai saat ini belum ada kejelasannya,” ungkap Banu saat diwawancarai langsung pada (21/3) kemarin.
Aliansi Mahakam menekankan urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat karena memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat. Saat ini, hanya ada tiga masyarakat adat di Kalimantan yang diakui secara hukum. Namun, dengan disahkannya RUU tersebut, masyarakat adat lainnya diharapkan dapat mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang jelas.
Saduani Nyuk menegaskan agar pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat dan Reforma Agraria agar hak-hak masyarakat adat dapat tercapai.
Dalam upaya mencapai tuntutan mereka, Aliansi Mahakam mencoba bernegosiasi dengan pihak di balik pagar gedung DPRD Kaltim untuk meminta izin masuk ke dalam gedung. Namun, permintaan tersebut tidak diindahkan, sehingga memicu kegiatan demonstratif, seperti pembakaran ban, menggoyangkan pagar, hingga memblokade jalan raya di depan gedung tersebut.
“Sebenarnya goals kita adalah mencoba untuk berembuk dengan anggota DPRD Kalimantan Timur ataupun pimpinannya langsung, tetapi ternyata seluruh anggota (DPRD) itu tidak ada di gedung saat ini. Jadi akhirnya kita meminta masuk ke dalam tapi gak dibolehin,” jelas Banu.
Aliansi Mahakam bertekad untuk terus mengawal perjuangan mereka dalam mendapatkan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di Kalimantan. Mereka berencana untuk melanjutkan aksi dengan melibatkan massa yang lebih besar, termasuk mahasiswa, lapisan masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan adat.
Aksi demonstrasi berakhir sekitar pukul 17.30 Wita, ditutup cuaca hujan menjelang berbuka puasa. (xel/npl/emf/mar)