Manuver Politis Pra Penutupan Pendaftaran Bacalon Gubernur

Manuver Politis Pra Penutupan Pendaftaran Bacalon Gubernur

SKETSA – Penuh warna dan drama! Barangkali itu adalah kalimat yang pas menggambarkan dinamika pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kaltim. Beberapa drama berunsur manuver politis terjadi sebelum bakal calon resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim. Bahkan drama meruncing saat tenggat waktu pendaftaran calon akan ditutup Rabu (10/1) lalu.

Walikota Balikpapan Rizal Effendi yang diisukan berpasangan dengan Syahrie Ja’ang justru jadi ‘korban politik’ pada hari-hari terakhir pendaftaran. Rizal Effendi tersisih sementara Syahrie Ja’ang menggandeng Awang Ferdian. Padahal, kontestasi Pilkada baru memasuki tahap pendaftaran bakal calon, belum sampai tahap pelaksanaan pemungutan suara yang akan berlangsung pada 27 Juni 2018 mendatang.

Awak Sketsa Jumat (12/01) lalu menyambangi pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosail dan Ilmu Politik Unmul, Budiman untuk mengetahui pandangan terkini terhadap dinamika Pilkada Kaltim. Menurut pandangan Budiman, pertarungan antar bakal calon lebih didominasi  kepentingan elite dalam skala nasional ketimbang mendengar usulan dari masyarakat dan partai politik (parpol) di tingkat daerah.

Oleh sebab itu, masuk akal saat manuver politik seketika berubah dinamis saat pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur resmi dibuka oleh KPU Kaltim.

“Apa yang terjadi di Pilkada Kaltim saat ini cenderung adalah adanya pertarungan elite dari pusat dengan orientasi ke depan adalah tabungan untuk pilpres 2019,” ungkapnya.

Maka dari itu, menurutnya perlu adanya desentralisasi parpol agar tiket untuk berlaga di pilkada ditentukan oleh perwakilan parpol daerah, bukan justru diputuskan oleh elite nasional. Karena elite nasional tidak mengenal kapasitas setiap calon di daerah secara teknis.

Budiman juga menyinggung tiap calon yang maju dalam kontestasi pilkada harus memikirkan prioritas pembangunan Kaltim ke depan pasca tambang yang terus menyusut jumlahnya. Sebuah tantangan yang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin dilakukan.

Budiman memandang Pilkada Kaltim sebelum mendaftar ke KPU sebagai dinamika politik yang kurang lebih sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Di mana parpol yang merasa mampu akan mencalonkan kadernya. Sedang parpol yang tidak mampu akan mencari orang yang mempunyai setidaknya kapabilitas dan kapasitas serta moda sosial.

Partai-partai di daerah coba menyaring calon yang memiliki potensi untuk bisa menyejahterakan rakyat. Ada beberapa kelompok di luar parpol yang mencoba memperkenalkan dirinya karena merasa mampu mencalonkan diri sendiri atau menyejahterakan masyarakat. Kita bisa lihat itu dalam konteks individu seperti Kapolda Kaltim (Safaruddin), Rusmadi (Wongso), dan Isran Noor.

Namun terkadang, apa yang dibayangkan dan diinginkan masyarakat atau parpol tadi berbanding terbalik dengan munculnya empat pasangan calon yang resmi mendaftar ke KPU Kaltim).

“Yang terjadi di Kaltim dan Indonesia saat ini adanya pertarungan di elite pusat, bukan pertarungan elite daerah dan bukan keinginkan oleh masyarakat daerah,” ucapnya.

Apa yang terjadi hari ini di Kaltim sebab adanya pertarungan elit dari pusat dengan orientasi ke depan itu semua menjadi tabungan untuk Pilpres 2019 mendatang. Di Kaltim yang jadi keinginan rakyat dan parpol seperti Demokrat, PKB, dan PPP adalah Syahrie Ja’ang dan Rizal Effendi. Akan tetapi sebelum penutupan berakhir, yang terjadi adalah Syahrie Ja’ang akhirnya bersanding dengan Awang Ferdian.

Jadi, melihat fenomena yang ada, maka perlu desentralisasi parpol. Artinya tiket untuk berlaga di daerah seharusnya ditentukan oleh perwakilan parpol daerah, jangan nasional. Karena elite di nasional tidak terlalu melihat serta mengenal kapasitas dan kapabilitas calon-calon di daerah.

Sementara parpol dan masyarakat di daerah lebih paham tentang calon yang bisa memimpin di daerahnya. Dengan sistem paket-paket (oleh elite nasional) ini, itu yang sekarang jadi persoalan besar.

“Menurut saya, berpasangannya Ja’ang dan Awang Ferdian bukan menaikan elektabilitas, tapi menurunkan,” jawab Budiman.

Fenomena sebelumnya, apa yang diinginkan masyarakat daerah bisa terlihat. Ada Rita Widyasari, Isran Noor, Syahrie Ja’ang, Rizal Effendi, lalu beberapa orang yang didorong oleh orang lain. Rusmadi didorong Awang Faroek. Ada pula orang yang mendorong dirinya seperti Safaruddin.

Prediksi awal Budiman, jika Rita Widyasari tidak mencalonkan diri menjadi gubernur, maka peluang terbesar untuk menang adalah Syahrie Ja’ang dan Rizal Effendi. Itu jika dilihat dari geopolitik. Hampir 70 persen pemilih di Kaltim diwakili oleh Balikpapan, Samarinda, dan Kutai Kartanegara. Artinya, siapa yang bisa menguasai tiga (wilayah) ini, itu yang berpeluang menang. Dengan Ja’ang dan Rizal berkolaborasi, otomatis bisa ditebak itu (siapa pemenangnya). Itu dari segi geopolitis. (dan/els)