KRUS Tenggelam, Turut Bersamanya adalah Museum Kayu

KRUS Tenggelam, Turut Bersamanya adalah Museum Kayu

SKETSA – Satpam yang bertugas jaga di Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) terlebih dahulu memberikan informasi mengenai tiga hal. Pertama, tidak ada sama sekali orang yang berada di dalam KRUS. Kedua, ular yang dulunya kecil kini mungkin sudah dewasa. Ketiga, jika kawanan beruk lewat, lebih baik kabur daripada sembunyi.

Sejak KRUS dinyatakan tidak aktif sebagai tempat wisata pada Maret 2017, perlahan-lahan kondisi KRUS semakin tidak terurus. Pihak pengelola dalam hal ini yang berasal dari Fakultas Kehutanan (Fahutan), kala itu mengeluarkan surat edaran kepada warga yang bermukim di KRUS. Isi surat tersebut menginginkan warga untuk pergi dan mengosongkan KRUS.

"Kita enggak mau ngeyel. Nanti kalau gitu, kitanya yang dicap gimana-gimana. Paham aja kan KRUS mau dibaikin, nanti kalau sudah baik kan kita bisa usaha lagi," kata Retno, salah satu warga yang tinggal di KRUSApril tahun lalu.

(Baca:https://sketsaunmul.co/reportase/dilema-tinggalkan-krus-dan-mitra-setia/baca dan https://sketsaunmul.co/reportase/putus-hubungan-dinas-pariwisata-dan-krus/baca)

Pada masanya tempat seluas 300 hektare itu adalah wisata favorit. Warga kota yang butuh piknik datang berbondong-bondong ke KRUS, menikmati keindahan hutan dan menjajal beragam permainan rekreasi. Kini itu semua tinggal kenangan.

Ariyanto, pengelola kawasan KRUS tahun 2017 menyebut KRUS tidak pernah kehilangan fungsi aslinya sebagai hutan pendidikan. Siapa pun masih bisa melakukan penelitian dan praktikum di KRUS. Kegiatan itu masih terus berlangsung hingga sekarang.

“Yang perlu ditekankan adalah fungsi utama KRUS itu sebagai hutan pendidikan. Wisata hanya fungsi tambahan,” katanya.

Salah seorang mahasiswa angkatan 2013 yang namanya enggan disebut, mengamini perkataan Ariyanto. Mahasiwa ini mengaku kerap melakukan praktikum dan penelitian di KRUS. Ia juga mengaku skripsi yang tengah digarap mengambil lokasi penelitian di kawasan KRUS. Alasan utamanya karena lokasi penelitian menjadi tidak begitu jauh.

“Kalau sampai harus bermalam berarti malamnya kamping. Paginya baru praktikum,” ucapnya.

Mengabaikan Koleksi Museum Kayu

Pengnonaktifan KRUS sebagai wisata sayangnya tidak dibarengi dengan pemeliharaan fasilitas. Ketiadaan pengunjung membuat aset-aset wisata di KRUS menjadi usang—komedi putar tidak lagi terlihat lucu tetapi menyeramkan. Museum Kayu adalah satu di antara sekian banyak yang terbengkalai.

Ariyanto mengatakan koleksi Museum Kayu tetap ada di dalam gedung dua tingkat itu. Dalam keadaan tidak pernah disentuh atau dirawat oleh siapa pun. Koleksi Museum Kayu terdiri dari bermacam-macam kayu semisal kayu ulin, piringan dari kayu hingga motif-motif kayu olahan.

Ada herbarium yaitu koleksi spesimen tumbuhan yang diawetkan dan ada fosil. Semua koleksi tersebut tentu membutuhkan perawatan yang intens. Jadi semakin miris karena kunci pintu dari Museum Kayu disebut Ariyanto telah hilang.

Ariyanto tak terlalu merepotkan nasib koleksi kayu yang bakal dihajar rayap. Sebab, katanya, koleksi yang ada di Museum Kayu juga tersedia di laboraturium milik fakultas. “Tidak terlalu merepotkan, karena kayu tidak lapuk, dan masih bisa diganti. Untuk fosil pasti awet,” ujarnya.

Ia lantas mengurai masalah Museum Kayu dari segi ekonomis. Penjualan tiket seharga Rp2 ribu per orang pernah diandalkan untuk menutupi biaya operasional gaji bagi pengelola. Bila dihitung secara kasar nyaris tidak ada untung, kalau tidak dikatakan rugi.

“Artinya dari segi ekomonis sudah tidak layak. Tapi dipertahankan untuk pendidikan,” katanya.

Ariyanto tengah berupaya menyusun rencana pengelolaan KRUS untuk beberapa tahun ke depan. Ia ingin agar KRUS aktif lagi sebagai tempat wisata. Dalam pencanangan itu, Museum Kayu sendiri bisa dikelola oleh salah satu lab di Fahutan atau bisa diserahkan sekalian kepada pihak swasta yang mengajak bekerja sama.

Putu Supadma Rudana, Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI), pernah berkata di hadapan para ibu negara dalam rangkaian Spouse Program KTT ASEAN, 18 November 2011 silam. Isi pernyataan Rudana itu dikutip kapital dalam laman AMI, yakni “Meluhurkan museum, memuliakan kebudayaan.” (ajy/mer/wal/els)