Keterwakilan Tokoh dalam Pembangunan IKN

Keterwakilan Tokoh dalam Pembangunan IKN

Sumber Gambar: Tempo.co

SKETSA - Sebanyak lima orang pejabat tinggi madya Otorita Ibu Kota Negara (IKN) telah dilantik Kamis (13/10) lalu oleh Kepala Otorita IKN, Bambang Susanto di Kementerian Sekretariat Negara. 

Mereka adalah Achmad Jaka Santos Adiwijaya (Sekretaris Otorita IKN), Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi (Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN), Muhammed Ali Berawi (Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita Ikn), Ida Bagus Nyoman Wiswantanu (Kepala Unit Hukum dan Kepatuhan Otorita IKN), dan Myrna Asnawati Safitri (Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN)

Jika ditelaah lebih lanjut, pejabat tinggi otorita yang terdiri dari empat laki-laki dan satu perempuan hanya tersusun dari satu pejabat yang merupakan masyarakat asli Kalimantan Timur. Orang tersebut adalah Myrna Asnawati Safitri. 

Adanya ketimpangan gender, etnis, bahkan keterwakilan tokoh lokal dalam pemilihan kelima pejabat tersebut memunculkan suatu fenomena baru. Bagaimana sebenarnya ketentuan porsi gender, kesukuan, dan potensi masyarakat lokal dalam partisipasi pembangunan IKN?

Muhammad Arifin, Dosen Antropologi, menyebut jika aspek gender masih kuat memengaruhi pemilihan pekerjaan tertentu dalam proses pembangunan IKN nantinya.

“Bisa jadi ini bukan kebijakan pemerintah, akan tetapi ideologi patriarki sudah terlanjur mengakar dalam kehidupan masyarakat. Sehingga sangat kuat dalam memengaruhi sebuah keputusan atau tindakan, termasuk memilih pekerjaan tertentu,” terangnya Rabu (19/10) melalui Whatsapp.

Meninjau dari sisi etnis, berdasar data survei yang telah Arifin lakukan dalam pemetaan sosial di Kecamatan Sepaku melalui program KKN Unmul 48 tahun 2022, tampak bahwa lebih dari 95 persen masyarakat Sepaku adalah etnis Jawa. Hal ini disinyalir dalam pembangunan IKN nantinya, suku Jawa akan menjadi mayoritas. 

Namun, tidak menutup kesempatan bagi kelompok etnis atau suku lainnya. Termasuk dalam hal ini suku Paser, Paser Balik, Bugis, Banjar, Dayak, Kutai, dan kelompok suku lainnya yang ada di sekitar kawasan pembangunan IKN.

“Belum lagi dari sisi jumlah, diperkirakan pembangunan IKN membutuhkan tenaga kerja  hingga 200 ribu tenaga kerja. Sedangkan khusus di Kecamatan Sepaku hanya berkisar 30 ribu jiwa. Belum lagi dipilah berdasarkan usia produktif dan jenis kelamin. Oleh karena itu, pemerintah akan mengambil kebijakan membuka peluang kerja bagi masyarakat bahkan hingga luar Kalimantan.”

Porsi pejabat IKN menyangkut lokalitas maupun luar Kaltim sebenarnya tidak menjadi perkara, selama etnonasiolisme dipupuk dengan baik sepanjang perjalanannya.

“Setidaknya ada porsi orang Kaltim yang diberi ruang untuk itu mengingat warga Kaltim lebih paham konteks masyarakatnya dan daerahnya,” imbuhnya.

Diwawancara secara terpisah, pendapat juga datang dari Sholihin Bone selaku Dosen Hukum Unmul. Saat dihubungi awak Sketsa Rabu (19/10) lalu, dirinya menegaskan pentingnya memperhatikan keterwakilan masyarakat lokal.

“Idealnya, kebijakan mesti memperhatikan konteks keterwakilan dari masyarakat lokal. Hal itu penting karena masyarakat lokal sedikit banyak telah mengetahui kebutuhan-kebutuhan apa saja terkait IKN ke depan.”

Baginya, penting dilakukan pemetaan secara teliti tentang potensi sumber daya manusia di Kaltim khususnya dalam konteks pembangunan IKN.

“SDM dan potensi lokal tidak boleh direduksi, ia harus dilibatkan agar tidak menjadi penonton dalam rumahnya sendiri,” pungkas Sholihin. (sya/srg/str/nkh)