Sumber Gambar: NPR
SKETSA – Genap setahun lamanya, Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Beragam kebijakan pun telah digalakkan demi melakukan pencegahan penyebaran, seperti melakukan gerakan 3M (Memakai Masker, Menjaga Jarak dan Mencuci Tangan) hingga kebijakan yang lebih besar seperti Pembatan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sayangnya, hingga akhir 2020 lalu, jumlah kasus terkonfirmasi bertambah. Hingga 8 Maret 2021, tercatat penambahan kasus sebanyak 6.894 dari total 1,39 juta.
Lantas, pemerintah menelurkan kebijakan berupa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagai salah satu solusi. Bukannya memberlakukan PSBB secara ketat, justru terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 01 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dianggap lebih ringan daripada PSBB.
Namun, dapat kita lihat bersama bahwa hal ini tak kunjung menurunkan kasus penyebaran, bahkan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) kian meningkat. Kebijakan-kebijakan yang diberikan seolah tak lagi menjadi halangan bagi masyarakat untuk beraktivitas tanpa prokes layaknya hari-hari normal. Presiden Joko Widodo juga enggan melakukan lockdown bagi wilayah-wilayah terdampak. Ia menyebut jika Indonesia beruntung tidak sampai lockdown sebab akan didera kerugian ekonomi.
Dilansir dari tirto.id, pertimbangan Jokowi ini membuat Indonesia masuk dalam tahap PSBB dan PPKM dengan hasil yang kontraproduktif. Ekonomi menurun, tetapi kasus positif Covid-19 terus melonjak. Meski pemerintah menyebut prosedur PPKM membuat landai alias menurunkan kasus, nyatanya grafik tidak seperti itu. Jokowi lalu menganggap situasi ini tidak efektif dan kecewa sendiri.
Esti Handayani Hardi, sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Unmul pun turut berkomentar terkait kasus ini. Ia menganggap, pemerintah seharusnya melakukan uji coba terhadap kegiatan masyarakat untuk mempersiapkan kondisi new normal yang sebenarnya, bukannya menerapkan kebijakan lain yang melelahkan masyarakat.
“Seharusnya, yang perlu digalakkan itu adalah memperjelas aturan mana yang mau dijadikan pedoman. Jangan diubah-ubah. Kalau berubah terus, saya yakin masyarakat akan semakin bingung dan semakin tidak tahu harus seperti apa menyikapinya,” jelas Esti kepada Sketsa, Selasa (2/3).
Ia menambahkan, pemerintah dapat membuat latihan atau simulasi untuk memulai adaptasi. Apakah akan terjadi penambahan kasus saat simulasi atau tidak, semuanya patut dicoba untuk mengetahui hasilnya.
“Yang perlu dilatih itu kan sebenarnya kedisiplinan. Bagaimana kita berinteraksi dengan orang, karena nggak mungkin kita selamanya begini,” paparnya.
Tanggapan lain diberikan oleh Dewi Yuniar, dosen Administrasi Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Baginya, inkonsistensi pemerintah, kurangnya pengawasan dan naiknya angka kasus Covid-19 tidak terlepas dari pola masyarakatnya. Meskipun peraturan-peraturan tersebut diberlakukan, masih banyak yang mengabaikan protokol kesehatan.
“Jadi, kebijakan itu dibuat berdasarkan beberapa analisis dan melewati beberapa tahap. Coba masyarakatnya mendukung, mungkin bisa cepat menurunkan angka Covid-19,” katanya, Rabu (17/2).
Dewi menuturkan, meski keberadaan PSBB dan PPKM digalakkan, masyarakat masih tak menurut dan terus mengabaikan protokol yang ada bahkan semudah memakai masker atau mencuci muka. Namun, ia tak mengabaikan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap kebijakan mereka sendiri.
“Contohnya, gubernur kita kemarin bilang, ‘Sabtu dan Minggu gak boleh ada apa-apa, steril.’ Lalu minggu selanjutnya, mall buka. Ia tidak konsekuen dengan kebijakannya sendiri. Jadi masyarakat menganggap remeh hal ini.”
“Kayak sekarang, PPKM di Samarinda dengan pembatasan (sampai) jam 9. Awal-awal dipatroli, sekarang sudah nggak ada lagi. Jadi, masyarakat tuh bingung dengan kebijakan. Mereka berpikir, harus melakukan apa? Di sisi lain juga harus menyambung hidup, berjualan, bayar biaya sekolah,” sambungnya.
Mengenai solusi, keduanya sepakat bahwa baik pemerintah dan masyarakat harus kembali bersinergi. Pemerintah konsisten dengan aturan yang diterapkan, masyarakat konsisten dengan melakukan protokol kesehatan.
“Kita sebagai sesama masyarakat harus membantu dengan aksi nyata. Jangan sekadar mengkritik tanpa ada tindakan. Jangan lelah memberikan sosialisasi atau menegur dan memberi tahu. Fokuslah pada apa yang bisa kita selesaikan,” tukas Esti.
“Konsisten itu artinya kan harus terus menerus diberlakukan. Kalau masih kecolongan, berarti peraturan pemerintah masih tidak konsisten. Kalau pemerintahnya konsisten, masyarakat pasti taat dan disiplin asal benar-benar bertanggung jawab,” tutup Dewi. (zar/sar/wuu/len/ptc/fzn)