Fenomena Crosshijaber dan Ancaman Sekuritas Privasi Perempuan

Fenomena Crosshijaber dan Ancaman Sekuritas Privasi Perempuan

Sumber: tribunsolo.com

SKETSA – Akhir-akhir ini, media sosial kembali dibanjiri dengan fenomena crosshijaber. Ini adalah modus baru dari para pelaku penyimpangan seksual.

Crosshijaber berasal dari kata crossdresser yaitu seorang laki-laki yang suka memakai pakaian lawan jenis, namun dalam kasus ini mereka lebih suka memakai pakaian syar'i seperti jilbab dan cadar bahkan gamis. Busana tersebut digunakan agar mereka bisa masuk ke area khusus wanita seperti toilet atau saf jamaah wanita dan bebas melakukan kontak fisik terhadap lawan jenis.

Fenomena ini ternyata sudah berkembang ke berbagai pelosok daerah, termasuk Samarinda. Baru-baru ini kembali terjadi, di mana seorang laki-laki memasuki area khusus jamaah wanita di salah satu masjid dan tertangkap basah tengah menyamar. Modus operandinya, sang pelaku mengajak jamaah putri untuk berfoto bersama sembari memeluk.

Crosshijaber merupakan lagu lama yang kini kembali mengudara. Bahkan, di laman Instagram, terdapat akun crosshijaber yang memiliki ribuan pengikut dengan ratusan unggahan foto.

Kondisi ini tentu saja membuat resah para kaum hawa, terutama mereka yang menggunakan busana dengan cadar. Sebab, ketakutan orang-orang terhadap kemungkinan yang bergabung bersama mereka dengan busana muslim syar’i adalah seorang pria, menjadikan kaum perempuan-perempuan takut karena wilayah privasi mereka disusupi oleh pelaku crosshijaber, hingga memunculkan stigma negatif terhadap perempuan tulen yang menggunakan cadar.

Dwi Rahmawati Wardani, seorang mahasiswi Unmul yang bercadar turut merasakan dampaknya. Mahasiswi semester lima yang di pertengahan tahun 2019 memutuskan untuk memakai cadar ini pada mulanya tidak mempermasalahkan dan merasa tenang saja bercadar tatkala perkuliahan. Namun, ketika berita crosshijaber hadir ke muka publik, dalam suatu perkuliahan, seorang dosen laki-laki menyeletuk dalam ruangan, “Ini beneran yang makai cadar ini perempuan, bukan laki-laki?” Untungnya, teman-teman selelas Dwi ikut buka suara mengatakan kalau sosok di balik busana tersebut adalah perempuan.

Hal ini tentu saja membuat Dwi resah. Sebab, para perempuan yang memutuskan untuk berpakaian demikian ikut terhantam rata. “Jadinya merugikan kami dan bikin orang-orang nyeletuk iseng,” ujarnya.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Siti Hasanah, mahasiswa Fisip angkatan 2017. Perempuan yang terkadang tampil bercadar ini mengaku risih dengan fenomena crosshijaber. “Kami jadi punya ketakutan tersendiri karena bisa-bisa dituduh, dan bisa juga malah kami yang jadi korbannya," ucap Siti.

Ke depannya, Siti berharap adanya keamanan dan petugas yang dapat melindungi kaum hawa baik saat beribadah maupun ketika pergi ke kamar kecil di area sekitar Kampus. (ycp/nis/wil/hjr/fqh)