Darurat Museum Kampus Unmul

Darurat Museum Kampus Unmul

SKETSA – Peresmian Museum Samarinda yang dilaksanakan awal Februari lalu kembali membuka diskursus lawas tentang seberapa vital keberadaan sebuah museum sebagai sarana pendidikan dan kebudayaan.

Dilansir dari laman web Tirto pada 13 November 2016 menurunkan sebuah laporan yang isinya menyatakan Indonesia tengah darurat museum. Antara jumlah penduduk dan jumlah museum yang ada di negeri ini, angkanya tidak sebanding. Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 428 museum (menurut catatan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) yang terakhir melakukan penginputan per Januari 2016).

Sementara di negara maju seperti Amerika Serikat ada 35 ribu museum untuk penduduk berjumlah 320 juta jiwa. Sehingga wajar apabila kehadiran Museum Samarinda disambut kordial oleh warga kota, pun begitu dengan civitas academica yang konsen ilmunya adalah sejarah.

(Baca: https://www.sketsaunmul.co/berita-kampus/bagaimana-pendidikan-sejarah-merespons-museum-samarinda/baca)

Dari 428 museum yang ada, turut masuk di dalamnya tidak hanya museum kota, tetapi juga museum-museum yang berada di lingkungan kampus. Sejumlah universitas ternama tercatat sudah memiliki museum. Temanya beragam dan cukup spesifik.

Di Universitas Indonesia ada Museum Anatomi, sedangkan Universitas Gadjah Mada hadir dengan Museum Biologi dan Museum Situs Majapahit. Lalu ada Museum Geoteknologi Mineral dari Universitas Pembangunan Nasional.

Untuk Museum Pendidikan ada dua. Satu di Universitas Negeri Yogyakarta dan satu lainnya di Universitas Pendidikan Indonesia. Juga ada Universitas Airlangga yang saat ini memiliki dua museum yakni Museum Kesehatan dan Museum Etnografi. Serta tak ketinggalan dari tanah Papua, ada Museum Loka Budaya milik Universitas Cendrawasih.

Unmul hingga hari ini juga memiliki museum kampusnya sendiri. Dalam catatan AMI, Kalimantan Timur memiliki enam museum dan satu di antaranya disumbangkan oleh Unmul. Museum itu diberi nama Museum Kayu. Letaknya berada di dalam lingkungan hutan pendidikan, Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS).

Mampusnya Museum Kampus

Sausan Atika Maesara seorang mahasiswa dari Universitas Wageningen, Belanda menulis dalam web Kompasiana, ia menceritakan pengalamannya berkunjung ke Universiteit Museum Utrecht. Museum Kampus Utrecht ini memiliki enam ruangan dengan satu taman botani. Guna membantu memahami koleksi museum, disediakan monitor di tengah ruangan yang bertugas untuk memberi penjelasan kepada para pengunjung.

Seperti di salah satu ruangan bernama Kabinet Bleauland. Ruangan ini didedikasikan untuk penelitian yang dilakukan oleh Jon Bleauland, alumni Universitas Utrecht yang tersohor. Penelitian Bleauland memberi pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu kedokteran di Utrecht.

Di ruangan disediakan sebuah monitor, berisi tayangan yang memperlihatkan dialog interaktif antara dua orang yang menjelaskan sejarah Bleauland. Juga perkembangan penelitian di masa kini hingga potensi penerapan teknologi baru di masa depan. Monitor itu turut menjelaskan penelitian di bidang kedokteran yang dilakukan Universitas Utrecht.

Bagi Sausan metode penyampaian menggunakan teknologi seperti itu membuat tujuan museum universitas lebih bisa tercapai: menyalurkan perkembangan ilmu pengetahuan terhadap masyarakat luas, utamanya ilmu pengetahuan di bidang-bidang yang menjadi fokus universitas.

Keberadaan Museum Kayu di Unmul pun telah sejalan dengan visi yang selama ini terus digaungkan. Pengharapan tinggi untuk menjadi universitas berstandar nasional dengan implementasi tridarma yang bertumpu pada sumber daya alam, secara khusus hutan tropis lembap--atau oleh Rektor Masjaya sering dilafalkan dalam bahasa Inggris tropical rain forest.

“Kalau Unmul kan (visinya berkaitan dengan) hutan, harapannya tidak hanya generasi kita yang di sini saja yang tahu, tapi harus bisa menjadikan rujukan nasional dan dunia,” ucap Jamil, Ketua Prodi Pendidikan Sejarah.

Menurut Jamil, Museum Kayu dapat menjadi salah satu media bagi Unmul untuk menyampaikan dan memberikan edukasi seputar hutan tropis lembap kepada khalayak luas. Ditambah lagi, Kalimantan Timur telah terkenal dengan kekayaan dan keragaman kayunya.

Namun, sayangnya Museum Kayu beserta KRUS keseluruhan tidak lagi dapat diakses sebagai tempat wisata, terhitung sejak Maret 2017 hingga hari ini. Saat ditemui Sketsa, Ariyanto, manager pengelolaan kawasan KRUS untuk tahun lalu mengakui bahwa museum kayu terbengkalai dan tidak terawat. Fungsi Museum Kayu sebagai sarana pendidikan dan edukasi lumpuh hingga waktu yang belum ditentukan.

“Baru dibuka museum kayu apabila telah siap dibuka semuanya (KRUS),” kata Ariyanto. (mla/wal/ajy/mer/els)