Sumber Gambar : Merdeka.com
SKETSA – Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 6 Juli 2021 mendeteksi, dari proses pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) setidaknya ada lima jenis varian baru Covid-19 yang dibagi menjadi 3 varian. Dengan golongan Variant of Concern (VoC), terdapat jenis alpha, beta dan delta sedang dua lainnya adalah Variant of Interest (VoI) yakni varian eta dan kappa.
Siswanto, Dosen Epidemiologi Unmul menyatakan jika Covid-19 tak hanya dikenali dari satu sudut pandang melainkan dari semua perspektif. Mulai dari penyebab, lingkungan sebagai habitatnya dan lingkungan host atau orang-orang yang mungkin bisa terjangkit serta solusinya.
Menurutnya, virus-virus varian baru hasil mutasi dari Covid-19 yang mulai diidentifikasi di Indonesia merupakan sebuah ujian bagi pemerintah dan masyarakat. Sejumlah oknum minim empati dan mencuri-curi kesempatan dari situasi kondisi saat ini. Ia menyebut, banyak oknum yang kurang peduli dan mengambil keuntungan dalam Fearness Industry (industri kecemasan atau ketakutan).
Misalnya seperti masker dan hand sanitizer yang sempat susah dicari, sehingga ada suplementasi harga yang di luar nalar. Saat ini pun sedang viral sebuah merk susu dan vitamin yang dianggap dapat menyembuhkan penderita Covid-19 hingga membuat barang tersebut semakin dicari dan harganya melonjak tinggi.
Selain itu, beberapa penggiringan opini yang tak bertanggung jawab turut memperparah keadaan. Misalnya, beberapa kali pelaku perjalanan domestik maupun internasional dianggap sebagai pembawa virus-virus varian baru ke Indonesia. Akibatnya, masyarakat saling menghakimi serta menyalahkan pemerintah atas longgarnya peraturan terkait perjalanan internasional. Padahal masih banyak masyarakat yang tidak taat bahkan mengabaikan protokol kesehatan (prokes) selama pandemi berlangsung, meskipun tidak melakukan perjalanan domestik maupun internasional.
Dilihat dari angka evidence based Badan Litbangkes Kemenkes RI pada 6 Juli 2021, ada sebanyak 553 kasus varian baru dengan akumulasi 436 kasus varian delta, 57 kasus varian beta, 51 kasus varian alpha, 5 kasus varian eta, 2 kasus varian kappa dan 1 kasus varian lota. Virus-virus ini disebut sebagai penyebab utama meledaknya kasus Covid-19 saat ini.
"Tentu kita perlu waspada, karena virus varian baru ini berbahaya dan memiliki penularan yang cukup cepat. Tapi pada kenyataannya, banyak perilaku oknum masyarakat baik pelaku perjalanan atau bukan sering kali tidak menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta tidak menjalankan protokol kesehatan sebagaimana semestinya. Jadi, kita tidak bisa menilai sesuatu dari satu perspektif saja," tukasnya kepada Sketsa, Jumat (9/7) lalu.
Saat ini, tercatat bahwa mutasi Covid-19 yang dikenal sebagai varian delta (B.1.617.2) merupakan virus yang paling cepat penularannya. Terdapat 436 kasus yang tersebar di sembilan provinsi di Indonesia, khususnya DKI Jakarta yang merupakan provinsi paling banyak teridentifikasi kasus varian delta sebesar 195 kasus. Adapun Jawa Barat 134 kasus, Jawa Tengah 80 kasus, Jawa Timur 13 kaus, Banten 4 kasus, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur masing-masing 3 kasus dan ada 1 kasus di Gorontalo.
Pemerintah lantas mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna menekan lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia termasuk Kalimantan Timur. Dirinya menilai, regulasi yang ditetapkan pemerintah tentunya dibuat secara holistik dan komprehensif. Siswanto mengatakan, ada lima analisa situasi yang dilakukan oleh epidemiologi.
Pertama yakni analisa status kesehatan. Saat ini, angka masyarakat yang terpapar Covid-19 sedang tinggi dengan persentase kematian yang serupa. Namun selain itu, masih ada penyakit penyerta (komorbid) seperti penyakit jantung, asma, strok dan lainnya yang mempermarah dan memicu kematian.
Kemudian ada analisa kependudukan. Dituturkan olehnya, sejatinya masyarakat memerlukan interaksi sebagai makhluk sosial. Adanya pandemi membuat mereka menjadi sulit satu sama lain, sehingga perlu perhatian lebih dari pemerintah terkait basis interaksi selama keadaan ini berlangsung.
Ketiga ada upaya pelayanan kesehatan. Saat ini, terlihat bahwa rumah sakit daerah, rumah sakit swasta dan puskesmas masing-masing bekerja sendiri dan kurang bersinergi. Perlu adanya koordinasi untuk saling bahu membahu dalam situasi yang sulit seperti sekarang.
Selanjutnya yakni perilaku kesehatan. Ada terlalu banyak oknum yang sulit diatur untuk menerapkan PHBS dan prokes. Perilaku merokok dan buang sampah sembarangan juga tak menjadi perhatian. Padahal, limbah medis berbahaya dan memerlukan cara khusus untuk membuangnya.
Terakhir ialah analisa lingkungan. Masyarakat butuh untuk memahami lingkungan dan demografi agar tak ada tumpang tindih opini mengenai penanganan Covid-19 pada daerah satu dengan yang lainnya.
Setelah kebijakan yang dikeluarkan di level pemerintah pusat, selanjutkan teknis akan dijalankan oleh level daerah. Dengan adanya identifikasi, efektifitas dan efisiensi serta metode penerapan kebijakan. Maka kebijakan dari PSBB, PPKM hingga PPKM mikro dijalankan.
Meski ada pro dan kontra terkait keputusan tersebut, ia menyebut jika penerapan pembatasan tersebut pasti setidaknya membuahkan hasil. Seperti di Kaltim sendiri, angka kasus Covid-19 sempat menurun. Namun, masyarakat yang sudah merasa aman menjadi lalai menerapkan prokes hingga kasus positif kembali meningkat.
Oknum-oknum dari jajaran pemerintah pun masih sering abai dan tidak konsisten dalam menjalankan prokes. Siswanto mengatakan jika tak ada artinya bila kedua belah pihak sama-sama tak peduli dengan keadaan saat ini.
"Memang, ada beberapa kelemahan dalam teknis penerapan kebijakan saat ini. Sehingga terlihat kurang optimal dan terkesan kaku," tambahnya.
Tak hanya penerapan kebijakan, mekanisme proses pelaksanaan distribusi vaksin juga harus diperhatikan untuk mencapai target herd immunity. Antar input, process, output dan outcome harus seimbang agar vaksin diharapkan dapat diterima masyarakat secara menyeluruh.
Dirinya juga berpendapat bahwa saat ini dibutuhkan pemimpin yang bersedia turun langsung ke lapangan, guna memonitoring evaluasi secara terstruktur dan terjadwal. Menurutnya, pemimpin wilayah harus memiliki mindset untuk menjaga wilayahnya supaya terhindar dari Covid-19.
Terakhir, Siswanto menyoroti kebijakan Unmul dalam menerapkan PPKM di lingkungan kampus. "Regulasi ini tentunya tak bisa diterapkan secara menyeluruh sebab ada kemungkinan seperti hal mendesak yang mengharuskan civitas academica untuk pergi ke kampus. Maka dari kebijakan yang ada, perlu untuk dibijaksanai," pungkasnya.
Ia berharap, civitas academica juga dapat mendukung kebijakan tersebut dan bersinergi bersama dalam menghadapi pandemi. (bae/len)