SKETSA - Duka belum sepenuhnya sirna. Luka dalam ingatan akibat peristiwa besar yang menghantam beberapa desa di Sulawesi Tenggara masih terasa, bahkan meninggalkan trauma mendalam. Bencana alam gempa dan tsunami menjadi momen menyedihkan bagi masyarakat Kota Palu serta Kabupaten Donggala. Peristiwa ini mengundang banyak simpati dan empati masyarakat Indonesia. Bantuan dan relawan silih berganti mengalir untuk membantu para korban. Tak terkecuali mahasiswa Unmul, yang turut andil membantu korban bencana dengan aksi galang dana.
Salah satunya ialah perwakilan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam (Imapa) Unmul, yang ikut terbang ke pulau Sulawesi untuk menjadi relawan di sana. Di antaranya ialah Mashuri, mahasiswa Fakultas Kehutanan angkatan 2016 ini merupakan Kepala unit SAR Imapa. Ia menjelaskan, relawan dari Unmul dibagi menjadi 2 tim. Tim pertama terdiri dari 4 orang yang bertugas mencari informasi posko-posko tanggap bencana, kesehatan, juga posko korban bencana yang selamat di lokasi. Sementara itu, tim kedua berjumlah 7 orang yang bertugas membawa donasi dari pencinta alam Kaltim. Kebutuhan yang paling dibutuhkan saat itu ialah popok dan susu bayi. Tim kedua yang berangkat bertugas untuk melakukan trauma healing pasca bencana.
Sesampainya di sana, semua terasa berbeda. Kota yang ramai benar-benar seperti kota mati. Pada malam hari, penerangan tidak benderang, bahkan gelap. Bau mayat menyerbak.
Tim pertama kemudian membuat posko sendiri di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Mereka fokus pada pencarian dan evakuasi korban, sekaligus membuka jalur untuk tim kedua. Selama 10 hari pencarian korban dilakukan. Di sana mereka ergabung dan dibagi dalam tim beberapa relawan. Ada dari Manado dan Yogyakarta, begabung menjadi satu tim relawan pecinta alam. Pencarian korban di lakukan di tiga titik yaitu di Petobo, Balaroa, dan daerah pantai.
"Saya di tempatkan di titik daerah tsunami, yaitu di Hotel Mecure yang ambruk. Lantai satu di hotel itu sudah tidak ada. Ada sepuluh korban yang saya evakuasi dan kondisi terakhir sudah jadi tengkorak. Bahkan ada yang kepalanya di meja badannya di lantai. Di Balaroa malah banyak yang ditemukan cuma kaki, tangan. Ada yang utuh tapi kepalanya tidak ada," papar Mashuri, menceritakan mirisnya situasi di sana.
Namun siapa sangka, pasca kejadian gempa dan tsunami yang besar di Kota Palu dan Donggala, gempa-gempa susulan masih saja menghantui. Relawan dari Imapa turut merasakan beberapa kali gempa itu. Dalam sehari bahkan bisa sampai 5 kali guncangan gempa terjadi. Hal ini tak menyurutkan semangat relawan untuk tetap membantu korban bencana di sana.
Relawan dari Imapa tak hanya membawa diri. Bekal dari Unit SAR yang ada di Imapa juga dimanfaatkan di sana, yaitu pelatihan tanggap bencana seperti pencarian korban tenggelam, juga pencarian korban bencana.
Mahsuri menambahkan berencana akan membuka kloter ketiga untuk menjadi relawan trauma healing di sana.
Dilansir dari Liputan6.com Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, jumlah korban meninggal akibat gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah, tercatat sebanyak 2.081 korban. Jumlah yang tercatat per 25 Oktober 2018 itu, didapat dari beberapa lokasi seperti di Donggala, Palu, Sigi dan Moutoung.
"Perinciannya 171 di Donggala, 1.706 di Palu, 188 di Sigi, 15 di Moutoung dan 1 orang di Pasang Kayu," kata Sutopo di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Jumat (26/10).
Penanganan darurat dampak gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah, terakhir ditetapkan hingga 26 Oktober 2018 kemarin.
Percepatan pemulihan dampak bencana terus dintensifkan, khususnya pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, pelayanan medis, perbaikan infrastruktur dasar, dan normalisasi kehidupan masyarakat. (nnd/adl)