Sumber Gambar: Unmul.ac.id
SKETSA - Kasus kekerasan seksual di Unmul bertambah, setidaknya yang tersorot belakangan ialah dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Fahutan, 28 April lalu. Di tengah getir ancaman dan menipisnya ruang aman untuk korban, kehadiran Satgas PPKS terus dinantikan. Namun, apa yang sementara mampu dilakukan warga kampus saat Satgas PPKS belum kunjung terdengar kehadirannya?
Dalam kekosongan itu, geliat organisasi mahasiswa (Ormawa) di Unmul jadi ujung tombak untuk mahasiswa mencari ruang aman. Dalam wawancara Sketsa sebelumnya, dua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) fakultas seperti FISIP dan FH, mengaku kesulitan dalam penanganan korban. Meski advokasi dan kolaborasi bersama lembaga terkait terus diupayakan. Di sisi lain, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Sylva (LEM Sylva) juga tak ketinggalan.
Kepada Sketsa Selasa (10/5), Naufal Banu selaku Ketua LEM Sylva menuturkan bahwa saat ini lembaga yang ia pimpin itu tengah membentuk Satgas internal Fahutan sebagai mitigasi untuk kasus serupa ke depannya. LEM Sylva akan menjadi fasilitator untuk korban yang alami kekerasan seksual. Setelah upaya itu, pihaknya hendak menggandeng pihak kampus dalam menindaklanjuti kasus kekerasan seksual.
Dalam upaya tersebut, LEM Sylva tak terlepas dari berbagai kendala. Apalagi saat ini LEM Sylva harus berdiri sendiri tanpa adanya bantuan dari Satgas PPKS sebagaimana yang diatur dalam Permendikbud PPKS.
"Kurangnya sumber daya manusia yang memahami tentang pelecehan seksual secara detail, sehingga memerlukan waktu untuk mempelajari," sebutnya saat menyoal antisipasi yang dilakukan lembaganya.
Bagi Naufal, dalam proses menciptakan ruang aman diperlukan beragam informasi untuk menunjang pengetahuan soal penanganan kekerasan seksual, terkhusus terhadap korban. Selain Permendikbud PPKS, pukulan atas apa yang terjadi April lalu di kampus rimbawan itu, membuat ia dan tim getol mempelajari sejumlah aturan seperti Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Perbanyak mencari informasi terkait pelecehan seksual dari berbagai sumber dan mempelajari UU TPKS dan Permendikbud.”
Selain itu, Sketsa mewawancarai Agustina, Dosen FH yang juga menjabat sebagai Koordinator Divisi Litigasi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Unmul pada Jumat (13/5) lalu.
Ia mengakui lambannya tim Satgas PPKS di Unmul tak terlepas dari panjangnya proses pelatihan yang harus ditempa peserta seleksi pada setiap tahapnya. Lewat rentang waktu itu, tutur Agustina, masing-masing fakultas dapat mengupayakan langkah kecil dan konkret terlebih dahulu.
Sebut misalnya pembentukan posko aduan yang berguna untuk mempermudah peninjauan dalam menangani kekerasan seksual yang terjadi. “Pihak Fakultas dapat saja membentuk Posko Aduan, kami di Fakultas Hukum juga sedang mempersiapkan posko kerja sama BEM Fakultas Hukum, Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak dan juga LKBH.”
Baginya hal ini tak bisa hanya menunggu dan mengandalkan Satgas PPKS di tingkat universitas, tetapi tiap tingkatan seperti program studi, ormawa, hingga fakultas sangat diharapkan inisiatifnya dalam menjemput bola. Tak pelak, wawasan mahasiswa terhadap kekerasan seksual yang mengintai di pendidikan tinggi ini juga harus diupayakan agar kesadaran itu menular.
“Mari sama-sama kita jaga muruah pendidikan di kampus kita dengan sinergi semua warga kampus sehingga dapat meminimalisir kekerasan seksual di kampus kita." (sya/tha/wuu/dre/khn/rst).