Sumber Gambar: Fauzan/Sketsa
- Malaria di kawasan IKN Nusantara akan menjadi ancaman baru bagi calon warga di sana. Sebab, kawasan tersebut menjadi habitat baik bagi nyamuk anopheles. Jika diusik, nyamuk tersebut akan pindah ke perkotaan.
- Dalam rentang lima tahun, Penajam Paser Utara yang menjadi sebagian besar lokasi IKN Nusantara terus diselimuti penyakit malaria. Parahnya, penderitanya menyentuh 5.000 jiwa, atau 50 persen dari total jumlah penderita malaria di Provinsi Kaltim. Mirisnya, pemerintah seakan-akan berpaling dari isu ini.
- Kejadian banjir di Kabupaten PPU per tahunnya berkisar lima hingga sepuluh kali kejadian. Selain curah hujan yang tinggi, genangan dan banjir yang di PPU juga dipengaruhi oleh kontur tanah yang cenderung cekung dan miring. Genangan diklaim sebagai salah satu faktor bagi berkembangnya nyamuk malaria.
- Menurut Ponco, Kepala Pengelola Program Malaria Dinkes PPU bahwa curah hujan yang tinggi mendorong nyamuk bermukim di tempat-tempat genangan yang menjadi sumber perkembangbiakannnya. Ia juga meyakini bahwa penderita malaria didominasi oleh pekerja kayu yang banyak berkegiatan di hutan.
SKETSA – Gatot Hardiyanto (46) hanya bisa menghela napas sebelum menceritakan sakit malaria yang dialami sekitar dua bulan lalu. Pria berbadan bidang ini merupakan penduduk asli Penajam Paser Utara (PPU). “Sendi-sendi sakit dan parahnya tidak bisa kerja. Saya full istirahat di rumah,” ujarnya ketika ditemui pada Selasa (20/9).
Akibat gigitan nyamuk Anopheles tersebut, bapak dari tiga orang anak ini praktis tidak punya pendapatan. Istrinya tidak bekerja. Selama ini hanya mengandalkan dia sebagai buruh pengumpul sisa-sisa limbah perusahaan kayu. Hanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang ia pegang untuk berobat kala itu.
“Keuangan terpuruk, soalnya berhenti total bekerja,” tuturnya.
Kejadian itu bukan satu kali dialami. Melainkan dua kali selang setahun dari kejadian yang menimpanya pertama. Sebagai pekerja “pembalok” sisa-sisa limbah perusahaan kayu, Gatot tidak punya pilihan selain menghadapi risiko terserang malaria. Dia tidak sendirian. Sejumlah pekerja seperti dirinya yang berasal dari luar PPU cukup banyak di daerah tersebut. Sama dengan Gatot, beberapa dari mereka juga pernah terjangkit Malaria dan menghadapi kondisi terancam jiwa dan pendapatannya.
Ini dikarenakan tempat kerja para pembalok berada di KM 24 di Kelurahan Sotek, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Kondisi geografis berupa perbukitan hutan belantara dengan tingkat kelembapan sangat lembab. Hal itulah yang menyebabkan menjadi sarang bagi nyamuk Anopheles. Padahal, lokasi ini berhimpitan dengan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang mulai digarap pembangunanya oleh pemerintah.
Lokasi tempat Gatot bekerja juga bukan tidak mungkin akan menjadi tempat pemukiman bagi warga IKN di kemudian hari. Sebagai gambaran lokasi tempatnya bekerja dengan kawasan yang ditunjuk Presiden Republik Indonesia pada 2019 lalu sebagai IKN itu memang hanya berjarak 30 KM. Dengan luas IKN Nusantara yang akan menempati areal seluas 256.143 hektare, lokasi itu juga berbatasan dengan Kabupaten Paser dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Meskipun demikian, kasus malaria ini belum pernah disinggung oleh pemerintah pusat. Malaria memang telah menjadi ancaman nyata bagi calon penduduk di IKN Nusantara. Data dari Dinas Kesehatan Kalimantan Timur, pada periode 2016-2020, Kabupaten PPU selalu menduduki peringkat pertama kasus malaria. Laporan dari situs malaria.id, memperkuat fakta bahwa PPU menjadi salah satu provinsi di luar wilayah timur yang masuk kategori endemis.
Total jumlah penderita malaria pada rentang 5 tahun mendekati 11.000 jiwa di seluruh Kaltim. Khusus Kabupaten PPU, penderitanya mencapai 5.000 jiwa, atau 50 persen dari total jumlah penderita malaria di provinsi Kaltim. khusus pada tahun 2020, 1 dari 10 warga berpenduduk 178.681 jiwa itu bahkan terjangkit malaria.
Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Swandari Paramita, menduga tingginya kasus malaria di Kabupaten PPU karena ada hubungannya dengan pembukaan hutan secara besar. Situasi itu ditengarai mengganggu habitat asli nyamuk Anopheles.
“Itu yang bikin kenapa kasus-kasusnya itu enggak turun-turun, karena memang hutannya banyak dibuka, habitat nyamuknya juga jadi terganggu karena banyak manusia,” ujar Swandari saat dihubungi pada Rabu (14/9/2022).
Menurutnya, karakteristik nyamuk Anopheles itu sedikit berbeda dengan nyamuk Aides Aegepty penyebab demam berdarah (DBD). Biasanya nyamuk jenis ini menggigit manusia pada sore hingga pagi hari. Anopheles juga cenderung menyukai daerah yang sifatnya alami seperti rawa-rawa dan genangan air yang tidak terlalu bersih untuk berkembang biak yang baik.
Swandari dengan tegas mengatakan bahwa malaria ini tentu akan menjadi ancaman baru bagi penduduk yang akan berpindah ke IKN Nusantara. Meski pembangunannya dicanangkan berkonsep Forest City, namun rencana ini belum dibagikan pada tim ahli dan pegiat lingkungan hingga belum jelas bagaimana pemerintah berencana membangun hunian perkotaan tersebut tanpa mengganggu ekosistem setempat.
Bahkan Swandari juga mengatakan ketika penduduk mulai berpindah ke IKN Nusantara, justru bukan hanya malaria yang menjadi bayang-bayang, bisa saja nyamuk DBD yang akan muncul kelak menghantui penduduk.
“Kurang lebih akan sama saja masalah kesehatan yang akan kita hadapi kelak,” tuturnya.
Kawasan Titik Nol IKN Nusantara. Sumber Gambar: Fauzan/Sketsa
Peringatan itu senada dengan hasil temuan BPBD PPU. Menurut Kepala BPBD PPU, Marjani, genangan dan banjir yang ada di Kabupaten PPU juga dipengaruhi oleh kontur tanah di daerah itu yang cenderung cekung dan miring. Genangan diklaim sebagai salah satu faktor bagi berkembangnya nyamuk malaria. Ditambah lagi fakta bahwa curah hujan di PPU terbilang. Kombinasi itu sudah sempat terbukti ketika pada 2020 terjadi lonjakan curah hujan dan banjir menyebabkan kasus malaria memuncak di tahun tersebut.
Marjani juga menjelaskan bahwa kejadian banjir di Kabupaten PPU per tahunnya berkisar lima hingga sepuluh kali kejadian. Dan penyebabnya ditentukan dari tingginya curah hujan yang terjadi di sekitar kawasan calon IKN.
“Saya pernah baca-baca di media dan Pak Jokowi berkoordinasi dan menerima laporan dari Bappenas dan PU, bahwa di Sepaku (lokasi IKN Nusantara) khususnya di Penajam itu ada 30 hingga 40 persen kontur kemiringan tanah, jadi memang harus ada perlakuan khusus,” ungkap Marjani.
Swandari mengungkapkan fakta menarik yang wajib diperhatikan oleh pemerintah. Meskipun kasusnya meningkat, tetapi dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa Malaria lebih banyak menjangkit warga non penduduk asli PPU.
Ia menegaskan bahwa nantinya penduduk asli PPU yang tinggal di kawasan endemis malaria punya semacam kekebalan khusus terhadap penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk ini. Alasannya ialah karena mereka setiap hari terpapar dengan nyamuk malaria, sehingga pada saat mereka terkena malaria tidak jatuh pada kondisi yang berat atau kondisi yang serius.
“Malaria juga ada macam-macamnya, kita punya malaria yang ringan malaria vivax itu ciri khasnya mereka sangat sering bisa kumat. Yang serius ada namanya malaria falciparum, itu kalau kena apalagi dia adalah orang pendatang yang tidak pernah terpapar nyamuk itu sebelumnya pasien bisa jatuh pada kondisi yang serius dan berat. Jadi kalau hanya kumat sekali atau dua kali itu enggak masalah, masih ada pengobatan yang bisa kita berikan ke pasien, asal cepat ketahuannya,” jelasnya.
Kepala Pengelola Program Malaria, Dinkes PPU, Ponco Waluyo mengakui curah hujan berpengaruh pada tingginya malaria. Sebab curah hujan yang tinggi akan mendorong nyamuk bermukim di tempat-tempat genangan yang menjadi sumber perkembangbiakannnya.
“Kenapa curah hujan tinggi akhirnya menjadi peningkatan kasus malaria? Semakin curah hujan tinggi semakin tempat perindukan nyamuk itu banyak,” ujarnya.
Kendati demikian, menurutnya, pihaknya mengklaim 85 persen kasus malaria di PPU bukan dari wilayah PPU melainkan dari luar daerah. Sedangkan 15 persen sisanya barulah merupakan kasus domestik yang berasal dari dalam PPU. Hal itu disebabkan PPU hanya menjadi lokasi transit para pekerja kayu yang dominan terkena malaria dari luar PPU.
Salah satu lokasi yang menyumbang 15 persen kasus malaria di PPU ialah Desa Bukit Subur. Lokasinya tidak jauh dari lokasi pembangunan IKN Nusantara. Mirisnya, meski kasus malaria sering terjadi di sana, namun akses ke puskesmas cukup jauh, warga yang ingin berobat harus menempuh jarak berpuluh kilometer jauhnya.
“Desa Bukit Subur juga menjadi kawasan 15 persen tadi yang ditemukan kasus malaria indigenous. Memang Bukit Subur akses ke puskesmas Sotek (terdekat) sekitar 19-20 kilo,” tutur Ponco.
Ponco menyatakan Dinas Kesehatan PPU juga telah melakukan penelitian terkait kasus malaria ini. Para warga yang pernah menderita malaria ini didominasi oleh pekerja kayu yang memang banyak berkegiatan di hutan.
“Ternyata setelah penyelidikan epidemiologi, di sana banyak pekerja para pengrajin kayu yang mengais sisa-sisa kayu ulin berukuran 1 hingga 2 meter, yang awalnya beroperasi di KM 50 mereka berpindah ke afdeling 4,5,6 dan akhirnya kita temukan lagi kemarin dan sudah kita antisipasi,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya sudah sangat paham dengan kasus-kasus malaria yang ada di PPU. Berdasarkan pemaparannya, malaria bermula sebelum tahun 2012, kala itu kasus malaria di PPU memiliki Annual Parasite Incidence (API) sangat tinggi. Bahkan di beberapa tempat, kasusnya API-nya lebih dari 25/1000 penduduk.
“Awal tahun 2010-2012 itu, lokasi yang paling banyak malaria itu lokasi IKN saat ini,” tutur pria berambut cepak itu saat dihubungi pada Rabu (14/9).
Kawasan Titik Nol IKN Nusantara. Sumber Gambar: Fauzan/Sketsa
Pihaknya mengaku telah melakukan kegiatan-kegiatan optimal mulai dari membagikan kelambu massal, kemudian penyemprotan dinding dengan semprotan anti nyamuk pada barak atau rumah di seluruh wilayah endemis temuan dini kasus malaria.
Ponco juga mengatakan bahwa jika merunut secara klasifikasi perwilayah kasus malaria hingga tahun 2022, 85 persen kasusnya bukan berada di wilayah PPU. Pihaknya juga telah melakukan survei nyamuk Anopheles.
“Itu sudah kita buktikan secara penyelidikan epidemiologi. Bahkan sebelum titik IKN itu ditentukan, sudah banyak penelitian yang dilakukan di Kabupaten PPU ini, baik dari Litbangkes Tanah Bumbu, maupun BTKLPP Banjarbaru untuk membuktikan ada tidak sumber penularan malaria ini di Kab. PPU,” terangnya.
Meski demikian, pihaknya juga telah melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan secara intensif diantaranya pembagian kelambu massal dan melakukan malaria mobile. Ponco juga mengatakan bahwa kegiatan itu terintegrasi dan melakukan pemeriksaan massal serta pengobatan. Tak hanya itu, melakukan survei jentik, survei vektor nyamuk dan pemetaan wilayah-wilayah endemis juga turut dilakukan.
Ia juga membeberkan bahwa selain tim dari puskesmas dan dinas kesehatan bahkan dari provinsi serta pendampingan dari WHO, peran kader juga ikut terlibat memerangi malaria ini. Kader tersebut diambil dari berbagai elemen, kemudian dilatih untuk menjangkau tempat-tempat sulit yang berpotensi malaria.
“Jadi, mereka (kader) berada di posisi-posisi terdepan pencegahan dan penanggulangan malaria ini. Mereka diambil dari komunitas mereka, baik itu yang bekerja di perkebunan secara terkoordinir dan yang kerja di perusahaan itu melibatkan karyawan yang dilatih, baik itu para pengrajin kayu,” kuncinya.
Survei Migrasi
Disinggung mengenai antisipasi yang akan dihadapi menjelang pembangunan IKN Nusantara, Ponco dan pihaknya mengaku telah bersiap. Salah satu yang akan diambil pihaknya adalah dengan melakukan survei migrasi, seluruh orang yang akan memasuki kawasan IKN nantinya akan melalui proses pemeriksaan.
Ia juga mengaku tak memiliki kesulitan dalam menangani malaria di PPU, sebab warga yang terkena malaria notabenenya bukan penduduk asli PPU melainkan pekerja dari kabupaten di sekitar PPU. “Sebenarnya kita tidak mengalami kesulitan untuk yang itu.”
Ponco juga menggagas bahwa programnya sudah berjalan optimal, bahkan ia yakin bahwa dengan dukungan berbagai pihak serta masyarakat yang sama-sama berjuang menuntaskan kasus malaria ini, ia yakin bahwa IKN bisa masuk ke kategori eliminasi malaria.
“Pemda, kemudian komitmen pemda, provinsi dan dinas kesehatan dan komitmen pusat itu inshallah menjamin. Bahkan kemarin sudah dilakukan pemeriksaan terhadap 127 pekerja hasilnya negatif dan dilakukan edukasi penanggulangan dan pencegahan malaria. Jadi melihat komitmen itu inshallah IKN ini akan aman,” kekeh Ponco.
Dengan berbagai programnya itu, Ponco tak main-main dalam menggelontorkan dana demi menuntaskan kasus malaria. Tak tanggung-tanggung, Sekitar 20 juta pertahun dianggarkan pada APBD untuk fokus menangani malaria, bantuan ratusan juta dari global fund juga kerap didapatkannya sebagai dukungan.
“Bahkan untuk pencegahan dan penanggulangan malaria ini juga sebenarnya tidak menjadi tanggung jawab dinas kesehatan aja, makanya kita gandeng semuanya termasuk perusahaan dan lintas sektor. jadi ini menjadi gawai bersama, termasuk dinas kehutanan dan ketenagakerjaan,” ucapnya.
Dari segi jaminan kesehatan, Kab. PPU tidak main-main dalam menggelontorkan dana terhadap pasien yang menderita malaria. Meski tidak terdata secara rinci, BPJS bersama Jamkesda telah meng-cover seluruh pasien malaria yang berobat pada fasilitas kesehatan milik pemerintah diantaranya klinik, puskesmas, hingga rumah sakit.
Jika menilik deretan penyakit pada tahun 2020 yang ada di Kaltim misalnya, Malaria memang selalu menduduki peringkat teratas dibandingkan DBD, TB Paru,Pneumonia, dan kusta.
Meski kelihatannya kasus endemis malaria di PPU sudah menjadi lagu lama selama lima tahun, namun status endemis yang disandang tak kunjung dibenah. Pada periode 2016-2017 tercatat sebanyak empat jiwa telah melayang akibat wabah ini. Alih-alih mencoba program demi mengeliminasi malaria, pemerintah justru tengah sibuk merancang istana negara di calon IKN yang baru.
Catatan: Seluruh informasi dalam artikel adalah hasil olah data terbuka dari Publikasi Dinkes Provinsi Kaltim “Profil Kesehatan Kalimantan Timur” dan Publikasi BPS Provinsi Kaltiim “Kalimantan TImur Dalam Angka”.
Liputan ditulis Muhammad Razil Fauzan untuk diterbitkan di Sketsaunmul.co. Karya ini merupakan hasil “Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Mahasiswa” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews.