Sumber Gambar: news.detik.com
SKETSA - Aksi menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden, di Jakarta pada Senin (11/4) lalu diwarnai kericuhan juga sejumlah insiden. Salah satu yang menyita perhatian publik: pengeroyokan Dosen FISIP UI, Ade Armando. Dirinya menjadi dikenal karena opini-opini kontroversial yang ia tulis di media sosial. Itu kemudian menjadi akar di balik pengeroyokannya.
Dosen Sosiologi Unmul, Daryono, mengungkap anarkisme dalam aksi dapat terjadi, berkaca dari hadirnya teori kerumunan (crowd). Sebutnya, massa atau kerumunan memiliki situasi psikologis yang berbeda dengan orang yang sedang sendirian. Namun, tindak kekerasan yang dialami oleh Ade tidak semestinya terjadi. Pasalnya akan berujung mencederai aksi demonstrasi mahasiswa yang juga dilakukan di beberapa daerah.
"Kerumunan ternyata cenderung sensitif dan mudah tersulut emosi. Walaupun orang tersebut awalnya tidak tertarik atau tersulut, ia bisa terprovokasi jika ada satu orang yang menyulut. Sehingga tindakan anarkis sering terjadi. Oleh karena itu, perlu adanya pengamanan dalam aksi demonstrasi untuk meminimalisir terjadinya tindakan anarkis," paparnya Selasa (19/4).
“Kekerasan itu tidak dibenarkan dan siapa pun harus dihargai dan mendapat keamanan di ruang publik,” lanjut Daryono.
Selain itu, ia mewanti-wanti agar dalam menyampaikan pendapat, perlu menilik lebih lanjut bidang yang kita kuasai. Ini bermaksud belajar dari kasus pengeroyokan yang menimpa Ade. Sebagai akademisi, penting untuk memastikan apa yang dibicarakan tak mengundang kemarahan dengan berbicara sesuai kapabilitas.
Demonstrasi mahasiswa kemudian memberi pesan yang berbeda dari gerakan aspirasi yang seharusnya mengawal kebijakan. Memahami tujuan dan poin-poin tuntutan dari aksi demonstrasi, ungkap dosen sosiologi itu menjadi langkah utama.
Lalu strategi dan tujuan dari aksi perlu disosialisasikan secara masif hingga ke seluruh elemen demonstran seperti penyebaran informasi melalui sosial media ataupun poster. Koordinasi yang matang dan identifikasi partisipan demonstrasi juga perlu diupayakan sebagai pencegahan adanya oknum tidak bertanggung jawab yang tergabung dalam aksi.
Agustina Wati salah satu dosen Fakultas Hukum sekaligus Sekretaris Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak (PuSHPA) dan Koordinator Divisi Litigasi di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH Unmul, turut menyayangkan insiden itu. Menurutnya pemukulan itu telah memenuhi unsur dalam Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan.
"Perlu juga dipastikan oleh pihak kepolisian mengenai motif dari pelaku dan penyebab pasti dari pemukulan tersebut. Identifikasi terhadap pelaku pemukulan juga perlu dipastikan sebelum diumumkan agar tidak terjadi kesalahan seperti beberapa waktu lalu. Pemukulan terhadap Ade Armando ini."
Termasuk dalam pelanggaran HAM berat, ia turut menyebut sejumlah pasal yang mengaturnya. Di antaranya berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) Polri, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, dan jaminan kemerdekaan menyampaikan pendapat dalam Pasal 28 UUD 1945.
Lalu PP Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban, hingga UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, turut disebut Agustin ketika ditanya mengenai regulasi perlindungan Ade.
"Pihak Kepolisian bertanggung jawab menyelamatkan korban dan menghukum oknum yang melakukan tindakan pemukulan tersebut," ungkapnya pada Selasa (19/4) lalu.
Terkait opini Ade yang menjadi buah bibir, Agustina menilai opini yang dinyatakan oleh Ade Armando sah-sah saja untuk dilontarkan ke publik. Pasalnya ada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) yang menjamin kebebasan berpendapat.
Tanggapan Mahasiswa
Senin (18/4), Sketsa juga meminta tanggapan kepada mahasiswa. Yudhi Iqbal Syarif, Menteri Kajian Strategis (Kastrat) BEM FISIP Unmul menaruh rasa prihatin. Meski kericuhan kerap mengiringi penyampaian aspirasi, namun insiden itu tidak dapat dinormalisasi dan harus dihindari.
Menilik undang-undang mengenai HAM, Yudhi turut mendukung kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi. Bagi Yudhi demonstrasi harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Yakni berupaya menghindari segala macam tindak kekerasan terutama yang berdampak pada fisik.
"Tetapi tentunya ketika ada hal yang dirasa tidak sesuai dari penyataannya kita juga memiliki hak untuk mengomentarinya di mana dalam membangun opini pun juga harus melalui kajian-kajian yang mempunyai dasar yang kuat."
Kementerian Kaderisasi BEM FH Unmul, Rhiska Afriliani, menganggap tindakan anarkis justru dapat mencoreng tujuan utama dari aksi demonstrasi. Itu juga berimbas pada citra mahasiswa yang seharusnya memperjuangkan rakyat malah dinilai sebagai sosok brutal.
"Padahal, pelaku pengeroyokan tersebut adalah oknum tidak bertanggung jawab," tulisnya melalui pesan WhatsApp, Selasa (19/4).
Meski kebebasan berpendapat dijamin di negara demokrasi kita, utamanya ruang publik seperti media sosial, bagi Rhiska opini yang bersifat sensitif perlu disampaikan secara hati-hati demi meminimalisir pernyataan yang multitafsir sebab setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda.
"Masing-masing pribadi punya perspektif berbeda dalam menerima dan menelaah informasi yang kadang ditelan mentah-mentah. Entah hoax atau fakta ya asal diterima saja berdasarkan 'katanya'. Ada sedikit perbedaan sulit untuk diterima. Kurangnya rasa menghargai perbedaan itulah yang bisa menimbulkan aksi yang memprovokasi hingga mengakibatkan kesalahpahaman." (amg/srg/dre)