Belajar dari LPM Lintas: Ketika Penguasa Salah Kaprah Menilai Kedudukan Pers Mahasiswa

Belajar dari LPM Lintas: Ketika Penguasa Salah Kaprah Menilai Kedudukan Pers Mahasiswa

Sumber Gambar: lpmlintas.com

SKETSA - Masih ingatkah dengan kasus pembredelan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon akibat terbitan majalahnya bertajuk “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” yang berujung pada intimidasi kepada awak mereka beberapa waktu lalu? Hingga kini, kasus tersebut masih belum menemukan titik terang. 

Tindak kekerasan, pembekuan, dan upaya kriminalisasi terhadap pers mahasiswa bukan satu–dua kali terjadi. Tindakan yang mencederai hak kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi ini acap kali terjadi tanpa ada kejelasan pasti dalam penanganannya. 

Jika dikilas balik, pada catatan Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) selama 2014-2015 tercatat tujuh bentuk kasus yang sering dialami awak Persma di Indonesia. Kasus itu di antaranya berbentuk: intimidasi, diskriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi dan pemutaran film, pembredelan majalah, serta pembekuan lembaga pers mahasiswa.

Serupa dengan LPM Lintas pada 2015 LPM Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga juga mengalami hal serupa. Majalah Lentera yang diterbitkan pada Oktober 2015 ditarik rektorat dan polisi, lantaran laporan mereka tentang peristiwa 1965 di Salatiga.

Pada tahun berikutnya, yakni 2016, tercatat ada dua kasus, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Keduanya dibredel oleh pihak rektorat. LPM Poros juga sempat terancam dibekukan karena mengkritik pembangunan Fakultas Kedokteran pada April 2016. 

Bukan hanya karena produk yang mereka terbitkan, di lapangan ketika mereka melakukan peliputan sering kali mendapat tindakan represif dari berbagai pihak. 

Pada 2020 misalnya, 28 insan pers mahasiswa mengalami kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak Rabu hingga Jumat 9 Oktober 2020. Muhammad Miftahul Kamal Annajib, jurnalis dari LPM Missi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang sedang merekam aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang pecah. Dengan telepon genggamnya, ia merekam sekitar 7 aparat kepolisian yang memukul salah satu massa aksi.

Lalu, di zaman reformasi ketika kebebasan berpendapat dan berserikat seharusnya dijamin oleh konstitusi, justru dicederai oleh oknum yang menganggap pers mahasiswa tidak memiliki subtansi dalam mengkritik penguasa.

Padahal keberadaan Persma sebagai media alternatif di kampus sangat strategis, sebab Persma dapat memberikan informasi, pendidikan hingga kontrol kebijakan.

Namun, tak dapat dimungkiri sangat rawan terhadap intimidasi dan tekanan dari berbagai pihak termasuk rektor yang menjabat. Persma yang belum jelas payung hukumnya, dengan mudah dapat dibekukan dan dibumi hanguskan keberadaannya.

Sebagaimana lembaga pers pada umumnya, pers mahasiswa juga memiliki peran yang sama untuk menjadi kontrol terhadap pejabat dan pengelola kampus. Pers mahasiswa juga menjadi salah satu pilar tegaknya demokrasi di kampus. Pembungkaman menjadi pertanda kemunduran demokrasi. Sebuah pertanda yang buruk untuk Indonesia.

Nasib LPM Lintas IAIN Ambon

Terbitnya majalah LPM Lintas IAIN Ambon edisi Januari 2022, membuat Rektor Institut Agama Islam Negeri alias IAIN Ambon membredel pers mahasiswa Lintas. Praktik-praktik seperti yang dilakukan Rektor IAIN Ambon ini salah satu contoh yang mencoreng demokrasi terhadap kebebasan pers. Persis seperti beberapa kasus di atas.


Dihubungi awak Sketsa pada Selasa (2/8), Yolanda Agne selaku Pimpinan Redaksi LPM Lintas IAIN Ambon membagikan pandangannya.

“LPM Lintas sangat mengutuk keputusan kampus untuk membredel pers kampus. Itu sama saja mengancam kebebasan pers di lingkungan kampus sekaligus kebebasan akademik. Seharusnya kampus lebih bijak dengan mengikuti keputusan SK Dirjen Pendis no 5494 tentang penanganan KS di lingkungan PTKI,” tuturnya saat dihubungi via WhatsApp.

Ia juga mengatakan bahwa pers mahasiswa bukanlah humas kampus. Selama ini kampus berharap pers mahasiswa hanya memberitakan hal baik tentang citra kampus, padahal menurutnya fungsi pers itu sendiri ialah sebagai kontrol sosial. 

“Seharusnya kampus melihat berita ini bukan sebagai berita buruk untuk citra kampus. Berita ini harus dilihat sebagai koreksi kepada kampus tentang regulasi yang harus diperbaiki agar kampus menjadi tempat yang bebas dari kasus kekerasan seksual,” sahutnya.

Walaupun hingga kini pihaknya masih dibekukan dan alat kerja mereka sudah ditarik oleh pihak kampus, tetapi Yolanda bersama awaknya akan terus menjalankan funginya sebagai insan pers.

“Kami tetap memberitakan apa yang perlu menjadi koreksi bagi kampus. Redaksi Lintas tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Tentu kami juga akan memberitakan informasi lainnya tentang kampus sesuai dengan fungsi pers yaitu wadah informasi."

Seperti Apa Seharusnya Kedudukan Pers Mahasiswa di Lingkup Universitas?

Nurliah yang merupakan Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Unmul ini memberikan respons terhadap kasus LPM Lintas IAIN Ambon dan kelirunya civitas academica menyikapi fungsi lembaga pers mahasiswa.

Menurutnya, pers mahasiswa sudah sepatutnya bersikap kritis. Sebab pers mahasiswa bukan media humas, yang seharusnya berdiri sendiri sebagai lembaga humas universitas. 

“Meski pers mahasiswa tidak disebutkan di dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, tetapi tujuan pers sama kan yakni memberikan informasi, mengontrol pemerintah, mengontrol terhadap penguasa, keberadaan pers kan seperti itu kalau secara umum kan,” tegasnya Selasa (2/8).

Ia juga menegaskan bahwa saat ini seharusnya tidak ada lagi aturan pembredelan, terlebih ia menyoroti ini bukan lagi zaman orde baru. Negara ataupun kampus tidak berhak lagi melakukan pembredelan terhadap pers mahasiswa, sebab kampus yang notabenenya adalah lingkungan intelektual, tentu harus memberikan kebebasan berpikir, dan kesempatan dalam menyampaikan pendapat bagi civitas academica.

“Harusnya kan (kampus) memberikan ruang untuk bersuara terhadap apapun asalkan ditulis sesuai dengan kode etik, cover both sides, konfirmasi, verifikasi, dan mengemukakan dengan data.”

Dirinya juga menuturkan walau bagaimanapun pembredelan terhadap pers mahasiswa akan menjadi sejarah buruk bagi dunia pers. 

“Di era yang sebenarnya sudah terbuka, pemerintahannya sendiri tidak ada lagi (melakukan pembungkaman pers), hadirnya UU pers tahun 1999 itu kan membuka kebebasan pers, tetapi kok di era yg membuka tren kebebasan pers kampus sendiri membungkam suara-suara kritis di pers mahasiswa, substansinya di situ sebenarnya ya.”

Semestinya pejabat kampus melihat ini sebagai ruang belajar mahasiswa yang bergabung di lembaga pers mahasiswa. Sikap tidak membungkam dengan memberikan pemahaman akan verifikasi tentu menjadi langkah yang baik. Pasalnya verifikasi adalah harga mati.

“Pers kan tidak boleh dibungkam, tidak boleh dibredel, karena dijamin oleh UU Pers, dan bahwa ada pasal 28 UU semua masyarakat punya kebebasan untuk berbicara dan berorganisasi.”

Penting bagi universitas untuk memayungi mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kemampuan khusus untuk dapat mengaktualisasikan dirinya.

Namun, Nurliah berpesan bahwa pers kampus tidak boleh ikut dalam kegiatan kampanye yang menjelekkan salah satu rektor atau orang tertentu, itu karena pers mahasiswa harus punya sikap membeberkan fakta, tanpa disertai niat buruk menjelekkan orang lain. (fzn/tha/lau/mel/khn)