SKETSA - “Nanti ikut MPMB, ya.”
“Ah, malas. Nanti dimarah-marahi.”
“Memang sih dimarahi, tapi itu ada tujuannya. Kenapa kamu harus dimarah-marahi? Kamu ini calon mahasiswa Fakultas Hukum, kebanyakan mahasiswa Fakultas Hukum itu jadi jaksa, hakim, pengacara. Sedangkan ketika kamu nanti dibentak orang dan kamu tidak punya mental sama sekali, masa langsung down?”
Faisal Fadhil alias Codet masih bersitatap dengan adik sepupunya yang tahun ini diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman. Codet sedang berusaha membuka pemikiran adiknya tentang pentingnya muatan kegiatan dari Masa Penyambutan Mahasiswa Baru (MPMB). Terlebih lagi Codet tahun ini ditunjuk menjadi ketua MPMB 2016. Setidaknya, dia patut untuk meyakinkan orang terdekatnya lebih dulu sebelum meyakinkan maba yang lain.
“Kenapa harus pakai peralatan aneh-aneh? Itu untuk melatih malu di depan umum,” kata Codet kepada adiknya.
Kemudian hari yang ditentukan itu tiba yakni pelaksanaan MPMB, adik sepupunya ternyata jatuh sakit. Codet tidak tinggal diam, ia segera menelepon tantenya. Codet meminta agar anak itu tetap turun datang ke kampus. Meskipun nanti selama kegiatan berlangsung hanya mendekap di ruang kesehatan, itu tidak jadi masalah. Malah jauh lebih baik daripada batang hidungnya tak nampak sama sekali.
Toh, akhirnya adik sepupu Codet diminta lagi supaya mengikuti MPMB susulan. Saat itu sang adik tidak lagi menolak dan memilih ikut, meski sudah tahu kegiatan apa yang tersaji di dalam MPMB. Begitu juga saat dilaksanakan Latihan Kepemimpinan (LK), adik sepupu Codet tak lagi membantah dan manut saja.
Sebagai senior di kampus, Codet jelas memiliki kapasitas lebih dibanding adik sepupunya. Setiap maba di FH selalu diajarkan tentang pentingnya sopan santun terhadap senior. Rambut maba pria dicukur habis agar mereka bisa menyadari tangga mereka yang masih rendah. Codet pun mengalami hal yang sama ketika maba. Hal itu dimaksudkan agar para maba tahu dan paham bahwa mereka tidak berada dalam strata yang sama dengan seniornya. Bahwa mereka sedang diajari tata krama, bukan sebuah pertunjukan balas dendam.
FH Memang Beda
Sekitar pukul 20.00 Wita, Sabtu (10/12) sekretariat Sketsa kedatangan dua tamu yang merupakan perwakilan dari BEM Hukum. Ada Faisal Fadhil alias Codet dan Hardjuno datang memberikan hak jawab terkait pernyataan maba Dilan yang sebelumnya diturunkan Sketsa dalam pemberitaan. Pernyataan Dilan tersebut, nyatanya tak disenangi dan membuat malu Codet dan Juno selaku mahasiswa Hukum.
BEM Hukum sebagai lembaga menilai perkataan Dilan tidak sepatutnya diucapkan oleh maba Fakultas Hukum. Apalagi di tengah masa menjelang Pemira seperti ini. Dikhawatirkan keterangan Dilan akan mengurangi minat pendaftar di BEM Hukum, yang berujung dengan menurunnya angka kader baru.
“Yang jadi permasalahan di sini maba ini terlalu bodoh ketika dia berbicara seperti itu. Kami ini anak Hukum punya adik tingkat seperti itu, kader seperti itu, dengan kata-katanya itu. Kalau misalkan anak Hukum yang lain melihat bahasanya dia, pasti tertawalah,” kata Codet.
Codet bersaksi bahwa sekali-kali tidak anggota BEM Hukum mengeluarkan untaian kata “kebun binatang” kepada para maba ketika dilakukan sweeping. Bukti mengenai hal ini bisa diulik langsung kepada maba lain yang turut hadir saat sweeping.
“Tidak pernah! Kata-kata ‘kebun binatang’ dari mana coba, ada kah bukti rekaman secara visual atau audio?” tegas Juno.
Pernah sekali sweeping BEM Hukum memakan waktu selama satu jam, itu terjadi ketika sehari setelah dilaksanakannya MPMB. Sisanya sweeping rutin dilakukan tiap bulan dan paling lama hanya menyita waktu 15 menit. Namun, tidak dimungkiri setiap sweeping ada momen di mana anggota BEM Hukum meninggikan suara kepada 27 maba yang tidak mengikuti MPMB dan LK. Para maba ini diteriaki dan dibentak. Tujuannya, tidak lain sebagai shock therapy atas ulah dan perbuatan yang membuat mereka masuk dalam daftar hitam.
FH memang tidak sama dengan fakultas lain yang ada di Unmul, FH punya cara sendiri dalam mengemas konstruksi mental awal ke para mabanya. Salah dua di antaranya adalah dengan kewajiban mengikuti MPMB dan LK. Sehingga sangat sulit diterima apabila ada maba menolak mengikuti kegiatan tersebut, padahal tidak begitu mengerti muatan yang ada di dalamnya.
“Jangan hanya dengar kata orang,” imbuh Codet.
Adapun kegiatan seperti “cium tanah air” dan “tembak bintang” disebut Codet sebagai upaya melatih mental para maba. Ada keberanian yang timbul sebelum seseorang memutuskan mau melakukan tindakan itu. Sebagaimana dulu Codet dan Juno juga pernah mengalami hal yang demikian.
“Untungnya enggak ada yang sampai mati. Toh, kalau peserta MPMB sakit kita bisa bawa ke rumah sakit, kok,” sambung Juno.
Tidak ada alasan yang persis bisa membuat maba Hukum boleh absen di dua kegiatan sakral itu. Ada beberapa alasan ketidakhadiran seperti sakit, acara keluarga, kendala ekonomi, sampai yang terkonyol bangun kesiangan. Tapi, tak satu pun bisa benar diterima. Jika maba ini ingin, mereka perlu menebus dosa dengan mengikuti MPMB dan LK di tahun yang akan datang. Demi kembalinya hak berorganisasi dan berkegiatan itu.
“Samalah Seperti Kami di Fakultas Hukum”
Perdebatan yang terjadi selama ini adalah apakah benar KM Fakultas Hukum melalui AD/ART-nya telah melanggar HAM? Karena jelas membekukan hak organisasi dan berkegiatan maba yang tidak mengikuti MPMB dan LK.
Aturan ini tampak berlawanan dengan pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Sedangkan setiap tahunnya di Musyawarah Besar, KM Fakultas Hukum rutin membahas konteks dan isi AD/ART-nya. Meski begitu, tetap saja tidak tampak tanda-tanda ada hal yang berubah.
KM Fakultas Hukum tentu tahu aturan apa yang telah mereka buat. Bagi Codet, mahasiswa angkatan 2014 itu, AD/ART KM Fakultas Hukum tidak melanggar HAM. Sebab, aturan main sudah sangat jelas bahwa tidak pernah ada larangan kepada maba FH untuk berorganisasi, yakni dengan satu syarat mengikuti MPMB dan LK.
“Ketika tidak ikut MPMB dan LK dia harus terima konsekuensinya. Itu saja kok,” tukasnya.
Ia mencoba membuat perbandingan, betapa sebenarnya pasal 28 UUD 1945 yang dialamatkan ke KM Fakultas Hukum adalah sesuatu yang klise. Katakan begini, seseorang berada di sebuah organisasi, tapi karena dia tidak mengikuti aturan yang ada, lantas dia didepak dari organisasi itu. Pertanyaan Codet, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan pasal 28 mengenai kebebasan berserikat?
“Samalah seperti kami di Fakultas Hukum,” ucapnya membandingkan.
Saat maba tidak mengikuti MPMB dan LK maka tidak boleh baginya mengikuti organisasi dan kegiatan apa pun di fakultas dan universitas. Codet mengatakan, kalau memang mau berpatokan dengan Pasal 28 mengenai kebebasan berserikat, lantas mengapa anggota lembaga pemerintahan yang korup setelah keluar dari penjara, tidak boleh lagi masuk ke dalam lembaga tersebut?
“Sedangkan itu melanggar hak, ‘kan? Kebebasan berserikat. Begitu juga dengan 27 maba itu,” jelasnya.
Untuk itulah, LK hadir sebagai pintu untuk mendapatkan hak organisasi. Jadi tidak hanya berguna untuk mendaftar di BEM Hukum saja, tetapi juga di seluruh organisasi dan lembaga di universitas. Juno menerangkan, sehabis LK tiap peserta diberi sertifikat yang berguna sebagai legalitas. Sertifikat ini selayaknya juga Kartu Tanda Penduduk, menegaskan status maba tersebut telah diterima di keluarga mahasiswa FH.
“Kamu kalau enggak punya KTP, ruangmu dibatasi. Kamu tidak bisa ikut Pemilu. Kalau mengacu pada Pasal 28, kamu harusnya bebas dong padahal kamu lahir di Indonesia,” seloroh Juno.
Mengebiri maba hingga tingkat universitas adalah sanksi yang dianggap tepat. Karena, seperti dituturkan Codet, setiap maba lahir membawa nama fakultasnya masing-masing. Khusus FH, ketika maba tidak mengikuti MPMB dan LK, berarti dia belum mengenal apa-apa tentang FH. Lantas saat maba memutuskan untuk berorganisasi di luar, kemudian di suatu hari dia melakukan kesalahan maka yang tercemar adalah nama fakultasnya. Dan, AD/ART KM Fakultas Hukum telah berpikir sejauh itu.
BEM Hukum, hingga kini masih bersikukuh atas kebenaran tindakan mereka melarang 27 maba berorganisasi sampai semuanya mengikuti MPMB dan LK. Sebab bagi mereka, MPMB dan LK ibarat kunci. Tidak hanya untuk memasuki organisasi di internal FH, tapi juga untuk segala lini organisasi yang ada di Unmul. Mereka pun berdalih, ini telah diketahui oleh birokrat kampus mereka dan tidak pernah dikecam oleh siapa pun juga. (wal/aml)