Apakah Vonis Kasus Korupsi di Indonesia Sudah Layak?

Apakah Vonis Kasus Korupsi di Indonesia Sudah Layak?

Sumber Gambar: Sindo News

SKETSA – Kasus korupsi ekspor benih lobster yang dilakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo dan Direktur PT Dua Putera Perkasa, Suharjito telah sampai pada tahap persidangan. Sidang tersebut menghasilkan vonis 2 tahun penjara dan denda sebesar Rp250 juta serta subsider 3 bulan kurungan kepada Suharjito. Putusan hakim ini lebih ringan jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut vonis 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.

Adapun majelis hakim menjelaskan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Suharjito pada kasus ini. Pertama, ia tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi sehingga hal ini menjadi tolak ukur beratnya putusan hukum. Namun, karena terdakwa belum pernah dipidana sebelumnya, bersikap kooperatif serta berperan sebagai tulang punggung keluarga membuat vonisnya menjadi lebih ringan.

Selain itu, diketahui Suharjito memberikan kesempatan kepada 10 karyawannya untuk melakukan umrah serta berperan dalam pembangunan 2 masjid juga rutin memberikan santunan kepada yatim piatu. Lantas, apakah hal ini dapat dianggap layak untuk mengurangi vonis kasus korupsi?

Rini Apriyani, dosen Fakultas Hukum (FH) Unmul menerangkan bahwa putusan majelis hakim terhadap Suharjito telah sesuai dengan Undang-Undang (UU) yang berlaku, yakni UU Nomor 20 Tahun 2001 pasal 5 ayat (1) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dinyatakan, pidana paling singkat adalah 1 tahun dan paling lama 5 tahun dengan dengan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Terdapat pula pasal 13 UU Tinda Pidana Korupsi dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda paling banyak Rp150 juta.

“Melihat ketentuan dari 2 pasal yang digunakan untuk menuntut Suharjito, bisa terlihat bahwa penjatuhan pada kasus tindak pidana korupsi ada batas minimal dan batas maksimal yang harus dipenuhi. Maka, ancaman pidana yang dijatuhkan hakim tidak boleh kurang dari batas minimal dan juga tidak boleh melebihi batas maksimal dari ketentuan pasalnya,” jelas Rini kepada Sketsa, Selasa (4/5) lalu.

Ia melanjutkan, putusan hakim yang lebih rendah daripada tuntutan JPU memang merupakan bagian dari kewenangan hakim. Sesuai dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, sehingga tidak ada yang salah dari vonis hakim tersebut.

Ringannya vonis hakim ini berkaitan dengan alasan yang dianggap mendukung, lalu dinyatakan sesuai dengan keyakinan hakim setelah melihat proses persidangan. Pada akhirnya akan bersifat subyektif sebab kembali pada sosok hakim yang mengadili suatu perkara.

Keyakinan terkait dengan alasan yang meringankan atau memberatkan terdakwa dalam suatu persidangan merupakan kewenangan hakim. Ini merupakan tugas hakim untuk memeriksa perkara dan memperhatikan jalannya proses persidangan yang terjadi.

Alasan pemberat atau keringanan dalam vonis pada putusan hakim tentunya melalui dasar pertimbangan. Rini menyebut, dasar pertimbangan hakim dalam putusan didapatkan dari fakta-fakta yang diperoleh selama proses persidangan. Baik melalui keterangan yang disampaikan para saksi sampai barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa.

Lalu, apakah kewenangan akan menyebabkan budaya korupsi semakin tumbuh subur? Baginya, hal tersebut tidak berhubungan sebab korupsi dapat dicegah dengan kesadaran hukum masing-masing dalam masyarakat.

“Budaya artinya sesuatu yang secara umum dilakukan oleh masyarakat. Tidak terkait dengan adanya alasan yang meringankan terdakwa di persidangan. Karena alasan tersebut toh hanya berkaitan dengan keyakinan hakim, melihat fakta yang terjadi dalam proses persidangan,” tukasnya.

Bagi masyarakat awam, kebijakan ini masih dianggap berat sebelah. Terutama karena besar kerugian yang dihasilkan tidak sepadan dengan penetapan vonis yang diberikan dipengadilan. Hal tersebut juga menimbulkan pemikiran jika proses penanganan kasus korupsi tidak masuk akal. Seperti Alda Nadhira, mahasiswa Psikologi 2017.

Alda mengatakan, pengurangan masa tahanan untuk pelaku korupsi sering kali tidak layak. Ini disebabkan oleh ruginya masyarakat dan negara secara luas. Kemudian, kebiasaan korupsi yang terlalu sering terjadi menandakan jika hukuman yang telah diberikan tak membuat koruptor jera.

“Menurut saya tidak masuk akal. Alasan apapun, korupsi tetap korupsi. Mau berangkatkan haji atau pun umroh (karyawan), uang korupsi tetap uang haram yang dicuri dari orang-orang tidak bersalah,” tutupnya, Senin (3/5) lalu. (eng/ahn/wuu/len)