Tangkapan layar dari Instagram BEM Faperta
SKETSA – Tersebarnya meme yang semula mempertanyakan dana kemahasiswaan di Fakultas Pertanian (Faperta) hingga kini belum menemui titik terang. Tak terima, pihak birokrat menganggap meme yang tersebar merupakan bentuk penghinaan kepada instansi dan mahasiswa yang terlibat dituntut untuk membuat surat permohonan maaf. Satu dari tiga mahasiswa yang dipanggil menolak untuk meminta maaf secara tertulis yang akhirnya menjadi buntut panjang dari kasus ini. Aksi solidaritas bertajuk pembungkaman mahasiswa pun digelar di dekanat Faperta sebagi bentuk dukungan kepada MJ. (Baca sebelumnya, https://www.sketsaunmul.co/berita-kampus/buntut-panjang-meme-mahasiswa-faperta/baca)
MJ mengaku telah meminta maaf secara lisan. Namun ia menolak melakukan permohonan maaf secara tertulis. Menurutnya surat dengan tanda tangan bermaterai 6000 dengan kalimat ‘mengakui penyesalan dan tidak akan mengulangi perbuatan’ merupakan salah satu bentuk pembatasan gerak mahasiswa. Sedangkan salah satu fungsi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah advokasi dan mitra kritis. Menurutnya, tidak mungkin sekelas BEM harus mendiamkan kesalahan dan berhenti membuat propaganda.
"Saya jelaskan, meme ini tidak seperti yang bapak bayangkan. Meme ini atas dasar keresahan kami. Bapak bilang, ’Enggak bisa. Kamu jangan mengambinghitamkan teman kamu’," ujarnya menirukan.
"Kalau menurut saya, beliau tersinggung secara pribadi, bukan instansi,’’ tambahnya.
MJ berusaha memahamkan bahwa posisinya sebagai eksekutif mahasiswa merupakan mitra kritik dari birokrat, namun pernyataannya disanggah oleh Dekan Faperta, Rusdiansyah.
Ia menyatakan, mahasiswa yang hadir sewaktu audiensi dalam berita sebelumnya menyadari bahwa apa yang disampaikan oleh Rusdiansyah merupakan bentuk dendam personal, bukan organisasi. Hingga keluar pernyataan dari Rusdiansyah yang mengatakan bisa saja ia membawa ini ke ranah hukum dengan wewenang yang dimilikinya.
Selama audiensi berlangsung, MJ membenarkan mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Dari Wakil Dekan III, Achmad Zaini menyatakan untuk menerima Himpunan Mahasiswa (Hima) yang menyetujui alokasi dana 40-60%. Ia pun tak keberatan jika ada yang tidak menerima kebijakan, lembaga tersebut akan tetap ada namun dana yang didapat menjadi 0% dan diberikan ke Hima yang bisa mengelola.
Penolakan MJ untuk meminta maaf secara tertulis memberikan efek domino terhadap pelantikan Gubernur BEM dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Faperta. Dengan kasus yang menimpa saat ini BEM cukup kesulitan menjalankan kegiatannya. Hal ini bukannya tak berdasar, karena setiap kegiatan yang dilakukan memerlukan tanda tangan dari WD III.
"Beliau mengatakan, ‘Sampai urusan MJ selesai, saya tidak akan tanda tangan. Kalau tidak selesai, BEM tidak bakal dilantik, anggaran akan 0% dan fasilitas tidak akan dikasih’. Beliau juga bilang ke teman-teman BEM dan Himalogista bahwa ia bisa saja membekukan BEM, tapi lebih baik keluarkan saya (dari BEM)," ujar mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian ini.
Kasus ini menarik simpati dari kalangan mahasiswa lainnya dan menginisiasikan diadakan aksi solidaritas pada Kamis (12/3) lalu. Hanif Sufyan selaku Gubernur BEM Faperta dan Ahmad Rifani sebagai koordinator lapangan aksi solidaritas tersebut menerangkan, aksi ini diikuti oleh BEM KM, BEM Faperta, BEM Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (FKTI), BEM Fakultas Farmasi, BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), BEM Fakultas Teknik, dan BEM Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) adalah inisiasi mahasiswa Unmul karena ini merupakan keresahan bersama. Topik yang diangkat dari aksi ini bukan alokasi dana 40-60% tapi masalah pembungkaman atas MJ di mana statusnya sebagai mahasiswa Unmul yang patut untuk didukung.
Aksi yang bertajuk ‘Tolak Birokrasi Anti Kritik’ ini mengusung tiga tuntutan yaitu, menolak segala bentuk pembungkaman terhadap mahasiswa, kedua segera lantik DPM dan BEM Faperta, dan terakhir cabut status bersalah/sanksi MJ.
Massa yang berkumpul di halaman MPK kemudian mengambil rute melalui sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Faperta dan menuju Dekanat. Sayangnya, aksi ini justru mendapat penolakan dari birokrat. Dikatakan oleh Zaini, ia tidak ingin fakultas lain ikut campur dalam masalah internal mereka. Pihak birokrat hanya akan melakukan audiensi dengan mahasiswa Faperta dan BEM KM sebagai perwakilan.
“Dari WD III tidak mau audiensi dengan mahasiswa fakultas lain, beliau menyuruh untuk aksi di rektorat saja kalau ingin audiensi dengan mahasiswa lain. Dan ketika beliau mencoba keluar dari kerumunan sempat mendorong salah satu mahasiswa, Gubernur BEM Farmasi,'' jelas Hanif.
Dari pernyataan tersebut, mahasiswa kemudian mengubah haluan ke rektorat. Di sana, mahasiswa disambut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Encik Akhmad Syaifudin. Encik kemudian mengadakan audiensi dan menjelaskan bahwa apa yang dilakukan MJ telah membuat tidak nyaman birokrat selaku orang tua mahasiswa.
Bicara soal nyaman atau tidak, MJ mengaku juga merasa tidak nyaman. Terlebih menurut penuturannya, dalam grup WhatsApp tersebut ia disebut sebagai penjilat, bahkan diancam akan dibawa ke ranah hukum. Namun ia mengatakan masih menghargai jajaran birokrat layaknya orang tuanya. "Kami selalu mendapat hal-hal yang bersifat ancaman. Tapi saya enggak baper,’’ terang MJ.
Audiensi yang dipimpin Encik di rektorat itu turut dihadiri Rusdiansyah, Bernatal Saragih selaku WD I dan Zaini. Dalam forum tersebut, terjadi saling lempar argumen antara pihak birokrat dan mahasiswa. Hanif kembali menyampaikan bahwa ambiguitas dan perbedaan pendapat di BEM Faperta sudah tidak ada. Ia turut mengatakan bahwa MJ sudah meminta maaf secara lisan. Karena tidak ada yang menyatakan bahwasanya permintaan maaf harus berbentuk tulisan. Ia juga tak mengetahui di mana dasar yang mengharuskan permintaan maaf secara tertulis.
Hasil audiensi diputuskan bahwa BEM dan DPM Faperta akan segera dilantik tetapi untuk mahasiswa yang bermasalah pelantikannya akan ditunda. Yang artinya MJ tidak akan dicantumkan dalam Surat Keputusan (SK).
“Untuk kasus MJ akan dibicarakan di rapat senat dan terkuak fakta baru bahwasanya meme itu merupakan hasil audiensi bukan hasil dari personal,’’ ujar Rifani.
“Rapat senat belum ada kabar kapan ada rapatnya, tapi kita memberi waktu satu minggu permasalahan ini harus selesai. Sempat dikatakan bahwa MJ belum registrasi (KRS) yang bilang Pak Anton, dosen pembimbingnya. Padahal MJ udah registrasi, tapi belum disetujui untuk mata kuliah yang diambil,” timpal Hanif.
Mengenai sanksi yang akan didapat MJ, Hanif menanggapi pembicaraan itu yang dilakukan melalui telpon dengan WD III setelah audiensi di Februari lalu. Yang mana Zaini mengatakan telah berdiskusi dengan Bernatal bahwasanya bisa saja sanksi yang diberikan berupa pemotongan Satuan Kredit Semester (SKS), skorsing satu semester, tidak bisa mengikuti Ormawa Faperta, dipersulit dalam akademik, dan drop out.
“Tapi saya enggak tahu dasar pengambilan sanksi itu dari mana. Di grup itu disampaikan bahwa apa yang dilakukan MJ itu adalah pidana, delik hukum. Ada juga yang mengatakan MJ ini penjilat, ini disampaikan di grup ormawa oleh Bu Inneke, selaku staf kemahasiswaan,’’ papar Hanif.
Meski begitu, Rifani melihat ancaman yang diberikan justru tidak bijak karena selalu melalui perantara. Entah itu melalui sosial media ataupun melalui mahasiswa lain.
“Kalau memang MJ bersalah harusnya langsung hubungin dan menemui untuk menindak lanjuti. Enggak usah pakai perantara. Ini kesannya cuma menakut-nakuti sekaligus buat geram mahasiswa lain,’’ duga Rifani.
Ditemui di sela-sela aksi lalu, Zaini menganggap meme tersebut merupakan bentuk penghinaan atas institusi dan pelanggaran berat dalam pedoman etika. Kasus MJ sendiri sedang dalam tahap pemrosesan sanksi serta terdapat senat yang akan memutuskan.
“(Sanksi) itu bisa diuji, tapi bukan gini caranya. Silakan uji ketika sanksi sudah keluar. Kita tidak ada masalah dengan BEM dan DPM, hanya saja masalah sekarang itu terdapat di MJ, karena semua setuju dengan kebijakan anak-anak untuk dibawa ke arah berprestasi,” tutupnya. (ann/fqh)