Sumber Gambar: Meily/Sketsa
SKETSA - Selaras dengan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2022 lalu, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Kaltim menggelar diskusi terbuka secara daring bertajuk “Ancaman Kekerasan Seksual di Kampus dan Bagaimana Kita Menghadapinya?”. Digelar pada Sabtu, 12 Maret 2022, diskusi ini menyoroti maraknya kekerasan seksual yang terjadi, utamanya di lingkungan kampus.
Perkara ini tak terjadi sekali dua kali. Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar, justru angka kasusnya mengkhawatirkan. Tak hanya perempuan, laki-laki turut berpotensi menjadi korban.
Sebanyak seratus partisipan turut hadir mengikuti sesi diskusi yang diisi oleh empat narasumber dengan latar belakang yang berbeda, di antaranya: Yohanes Wahyu Prasetyo OFM seorang Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta, Sri Murlianti dari KIKA Kaltim dan Dosen FISIP Unmul, Mahendra Putra Kurnia selaku Dekan FH Unmul, dan Diah Rahayu dari Psikologi FISIP Unmul.
Yohanes menyebut bahwa kasus kekerasan seksual di kampus yang dilaporkan pada 2019, sejumlah 174 kasus di 79 kampus dan di 29 provinsi. Pelakunya tercatat datang dari dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, hingga dokter klinik di kampus.
“Dari jumlah kasus tercatat, korban 96 persen adalah mahasiswi, 20 persen tak melapor, 50 persen memilih tak bercerita dan kasus yang dilaporkan tenggelam dalam gunung es.”
Data tersebut bak menyenggol kesadaran civitas academica, bahwa banyak kejahatan yang para pelakunya justru tersembunyi, dan tak terlaporkan, hingga tidak mendapat hukuman yang setimpal. Sementara korban mengalami trauma seumur hidup.
Terlebih, masih banyak kampus yang enggan mengambil sikap. Kasus ini dianggap sebagai urusan privat dan memalukan institusi, bahkan turut menyangkal atau ikut menyalahkan korban.
Relasi kuasa masih menguasai sebab terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, dan turut menjadi alasan mengapa pelaku masih bisa bergerak secara bebas. Notabenenya pelaku memiliki kuasa lebih terhadap korban, seperti lebih senior, lebih pintar, atau punya kendali mengatur nilai korban.
Masalah utamanya, banyak kampus yang tak memiliki regulasi khusus untuk menanggulangi penanganan kekerasan seksual dan pencegahannya. Ditambah kurangnya literasi mengenai kekerasan seksual.
Masih banyak yang tidak mengetahui bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, karena korbannya bisa mati, atau cacat seumur hidup. Jenis tindakannya pun sangat beragam, dari cat calling dan pelecehan yang sering dianggap remeh, sampai percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan penyiksaan seksual; yang semuanya mengancam hak asasi manusia.
Yohanes menilai edukasi seks di kampus sangat penting, terkhusus jika menghadirkan mata kuliah mengenai edukasi seksual. Hal seperti itu mungkin untuk dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan dari setiap fakultas atau pun universitas.
Namun, Mahendra menilai sulitnya edukasi seks jika menjadi mata kuliah khusus. Hal itu menyangkut pada kebutuhan satuan kredit semester (SKS). Menurutnya, ruang-ruang diskusi menjadi solusi edukasi. Selain itu, Sri menambahkan kampus juga perlu memiliki prosedur penanganan berupa kebijakan pro korban dan menjadi ruang aman untuk pengaduan.
Dari diskusi tersebut, adanya Satgas Kampus Kekerasan Seksual diharapkan bisa menjadi langkah awal menekan angka kasus kekerasan seksual di wilayah kampus. (mel/khn)