Sumber Gambar: Instagram BEM KM Unmul
SKETSA - Berlakunya social distancing tak menyurutkan mahasiswa dalam melakukan aksi. Bukan dengan berkumpul di lapangan, aksi ini dilakukan dengan menyerukan tagar #UnmulLockdown, #KawalPembebasanUKT serta #UKTHakMahasiswa di Instagram.
Aksi yang berlangsung pada Sabtu (9/5) lalu dimulai sejak pukul 21.00 hingga 22.00 Wita dengan cara memposting tuntutan. Adapun poin utama aksi ialah kepastian pembebasan UKT bagi semester akhir yang terdapat pada poin 9 Surat Edaran Rektor Nomor 1200.
Adapun frasa yang tercantum ialah, "dan bagi mahasiswa yang seharusnya bisa melaksanakan Semhas" dinilai massa aksi bersifat vage norman atau kekaburan hukum. "Objek dan kriterianya masih belum jelas. Sehingga implikasinya adalah beda penafsiran beda pula implementasi di setiap fakultas," ujar Kardiono Cipta, Presiden BEM KM Unmul.
Dijelaskan Dion, bahwa ia bersama anggotanya sempat mempertanyakan perihal ini ke rektor, dan jawabannya belum jelas. Namun, fakta di lapangan menunjukkan perbedaan penafsiran poin 9 di fakultas.
Pihaknya pun mencoba mengadakan audiensi lagi bersama rektor dan dekan, tapi tidak ada kepastian kembali dari pihak rektor terkait permintaan itu. Inilah yang akhirnya menginisiasi BEM KM dan BEM Fakultas yang tergabung melakukan audiensi dan aksi secara daring.
Diakui Dion, pihaknya telah mengerahkan partisipasi massa aksi di tiap fakultas dengan dibantu BEM fakultas. Ia sendiri tak bisa berkomentar kurang atau tidaknya partisipan.
"Kalau persentasenya dari jumlah mahasiswa ya memang sedikit. Cuman poinnya adalah bahwa ketua-ketua lembaga sebagai representasi mahasiswa Unmul itu bergerak,” jelasnya.
Diketahui, akan dilakukan audiensi kembali dengan memasukan surat permintaan audiensi sebagaimana permintaan pihak rektor.
Salah satu massa aksi, Alim Khodimul Rahmat, mahasiswa Fakultas Farmasi semester empat mengaku, dirinya tergerak karena info dari BEM fakultasnya dan broadcast yang ia dapati di media sosial.
Tentu semua ini dilatarbelakangi berbagai macam hal. Pertama, pihak kampus dinilai Alim tidak terbuka dengan mahasiswa terkait keputusan dan jalannya distribusi kuota. Kedua, terlambatnya distribusi kuota di luar tanggal yang telah disepakati. Ketiga, belum jelasnya nasib UKT mahasiswa tingkat akhir.
Alim sendiri ialah mahasiswa yang terdampak. Di tengah pandemi, penghasilan orang tua tidak semaksimal biasanya. Selain itu, menurut Alim mahasiswa tidak menggunakan fasilitas kampus selama pandemi, dan menyebabkan adanya pertanyaan penggunaan UKT. Terlebih UKT mahasiswa kesehatan khususnya farmasi paling rendah berkisar Rp5 juta per semesternya.
"Apakah Rp5 juta ini hanya diganti dengan kuota senilai 10 GB? Memang benar UKT tetap digunakan untuk pembiayaan aktivitas pembelajaran tetapi selama pandemi ini banyak biaya operasional yang dapat di potong. Misalnya, biaya listrik kampus, studi keluar negeri, biaya mobilitas dosen seperti rapat dan sebagainya," paparnya.
Alim berharap agar UKT mahasiswa akhir dapat di bebas kan mengingat mahasiswa akhir mungkin hanya mengurus administrasi kampus saja. Juga melakukan penelitian yang dibiayai secara pribadi pula oleh mereka. Sehingga tidaklah arif jika mahasiswa semester akhir juga diharuskan membayar UKT.
“UKT seluruh mahasiswa dapat disubsidi di semester berikutnya mengingat di semester ini UKT yang kita bayarkan tidak 100% kembali ke mahasiswa,” tutupnya. (rst/nhh/ina/khn/ann)