Self Reward: Memanjakan Diri atau Terjebak dalam Konsumerisme?
Kebiasaan self reward memicu perilaku konsumtif
- 16 Oct 2024
- Komentar
- 203 Kali
Sumber Gambar: Andin/Sketsa
SKETSA - Dilansir dari Skillacademy.com, Self reward adalah tindakan di mana seseorang memberikan penghargaan kepada diri sendiri setelah menyelesaikan tugas atau mencapai suatu tujuan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kesenangan atas tindakan baik atau pencapaian yang sudah direncanakan.
Self reward dapat berwujud dalam sifat materi maupun nonmateri. Dalam hal materi, self reward seringkali berupa pembelian barang yang diinginkan, seperti pakaian, gawai, dan barang lainnya.
Sementara dalam sifat nonmateri, self reward bisa berupa kegiatan yang memberikan kepuasan emosional dan fisik seperti menikmati waktu bersantai, memanjakan diri sendiri dengan merawat tubuh, dan mengikuti kegiatan hobi seperti membaca buku.
Namun, agaknya persepsi self reward antara satu orang ke orang yang lain memiliki konsep yang berbeda-beda. Tidak jarang menemukan individu yang justru berlebihan dalam mengeluarkan biaya untuk membeli materi yang berbentuk self reward.
Hal ini tentu berdampak pada pengeluaran individu di luar dari kebutuhan pokok sehingga dapat pula dikatakan sebagai pemborosan dan memicu sifat konsumerisme.
Konsumerisme sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Kata ini juga diartikan sebagai gaya hidup yang tidak hemat.
Konsumerisme yang semakin mengakar memengaruhi cara orang memandang pencapaian pribadi, mendorong seseorang untuk merayakan keberhasilan dan melepas rasa lelah dengan membeli barang tertentu.
Budaya konsumerisme dewasa ini sudah menjadi ideologi dan tuntutan gaya hidup manusia menjadi lebih hedon, terlebih pada kaum remaja, khususnya mahasiswa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penyebutan self reward adalah cara lain untuk mengatakan konsumerisme.
Menurut para ahli, perilaku konsumerisme berkedok self reward di kalangan mahasiswa dapat dipahami dari beberapa perspektif teori.
Adapun teori pengenalan diri dari Baumeister dan Vohs yang mengatakan bahwa perilaku konsumtif merupakan cerminan dari pengendalian diri yang rendah diakibatkan oleh dorongan untuk memberikan imbalan pada diri sendiri di kala stres.
Sejalan dengan itu, teori mengenai kebutuhan dipaparkan oleh Abraham Maslow, bahwa pembelian barang seperti itu merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan dalam aspek emosional dan psikologis.
Dalam kasus mahasiswa, terdapat riset dari Jean Twenge yang mengatakan bahwa peningkatan konsumerisme terjadi di kalangan Generasi Milenial dan Z disebabkan oleh tekanan sosial dan kebutuhan untuk membuktikan diri.
Berbanding lurus dengan apa yang telah dipaparkan, seorang mahasiswa FIB Unmul, Risqi Yanuar membenarkan praduga mengenai self reward merupakan cara lain untuk penyebutan konsumerisme. Risqi juga membenarkan bahwa self reward ia lakukan untuk memberi imbalan kepada diri sendiri juga sangat bergantung pada mood individu.
Menurut Risqi, perilaku ini cukup penting dilakukan. Sebab katanya, self reward mampu mengembalikan suasana hati menjadi lebih baik.
“Terus skala (rating) kepentingannya, dari 1-10, mungkin menurut saya adalah 8 ya,” ujar Risqi pada Rabu (2/10) lalu.
Risqi juga menambahkan bahwa ia kerap merogoh dompetnya untuk membeli barang berdasarkan tampilan dibanding fungsinya. Hal ini dilakukannya untuk sekadar memanjakan mata ketika barang tersebut diletakkan di sudut-sudut kamar indekosnya.
"...tapi kalau saya lihat kayak ‘Oh itu lucu’ dan saya bisa menempatkan barang itu di suatu ruangan, kayak ruang kos saya gitu kan, saya taruh di sudut sini dan rupanya itu bagus, jadi saya beli gitu.”
Ketika ditanya tentang frekuensi pengeluaran, ia mengungkapkan bahwa setiap minggu ia menyisihkan sekitar 100 hingga 150 ribu untuk membeli barang self reward saat suasana hatinya sedang kurang baik.
"Jika saya lagi pusing atau tidak mood, saya biasanya pergi ke luar dan itu bisa beberapa kali dalam seminggu," tambahnya.
Risqi mengaku tidak memiliki pekerjaan sambilan. Jadi ia bergantung pada kiriman biaya dari orang tua dan kakaknya. Dari uang yang diberikan kakaknya tersebut, biasanya Risqi gunakan sebagai biaya tambahan belanja yang memberikan Risqi keleluasaan untuk memilih barang mana yang mau dibeli sesuka hatinya.
Meskipun senang berbelanja untuk self reward, Risqi tetap rajin mencatat pengeluarannya. Untuk memantau, ia sering mencatat pengeluaran dan pemasukan setiap bulan, dengan bantuan orang tua yang juga kerap mengawasi pemakaian uang Risqi. (mou/ali)