Dokter Muda dan Serangkaian Tahun Penuh Pengorbanan
Muhammad Sandriyan, Mahasiswa FK 2011 berbagi kisah perjalanannya selama menempuh pendidikan kedokteran. (Sumber foto: istimewa)
SKETSA – Kedokteran, bagi mahasiswa yang memilih jurusan ini tentu sudah tahu konsekuensi yang diambil. Tak banyak yang tahu, bahwa menjadi dokter bukanlah semudah menempuh pendidikan di bidang lainnya. Ada tahapan panjang, hingga gelar dokter diraih dan akhirnya memiliki praktik sendiri.
Begitulah yang tengah dijalani Muhammad Sandriyan, Mahasiswa Fakultas Kedokteran 2011. Pada 2015 lalu ia lulus dan memperoleh gelar S.Ked, kemudian langsung menempuh Pendidikan Profesi Dokter. Ditemui Sketsa ia masih mengenakan snelli atau jas dokter mudanya, saat usai jaga di Teaching Center Pendidikan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran yang terletak di bagian belakang RSUD AW Syahranie.
Sandriyan pun mulai bercerita bagaimana ia menempuh pendidikan ini. Pendidikan Dokter Umum terbagi menjadi dua tahap, yang pertama pre-clinic, ditempuh selama 8 semester dan ketika lulus mendapat gelar Sarjana Kedokteran atau S. Ked. Sejatinya, mahasiswa kedokteran akan menghabiskan 4-5 tahun untuk memperoleh gelar tersebut. Lalu, adalah clinic atau lebih dikenal dengan Co Assisstant (Coass) atau Dokter Muda.
Dalam tahap Coass, ada lima belas stase, di antaranya ada empat stase besar yaitu Ilmu Bedah, Obgyn atau Ilmu Kandungan, Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Kesehatan Anak. Banyaknya stase ini tergantung pada tiap-tiap rumah sakit atau fakultas kedokteran yang ada, dimungkinkan ada perbedaan nama, serta jumlah stase. Tahapan awalnya, dimulai dengan masa orientasi atau pre coass selama dua bulan, lalu masuk ke masa coass satu setengah tahun.
"Yang lucu saat pre-coass, ya disitu biasanya euforia kita menggunakan snelli, ya biasa lah namanya baru lulus kan. Tidak sampai di situ, setelah pre-coass dan coass kita ada ujian lagi, exit exam-lah ibaratnya kan,” kata pria asal Bontang ini (10/4).
Ujian tersebut ialah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter (UKMPPD), layaknya ujian nasional sekaligus ujian akhir bagi calon dokter umum di seluruh Indonesia. Biasanya, mahasiswa kedokteran harus menempuh waktu selama 6-7 tahun, bahkan lebih untuk mendapatkan gelar dokter dan memiliki Surat Izin Praktik (SIP) dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jadi, tak heran jika untuk mendapat gelar dokter bukan hal yang bisa dicapai dengan cepat.
"Coass adalah masa paling indah untuk dikenang, tapi tidak untuk diulang," ucapnya. Menurutnya masing-masing stase memiliki tantangan sendiri. Pengalaman yang tidak terlupakan bagi Sandriyan adalah semasa ia menjalani stase Ilmu Bedah. Kala itu ia disuguhkan 33 tugas di luar jam jaga selama 10 minggu. Secara umum, beberapa stase diperlukan jaga malam dan tentu akan menguras energi dan pikiran.
"Udah jaga seharian, tugas numpuk, capek kan ya? Waktu itu saya diberikan tugas presentasi ilmiah di depan dokter-dokter spesialis, baru saja nyalain laptop dan proyektor untuk presentasi malahan di-cut dan saya nggak jadi presentasi hanya karena hal sepele!” keluhnya.
Dengan kejelian yang tinggi, dosennya melihat adanya kesalahan dalam penulisan nama pada slide presentasi milik Sandriyan. Walhasil, selama satu bulan ia mencari dan meminta persetujuan dari dokter tersebut untuk presentasi ulang.
"Gimana, ya, yang penting dijalanin saja, benar-benar mental saya yang diuji, mau tidak mau namanya juga kita di sini sekolah ya," ujar pria kelahiran 9 Oktober 1993 ini.
Meski jadwal padat, ia tetap menjaga kebugaran tubuhnya, salah satu hobi yang ia tekuni sejak lawas adalah menjadi atlet binaragawan. Berkat hobinya itu, pada 2015 lalu ia menjadi juara Body Contest di salah satu wadah fitness Samarinda. Tahun sebelumnya, Sandriyan sempat mengikuti audisi L-Men di Balikpapan, ia sampai di babak Semi Finalis 12 Besar.
Namun saat coass, kesibukannya meningkat. “Memang tidak bisa seperti dulu, sekarang agak sibuk soalnya, kadang kalau sempat, ya sambil futsal juga,” tambahnya.
Cita-cita menjadi seorang dokter, ternyata sudah mengakar sejak Sandriyan masih kecil. Ditambah lagi, sang ayah juga berprofesi sebagai perawat yang mendukung penuh mimpinya. Itulah, pemantik semangat bagi anak ketiga dari tiga bersaudara ini.
Di balik sebutan dokter, ada waktu, keringat, bahkan materi yang tak sedikit untuk dikorbankan. Seorang dokter pun mesti memiliki poin utama, yakni sikap.
“Mau pintar seperti apapun kalau attitude kita ke orang lain buruk, ya sama aja. Semua dosen kita selalu ngajarin pentingnya sebuah sikap kita terhadap pasien, nggak hanya pasien, bahkan semua orang,” tuturnya.
Bagi Sandriyan yang tengah dijalaninya saat ini bukanlah sekadar coass, namun ia juga belajar tentang kehidupan. (can/jdj)