Hari Besar

Saling Menghargai dalam Hari Tanpa Tembakau Sedunia

Kampanye Hari Tanpa Tembakau Sedunia oleh WHO.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: who.int

SKETSA - 31 Mei menjadi peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) atau World No Tobacco Day. Sejarah panjang HTTS berawal dari tahun 1989 yang digalakkan oleh World Health Organization (WHO). Dalam peringatan tersebut, WHO berupaya untuk mengurangi jumlah penggunaan rokok tembakau dengan menyerukan arahan untuk tidak merokok selama 24 jam. HTTS juga sekaligus sebagai peringatan tentang bahaya mengonsumsi tembakau bagi kesehatan.

Tembakau adalah hasil proses yang berasal dari tanaman genus Nicotiana yang merupakan produk pertanian. Salah satu produk tembakau ialah rokok. Penyakit yang disebabkan karena  tembakau adalah kanker paru, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah dan lainnya.

Berdasarkan data WHO, disebutkan bahwa rokok mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian setiap tahunnya. Bahkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dalam tirto.id menyebutkan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan jumlah perokok usia remaja. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 33,8% merupakan jumlah perokok di atas 15 tahun, dimana jumlah tersebut didominasi oleh laki-laki.

Sejumlah aksi dan gerakan telah dilakukan di berbagai belahan dunia. Hal ini juga terjadi di Indonesia yang ramai dengan tagar #terimakasihkretek di media sosial Twitter, menanggapi kampanye ‘matikan rokokmu’ pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Para warganet yang turut menyuarakan penolakan HTTS itu menganggap bahwa rokok bukanlah biang dari berbagai penyakit, bahkan rokok berkontribusi menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan hingga 5 triliun.

"Lucu menyalahkan rokok sebagai biang dari kanker paru-paru. Rokok bukan penyebab tunggal, ada variabel lain yang membuat orang terkena penyakit. #TerimakasihKretek," tulis @ayukurnis pada laman Twitter

“Masih ingat ga? Dana cukai rokok berkontribusi menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan hingga Rp 5 triliun. Coba-coba ngana pikir lagi,” tulis @adeliavina.

Terpisah, mahasiswa Fakultas Kehutanan Ifdhal Ahdiyaka mengatakan terganggu dengan paparan asap rokok yang jelas merugikan perokok pasif. "Rokok itu merugikan buat orang sekitar, apalagi yang tidak merokok seperti aku karena asapnya yang mengganggu. Yang paling utama, dampak terparah dari rokok itu cenderung lebih merugikan perokok pastif daripada perokok aktif," ungkapnya.

Sedangkan Hendri Setiawan sebagai perokok aktif mengaku tidak keberatan dengan kampanye matikan rokok, sebab menurutnya hal itu adalah salah satu cara menghargai orang yang tidak merokok. "Aman aja sih untuk (kampanye) matikan rokok karena itu masalah menghargai," tukas mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan itu.

Namun di balik pro dan kontra mengenai HTTS, Indonesia telah mengatur dengan jelas terkait produk tembakau itu. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terus berupaya untuk menekan jumlah perokok aktif di berbagai daerah melalui Kawasan Tanpa Rokok (KTR). (snh/len)



Kolom Komentar

Share this article