Mengenang Peristiwa Merah Putih Sangasanga: Inspirasi Sebuah Perjuangan yang Nyaris Terlupakan
Semangat perlawanan dari Sangasanga yang tak terlupakan
- 28 Jan 2025
- Komentar
- 121 Kali
![](https://sketsaunmul.co/upload/post/eiOndpp1GG.jpeg)
Sumber Gambar: kaltim.akurat.co
SKETSA – Indonesia kaya akan cerita perjuangan para pahlawan bangsa, semua perjuangan tersebut dicatat dengan alasan sebagai motivasi dan inspirasi bagi generasi untuk berjuang membangun Negeri. Tetapi apakah semua sejarah perjuangan benar-benar dicatat dan kita baca dalam buku-buku sekolah kita?
Peristiwa Merah Putih menjadi salah satu perjuangan masyarakat yang jarang dibahas. Berikut, Sketsa bahas sejarah penting bagi masyarakat Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Peristiwa Merah Putih yang bertepatan pada 27 Januari 1947 silam memiliki kenangan tersendiri bagi masyarakat Sangasanga. Ini merupakan peristiwa perlawanan para pejuang untuk mengambil kembali tanah air yang dirampas paksa oleh penjajah.
Latar Belakang
Proklamasi yang dibacakan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1945 menuai banyak penolakan dari pihak Belanda dan sekutu. Hal itu disebabkan mereka belum menerima bahwa Indonesia sudah merdeka.
Tidak lama berselang, pasukan sekutu datang bersama dengan tentara Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang “berkamuflase” sebagai tentara sekutu.
Awalnya rakyat Indonesia menerima baik para tentara sekutu. Tetapi, begitu diketahui bahwa terdapat pasukan NICA yang hadir di antara tentara sekutu, maka rakyat Indonesia mulai melakukan perlawan terhadap pihak sekutu dan Belanda. Peperangan terjadi hampir di seluruh Indonesia, begitu juga yang terjadi di Kota Sangasanga.
Sangasanga merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya yang melimpah, seperti minyak dan batu bara. Hal ini membuat para penjajah berlomba-lomba memperebutkannya meskipun harus dibagi dengan penguasa aslinya yaitu Kesultanan Kutai.
Setelah mendengar kabar sekutu akan datang untuk melucuti para tentara Jepang yang masih tersisa, masyarakat Sangasanga dengan senang hati menerima kedatangan mereka pada 11 September 1945. Masyarakat saat itu tidak mengetahui bahwa NICA juga berada di belakang para tentara sekutu.
Ksatria yang merupakan nama organisasi pemuda di daerah tersebut, diubah menjadi Badan Penolong Perantau Djawa (BPPD). Bersama dengan tentara sekutu, mereka bekerja sama dalam mengelola lingkungan sekitar, bahkan mereka diperbolehkan untuk mengibarkan bendera Merah Putih dan memakai lencana Merah Putih.
Namun sayangnya semua kebebasan tersebut tidak berselang lama. Tanpa aba-aba, tentara sekutu ditarik dari daerah tersebut dan digantikan oleh NICA pada 17 Desember 1945. Sontak hal tersebut membuat masyarakat sekitar waspada dan mempersiapkan diri.
Tentara NICA dengan tegas melarang semua yang berbau dengan Indonesia, mulai dari mengibarkan bendera Merah Putih sampai menggunakan lencana Merah Putih. Hal ini lantas membuat BPPD semakin waspada dan mulai khawatir apabila kegiatan mereka seperti berlatih menggunakan senjata dan belajar strategi perang diketahui oleh NICA.
Tetapi yang dikhawatirkan benar-benar terjadi, pada 31 Desember 1945, tentara NICA menangkap seluruh anggota BPPD. Kemudian organisasi BPPD dibubarkan NICA secara sepihak.
Perlawanan BPRI
Walaupun sudah dibubarkan, beberapa mantan pengurus BPPD kemudian membentuk organisasi bawah tanah. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan dan membebaskan Sangasanga dari pengaruh NICA.
Salah satu organisasi bawah tanah yang menggantikan BPPD adalah Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI). Organisasi ini berperan besar dalam perlawanan rakyat Sangasanga terhadap tentara NICA.
Dengan terbentuknya BPRI, para pejuang berkumpul dan merencanakan perlawanan mereka terhadap tentara NICA. Perlawanan dimulai dengan melakukan sabotase yaitu membakar kilang minyak dan mencuri senjata dan persediaan tentara NICA.
Hal ini lantas membuat tentara NICA semakin waspada dan mengerahkan mata-mata mereka di tengah masyarakat.
Pada 25 Desember 1946, BPRI dengan lantang menyerukan perlawanan secara terbuka yang berlanjut hingga 1 Januari 1947 dan beberapa hari setelahnya. Tetapi banyaknya mata-mata NICA yang berkeliaran dan mengetahui rencana para pejuang, akibatnya semua rencana perlawanan selalu berujung kegagalan dan membuat beberapa tokoh BPRI ditangkap serta dieksekusi.
Puncak Peristiwa
Walaupun diterpa kegagalan dan menjadi buronan oleh tentara NICA, tidak lantas menyurutkan semangat perlawanan para tokoh BPRI melawan para penjajah. Sebaliknya, mereka melakukan perlawanan yang akhirnya menjadi sebuah sejarah yang hingga saat ini masih tercatat di benak masyarakat Sangasanga.
Para tokoh BPRI yang masih tersisa melakukan pertemuan dan menyepakati bahwa mereka akan melaksanakan penyerbuan kembali pada 27 Januari 1947.
Pada 26 Januari 1947 dini hari, rencana perlawanan pun dimulai. Para pejuang membuat pagelaran kesenian budaya untuk mengalihkan perhatian tentara NICA. Sementara itu, para pejuang lainnya mencuri persediaan senjata milik tentara NICA.
Serangan dari para pejuang berhasil dilakukan dengan mengambil alih barak tentara NICA. Tokoh-tokoh penting penjajah itu juga turut ditangkap. Tidak hanya itu, para pejuang juga meledakkan gudang persediaan senjata tentara NICA.
Sehingga 27 Januari 1947, bendera merah putih biru milik Belanda dirobek dan oleh para pejuang, dan diganti dengan berkibarnya bendera merah putih sebagai tanda bahwa Kota Sangasanga berhasil diambil kembali oleh para pejuang.
Sehingga, peristiwa itu dikenang sebagai Peristiwa Merah Putih Sangasanga dan sampai saat ini peristiwa tersebut menjadi kisah inspirasi bagi masyrakat sekitar tentang gigihnya para pejuang bangsa dalam menghadapi berbagai macam tantangan. (aim/myy)