Hari Besar

Pengujian ‘Sakti’ pada Hari Kesaktian Pancasila

Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2019.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: kompas.com

Tepat tanggal 1 Oktober di Indonesia dikenal dengan Hari Kesaktian Pancasila, yang juga ada keterkaitan dengan peristiwa G30S/PKI. Cuma, dalam benak saya ketika membaca hari peringatan itu di kalender, mengapa harus dikatakan ‘sakti’? Apakah Pancasila memiliki makna mandraguna, hingga layak diberi nama Kesaktian Pancasila? 

Munculnya peringatan Kesaktian Pancasila ini merupakan bentuk penghargaan atas tewasnya delapan perwira tinggi dan menengah serta dua orang perwira pertama TNI dalam pemberontakan 30 September 1965. Meski isu keterlibatan PKI masih simpang siur, para perwira tersebut sudah memperjuangkan makna Pancasila sebagai dasar negara yang mutlak.

Namun saat ini, ruang Indonesia kerap diisi dengan bergam isu yang bertentangan dengan Pancasila. Isu dan wacana masuknya agama dalam politik serta gerakan primordial yang kuat sampai saat ini cukup menunjukkan bahwa bangsa ini sedang terjadi kesenjangan politik dan ideologi. Di ruang sosial sendiri, beragam gerakan primordialisme tersebut seakan memberitahukan adanya ancaman yang terus menghantui bangsa.

Lantas, baru satu isu kesenjangan yang dibahas di atas, apakah Pancasila masih bisa disebut ‘sakti’? Belum lagi kita membahas bagaimana ketidakseimbangan antara aparat-aparat atau oknum yang katanya mengayomi masyarakat, dengan masyarakat yang tentu juga harus dibimbing dalam hal nasionalisme atau apapun yang melindungi paham-paham di Indonesia. Malah oknum tersebut menyebarkan propaganda-propaganda aneh dan bertentangan dengan nilai Pancasila yang membuat otak masyarakat semakin sakit.

Ada lagi, timbul isu lain yang cukup menarik. Bahwa PKI akan segera bangkit dan hadir kembali secara fisik di ruang politik dan kebangsaan Indonesia. Rakyat Indonesia biasa, yang memang paham atas kekacauan idealisme yang terjadi, seakan hanya menghembuskan napas berat. Capai.

Di titik ini, kesaktian Pancasila memang harus dibahas dan diuji lagi ‘kesaktiannya’. Dibahas karena kesaktian Pancasila tidak serta merta terjadi hanya sehari yaitu hanya tanggal 1 Oktober saja. Pancasila harus terus dipertahankan dan harus semakin kuat ketika beragam ujian yang datang silih berganti bisa dilalui dengan aman, tentram, dan damai.

Dan diuji lagi ‘kesaktiannya’ karena Pancasila adalah darah daging Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia menempatkan Pancasila sebagai inti utama. Di Pancasila, yang paham tentang Indonesia akan segera tahu bahwa bangsa ini memang berlandaskan pada aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Lima aspek yang juga menjadi lima sila sebagai pedoman bangsa Indonesia itu sudah sangat terang memberikan arahan bahwa kita beda, kita tidak sama, dengan negara lain di belahan dunia lain. Namun yang sama, yang pasti dan utama, bahwa kita semua di Indonesia harus mengakui bahwa Tuhan itu ada.

Bukan berarti saat kita membahas atau hanya karena kita menyebut kata agama, akan jadi multitafsir dan sangat sensitif nantinya. Namun, dari beberapa pertimbangan oleh para pendiri bangsa, dan juga menghindari konflik besar hanya karena kata agama yang dinilai rancu oleh segelintir orang, maka mereka pendiri bangsa lebih memilih istilah ketuhanan daripada agama.

Indonesia juga dikenal kaya budaya, etnis, agama, bahasa, dan lain-lain. Rakyat Indonesia juga dituntut hidup bertoleransi dalam keberagaman manusia beserta kepercayaan yang dibawanya. Karena posisi manusia menjadi hal penting, itulah alasan pendiri bangsa meletakkan manusia menjadi landasan lain dari Pancasila setelah Tuhan.

Hidup di Indonesia dengan karakteristik bangsa yang majemuk, pendiri bangsa kembali mengingatkan kita akan persatuan dan diletakkan sebagai bagian dari landasan Pancasila. Tanpa persatuan, mungkin Indonesia terus dihiasi oleh perang saudara.

Perbedaan karakteristik bangsa di Indonesia juga memunculkan pikiran dan pendapat yang berbeda pula. Pengambilan keputusan menjadi perkara lain yang dipikirkan pendiri bangsa. Maka, mereka juga memunculkan istilah permusyawaratan, yang bertujuan agar setiap persoalan harus didiskusikan dengan baik. Tidak ada istilah mayoritas atau minoritas. Semua mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka.

Dari seluruh penjabaran aspek di atas, harus dilandaskan keadilan. Tujuannya agar yang diakui mayoritas tidak terus menindas dan memangsa minoritas, dan sebaliknya. Tidak ada istilah yang sedikit atau yang lemah yang akan tertindas.

Sedemikian cerdasnya para pendiri bangsa terdahulu menciptakan dan melahirkan Pancasila, yang sangat sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Diistilahkan kembali, bahwa Pancasila sudah dibuat ‘sakti’ sebagai dasar negara Indonesia. Maka mengapa masih ada kesenjangan sosial yang terjadi di bumi pertiwi ini?

Ditulis oleh Mahnudhah Syarifatunissa, mahasiswi Manajemen, FEB 2016.



Kolom Komentar

Share this article