Mengajar, Sebuah Profesi dan Pengabdian
Guru, salah satu aset negara yang berharga.
- 25 Nov 2019
- Komentar
- 2636 Kali
Sumber ilustrasi: monitor.co.id
SKETSA - Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Pengabdian mereka dalam mencerdaskan anak bangsa sangat berarti untuk perkembangan pendidikan di Indonesia. Beberapa mahasiswa yang sejatinya dikenal dengan sosok intelektualnya juga tergerak ingin mengajarkan ilmu yang telah mereka dapat kepada anak-anak penerus bangsa.
Salah satunya adalah Rimadita Oktavia Ananda. Mahasiswi program studi (prodi) Psikologi ini mengaku awalnya tertarik untuk mengajar karena ajakan dari sanak saudaranya. Meski pernah mengeluh karena gaji yang diterimanya tidak sesuai dengan jam mengajarnya, namun tak menghalangi niatnya untuk terus mengajar.
“Dasarnya emang aku suka anak-anak dan aku juga punya dasar mengajar bahasa Inggris, makanya aku milih buat jadi guru TK,” jelas Rima, sapaan akrabnya.
Mahasiswi angkatan 2018 ini pun bersyukur karena lembaga pendidikan yang ia tempati juga memberikan kelonggaran untuk menentukan jadwal mengajar, dan semaksimal mungkin Rima mengatur waktu antara kuliah dengan jam mengajarnya. Rima pun merasa terbantu dengan adanya kelonggaran tersebut.
“Pintar-pintar aja bagi waktu dan sesuai porsinya, misal dari Senin sampai Rabu aku fokuskan kuliah, kalau emang ada tugas ya pulang kuliah langsung dikerjakan. Kalau mengajar fokusnya di hari Kamis sampai Sabtu, jadi ngurus materi, dan menggunting bahan ajar,” paparnya.
Rima bercerita kembali ketika ia harus berpindah-pindah tempat mengajar dari satu sekolah ke sekolah lainnya dengan jarak yang cukup jauh, dan Rima merasa lelah. Hingga Rima terbiasa dengan kesehariannya dan memang Rima sangat suka jalan-jalan. Dalam sehari, Rima dapat mengajar di tiga sekolah, dan Rima hanya mengajar di hari Kamis sampai Sabtu. Ia mengaku upah yang diterima sudah lebih dari cukup.
“Karena aku kuliah, jadi penghasilanku memang lebih sedikit daripada yg memang mengajar penuh dari Senin sampai Sabtu. Alhamdulillah sebulannya dapat Rp500 ribu belum uang transport. Kalau misalnya jauh ke Samarinda Seberang dapat uang transport juga,” ungkapnya.
Rima mengaku ia banyak mendapat hal positif dari mengajar, salah satunya adalah perasaan bahagia ketika melihat anak didiknya senang dan antusias dengan materi yang diajarkan. Meski awalnya Rima mengeluh karena tidak bisa mengkondusifkan suasana kelas, Rima terus mencari metode ajar yang lebih menyenangkan untuk anak-anak.
“Anak-anak tipenya cepat bosan, jadi harus cari metode baru lagi. Enggak cuma menyanyi nanti juga diselipin games atau story telling, makanya jadi semangat terus,” tambahnya.
Walau bisa dibilang ini adalah pengalaman pertamanya mengajar dan baru menjalani sekitar 4 bulan lamanya, Rima mengaku sangat menikmati waktu ketika menyiapkan materi dan bahan ajar yang sudah ditentukan oleh lembaga pendidikan di tempat kerjanya. Ia juga sangat senang saat menentukan permainan apa yang akan dipakai mengajar. Menurutnya cara itu bisa meningkatkan antusiasme belajar anak didiknya.
“Kalau di lembagaku setiap semester ada rolling guru, sementara kontraknya kita 10 bulan, jadi si pengajar terserah mau memperpanjang lagi atau nggak. Kadang masalahnya kalau anak murid sudah terlanjur lengket sama guru sebelumnya yang sudah keluar, susahnya di guru penggantinya dan mereka jadi kurang perhatikan,” keluhnya.
Harapan Rima bagi para pengajar muda, baginya guru tidak harus terpaku dengan materinya saja. Guru juga wajib peka terhadap perkembangan tren juga, agar murid-murid tidak kurang informasi. Apalagi kebanyakan sekolah sudah menerapkan sistem Kurikulum 2013 yang menuntut murid lebih aktif di kelas, Rima harus pintar dalam menentukan metode ajar. Guru pun dapat mempengaruhi muridnya, Rima beropini semakin bagus pengajarnya maka semakin bagus anak didik yang akan dihasilkan.
Keinginan Mengabdi
Lain halnya dengan Kafiefa Windiariesti, mahasiswi jurusan Pembangunan Sosial ini sudah memiliki keinginan besar untuk mengikuti kegiatan sosial. Dimulai saat ia masih berstatus mahasiswa baru, ia menjadi volunteer di Forum Gerakan Mengajar Mahasiswa Indonesia (GMMI), hingga semester lalu ia mengikuti program pengabdian bernama Home-visit Gerakan Mengajar (HGM) selama 3 bulan di Sungai Kerbau.
“Sistem mengajarnya dua kali dalam seminggu, di Sabtu sama Minggu. Titik mengajar kami waktu itu di Sungai Kerbau, jadi kami mengajarnya di kampungnya sana. Yang diajarin anak-anak usia TK dan SD,” terangnya.
Di dalam progran HGM ini tidak hanya diisi oleh mahasiswa Unmul, namun beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi di Samarinda seperti Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) dan Politeknik Negeri Samarinda (Polnes) juga turut berkontribusi. Saat HGM masih berkolaborasi dengan Unmul Mengajar (Unjar), titik mengajar mereka juga di Kampung Ketupat Mangkupalas dan daerah Jalan Batu Cermin.
Kafiefa mengaku waktu mengajarnya tidak mengganggu jadwal kuliahnya, apalagi hanya berjalan setiap sore di akhir pekan. Namun, saat berada di Unjar beberapa kali ia mendapat jadwal mengajar di pagi hari.
“Kalau di Unjar sebenarnya di semester kemarin kita masih ngajar pagi hari di sekolahan itu Sabtu. Kalo Minggu setiap sore, dan ngajarnya ada titik kumpulnya semacam tempat khusus begitu, kami juga kerja sama dengan warga disana,” ungkap dara angkatan 2018 ini.
Walau menjadi volunteer yang notabenenya bekerja tanpa dibayar, Kafiefa mengaku pengalaman menjadi volunteer ini cukup menarik dan murni dari panggilan hatinya. Ditambah keinginan ini sudah muncul semenjak Kafiefa masih duduk di bangku SMA. Kafiefa sangat tertarik dengan kegiatan bakti sosial atau mengikuti program semacam kesehatan gratis.
Adapun dampak yang dirasakan setelah menjadi volunteer adalah menjadi orang yang terbuka dan semakin peka terhadap lingkungan sekitar. Kafiefa berpendapat bahwa lingkungan juga dapat memengaruhi perilakunya secara tidak langsung, dan tidak terpaku pada mindset orang lain.
“Mindset kita biasanya mikir buat apa ikut mengajar begitu dan malah dapat capek, tapi tergantung pandangan orang juga sih kan namanya mengabdi ada yang tujuan pemikirannya macam-macam, ada yang ikut-ikutan, ada yang pengin dilihat orang lain, atau mengisi waktu luang,” tambahnya.
Kafiefa juga pernah kesulitan di pengalaman pertamanya mengajar, dilihat dari kebiasaan anak-anak yang senang bermain gawai walau tinggal di wilayah perkampungan, yang membuat mereka tidak fokus saat belajar. Kafiefa terus mencoba berbagai metode pembelajaran yang menyenangkan dan menarik minat anak-anak dalam belajar.
“Tapi kami biasanya para pengajar datang mereka senang, macam ‘Kakak, ayo bantuin ini,’ kalau ada PR ya kita bantu kerjakan, kalau nggak ada ya kita kasih pengajaran yang ke pendidikan karakter,” ungkapnya sambil tertawa.
Kendala yang dirasakan Kafiefa adalah sumber daya manusia yang tersedia. Terjadinya seleksi alam dari volunteer membuat mereka harus menutupi kekurangan sumber daya manusia dan mempertahankan volunteer yang masih bertahan. Terkadang, ia juga merasa sedih jika hanya satu pengajar yang datang.
“Kalau memang mau mengabdi atau berkontribusi di suatu organisasi mestinya kita itu harus berkomitmen,” timpalnya.
Kafiefa juga berpesan kepada para pengajar muda agar lebih semangat dalam mengajar, walau Kafiefa tidak memiliki dasar untuk mengajar tetapi teruslah mencoba untuk memberikan ilmu kepada anak-anak sebagai penerus generasi bangsa. (cin/hmm/ann)