Hari Besar

Benarkah Perlindungan Anak di Dunia Telah Terpenuhi?

Hari Perlindungan Anak Sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 1 Juni, dirayakan untuk menghormati keberadaan dan hak-hak bagi seluruh anak di dunia.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber gambar: Squlio.com

SKETSA - Mengawali Juni, Hari Perlindungan Anak Sedunia dirayakan untuk menghormati keberadaan dan hak-hak bagi seluruh anak di dunia. Sebelumnya, perayaan ini ditetapkan atas kesepakatan dalam Konferensi Dunia untuk kesejahteraan anak di Jenewa, Swiss tahun 1925. Hal ini juga disepakati oleh Federasi Demokrasi Wanita di Moskow pada 1949. Dalam federasi tersebut, terdapat 51 negara yang menyepakati tanggal 1 Juni sebagai Hari Perlindungan Anak Sedunia.

Hari ini diperingati di berbagai negara, dimaknai sebagai cermin kepedulian terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, sehingga menjadi generasi penerus yang berkualitas dan memiliki budi pekerti yang baik.

Meski begitu, nyatanya pemenuhan hak anak-anak dalam hal perlindungan masih menjadi rapor merah yang belum tuntas. Dilansir dari dw.com, UNICEF melaporkan bahwa perlindungan anak-anak di kawasan konflik gagal diatasi. Ribuan anak menjadi korban perang, sementara jutaan lainnya mengidap malnutrisi.

Salah satu contohnya terjadi di Afganistan. Sekitar 5000 anak terluka parah hingga terbunuh akibat perang. Hal serupa kembali terjadi di Syria dan Yaman. Anak-anak bahkan tewas terbunuh di dalam bis yang hendak mengantarkan mereka ke sekolah. Di Ukraina Timur, terdapat sekitar 400 ribu anak yang setiap harinya menghadapi ancaman kematian saat menyeberang area konflik yang dipenuhi ranjau aktif. Tidak sampai situ, anak-anak kerap kali menjadi korban penculikan atau dijadikan senjata perang seperti yang terjadi di Somalia, di mana 1200 anak diculik dan dilatih untuk menjadi tentara perang.

Akibat konflik ini tak hanya kematian, namun mengakibatkan ribuan sekolah tutup dan akses kesehatan menjadi terbatas. Malnutrisi terjadi, sementara angka kejahatan seksual terus meningkat. Tak sedikit yang mengungsi tanpa kehadiran orang tua.

Indonesia telah memiliki beberapa perundang-undangan tentang perlindungan anak, seperti UU No 23/2002. UU Perlindungan Anak ini memberikan arah terhadap penyelenggaran perlindungan anak dan memberikan kriminalisasi terhadap pelaku kejahatan anak. Namun, undang-undang ini tidak memberikan jaminan pertanggungjawaban negara terhadap korban. 

Negara hanya sebatas mengadili dan menghukum pelaku, tetapi hak-hak korban untuk mendapat jaminan perlindungan berupa pemulihan dan rehabilitasi terlantarkan. Ini menjelaskan bahwa perlindungan anak di berbagai negara termasuk Indonesia masih kurang mengayomi. Banyak sekali anak-anak yang masih berjuang tanpa perlindungan orang tua atau lembaga bantuan.

Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk melakukan sinkronisasi pada undang-undang perlindungan anak yang telah ada. Langkah ini akan memperbaiki sejumlah perundang-undangan sehingga peran negara dalam menjamin dan melindungi anak-anak dapat terlaksanakan secara maksimal. Hal ini harus dilakukan secara menyeluruh terhadap sejumlah perundang-undangan dan kebijakan. Dengan begitu, Indonesia akan memiliki kebijakan perlindungan anak yang komprehensif dan negara akan memberikan tanggung jawab yang seharusnya.

Negara harus mengambil peran lebih dalam untuk mengatasi masalah perlindungan anak yang masih timpang, sebab anak adalah warisan budaya yang seharusnya memiliki wadah dan mendapat perhatian serta perlindungan dalam masa tumbuh kembangnya. (len/els)



Kolom Komentar

Share this article