Yayasan Pemberi Bantuan
Haruskah kita membantu mereka?
- 19 Oct 2024
- Komentar
- 168 Kali
Sumber Gambar: Website Pexels
Seorang wanita terlihat baru saja duduk di meja kerjanya. Lagi dan lagi, pikir wanita itu. Bekerja di sebuah yayasan pemberi bantuan masyarakat tidaklah mudah. Belum lagi dirinya yang bertugas sebagai pengumpul data pendaftar yang berhak untuk menerima bantuan dari yayasan. Sejujurnya, dia sangat senang dengan pekerjaan ini, mulia sekali baginya.
Dia bisa bekerja di sebuah lembaga untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Karena yayasan bantuan ini, banyak anak-anak yang bisa melanjutkan pendidikan hingga bergelar sarjana dan banyak keluarga yang berbahagia mendapat bantuan sosial. Yayasan tempatnya bekerja itu memang sangat terkenal dalam hal membantu.
“Titis, nanti ada tamu jam sembilan, saya minta tolong untuk dilayani ya. Oh, sehabis itu, jangan lupa untuk data fiks penerima beasiswa tahun ini dikasih ke saya,” ucap seorang laki-laki yang baru saja datang. Itu Pak Ian, pimpinan yayasan tempat wanita yang dipanggil Titis itu bekerja.
Dengan sopan Titis menjawab, “Baik pak, akan segera saya laksanakan.”
Lagi-lagi, ucap Titis dalam hati.
Pagi itu dilihatnya para cleaning service mengepel dengan sangat bersih. Ada juga beberapa karyawan yang dilihatnya membawa kotak kue dan menghidangkannya di atas meja tamu. Sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat, sudah menjadi kewajiban mereka memberikan yang terbaik, termasuk juga Titis. Dirinya tentu saja harus bersikap ramah kepada masyarakat yang berkunjung ke yayasan tersebut, mau itu datang untuk bertanya ataupun protes dengan kebijakan yayasan.
Akhirnya, tamu yang ditunggu datang. Seorang pria dengan pakaian jas yang rapi datang dengan berwibawa. Dari mejanya Titis dapat melihat bagian keamanan dan karyawan lain menyambutnya dengan sangat sopan. Titis bukan yang tidak tau dengan pria itu. Beberapa waktu belakangan dia sering melihat orang itu bersama pak Ian, hanya sekilas. Dengan sopan Titis menghampiri pria itu dan mengajaknya untuk duduk di kursi sofa empuk khusus menyambut tamu-tamu yayasan.
“Selamat datang bapak Hartono. Silakan dinikmati suguhan dari kami yang seadanya ini.”
Pria yang bernama Hartono itu dengan senyumnya yang lebar menyambut dengan baik sapaan Titis. Sedikit berbasa-basi Titis langsung mengetahui maksud kedatangan lelaki tua itu untuk apa.
“Jadi begini mbak Titis, saya meminta kepada mbak untuk mendaftarkan dua anak saya ini supaya dapat bantuan dari yayasan pak Ian. Mereka perlu buat daftar di kampus unggulan kota. Sudah saya informasikan ke pak Ian juga,” ucap Hartono sambil menyodorkan dua map merah kepada Titis.
Titis dengan tenang membuka salah satu map yang baru saja disodorkan oleh pak Hartono. Dengan seksama perempuan itu membaca deretan identitas dan keterangan dari pendaftar baru itu. Tidak hanya satu, Titis juga membuka map yang lain dan membacanya. Ingin sekali rasa Titis menghela napas panjang saat itu juga. Namun urung dilakukannya musabab menjaga kesopanan terhadap sang tamu.
“Maaf bapak, sepertinya ada yang salah. Kedua anak bapak ini tidak memenuhi kriteria penerima bantuan.”
Dari sudut pandang Titis, dia dapat melihat perubahan raut wajah pak Hartono yang semula santai menjadi terlipat. Sudah dapat dipastikan kalau bapak itu tengah merasa kesal.
“Tapi kan Yayasan ini bantuan bukan cuma untuk orang tidak mampu toh? Dua anak ini bisa dimasukan ke beasiswa yang berprestasi.”
Titis menghela napas pelan. Masalahnya, dua anak ini juga tidak termasuk dalam kriteria siswa yang disebut oleh pak Hartono. Namun Titis sudah menebak, kalau membawa nama Pak Ian sudah jelas tidak ada hambatan meskipun dirinya melawan sebagaimana pun.
“Dari lampiran biodata dan juga persyaratan yang bapak berikan, keduanya masih belum masuk kriteria dari penerima beasiswa di yayasan ini, pak. Saya akan bicarakan dengan pak Ian dulu.”
Perbincangan mereka tidak berlanjut. Hartono langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Namun, dari kejauhan Titis melihat pria itu menelepon seseorang sebentar yang kemudian segera masuk ke dalam mobilnya. Titis menghela napas lebih dalam lagi.
Lagi dan lagi. Kejadian seperti ini selalu terjadi. Entah berapa kali sudah Titis melayani orang yang dianggap penting untuk “menitip” nama anak-anak mereka agar bisa mendapatkan beasiswa. Dengan mudahnya mereka membawa nama atasanya. Urusan lancar jaya.
Berbanding terbalik dengan masyarakat biasa, yang datang seadanya. Disambut bagian keamanan dengan biasa saja, tanpa suguhan kudapan di meja. Jujur, Titis lebih baik melayani seratus orang yang memang membutuhkan, daripada satu orang seperti pak Hartono.
“Titis,” ucap pak Ian dengan nada rendah ketika dirinya masuk ke dalam ruangan atasannya itu. Beberapa saat lalu dia diminta untuk datang ke ruang atasannya itu. Sudah bisa Titis tebak pasti dirinya dipanggil perkara dirinya dan pak Hartono tadi.
“Kamu itu bukan pegawai baru di yayasan ini, kan. Kalau ada yang minta bantuan seperti pak Hartono, kita bantu saja. Taruh nama-nama anak-anak itu sebagai penerima. Toh, Pak Hartono itu banyak bantu yayasan kita ini, itung-itung sebagai balas budi.”
Titis hanya diam, tidak mau protes ataupun mengiakan. Kalau begini, tidak ada bantahan yang bisa keluar dari dirinya. Cukup diam dan terima. Sudah berbagai penjelasan yang Titis berikan, berbagai alasan dan bantah pula yang diberikan oleh atasannya. Masyarakat banyak yang protes karena bantuan-bantuan yang tidak tepat di luar sana. Masyarakat tentunya tidak punya urusan soal “balas budi” yang disebut oleh atasannya itu.
Titis menghela napas lagi. Sudahlah. Dirinya sudah sering mengingatkan. Kalau dipikir lagi, rasa-rasanya dia bertahan disini bukan soal ingin membantu lagi, tapi tuntutan kebutuhanlah yang menahannya. Mencari pekerjaan itu bukanlah hal yang mudah.
Toh, yang rugi bukan dirinya, pikir Titis.
Lagi-lagi, kata penguat yang jahat itu terlintas di pikirannya.
Selesai.
Cerpen ini ditulis oleh Siti Mu'ayyadah, mahasiswa program studi Sastra Inggris, FIB 2022