Tawa Tanpa Nyawa
Lilin padam, hujan turun, dan pelangi akhirnya muncul

Sumber Gambar: Freepik
Aku duduk di atas rerumputan hijau, menatap kue biru dengan beberapa lilin yang menyala di atasnya. Entah sudah lilin ke berapa yang harus aku tiup tahun itu—atau setiap tahun. Angin sore berhembus pelan, menggoyangkan ujung rambutku dan membawa serta aroma manis dari kue yang belum aku sentuh.
Langit di atas perlahan berubah warna, dari jingga ke ungu yang samar, seakan ikut menyaksikan momen ini dalam diam. Di sekelilingku, hanya ada rerumputan yang bergoyang pelan dan cahaya lilin yang sesekali bergetar tertiup angin. Aku tidak yakin kenapa aku tetap menyalakannya, seakan berharap sesuatu akan berubah begitu lilin-lilin itu padam. Tapi seperti tahun lalu, dan mungkin tahun-tahun setelah ini, harapan yang sama akan terus menggantung di udara tanpa berhasil aku genggam, sementara angka di belakang usiaku terus berganti tanpa benar-benar aku sadari.
Api itu berkedip-kedip tertiup angin, masih bertahan menungguku melakukan bagianku. Tapi aku hanya diam, menatapnya dengan muak. Tahun demi tahun, api kecil ini selalu menuntut sesuatu dariku. Sementara aku masih diam, menatap lukisan-lukisan yang belum tersentuh warna, kertas-kertas origami yang belum kusentuh, dan cerita-cerita yang belum menemukan akhirnya.
Seharusnya aku meniupnya, seharusnya aku mengakhiri ini seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi angin sore semakin kencang, dan aku membiarkannya mengambil alih.
Biarkan semesta saja yang memadamkan lilin-lilin ini, satu per satu, seperti harapan-harapan yang dulu pernah aku percayai. Perlahan lilin mulai meredup, namun tidak ada kelegaan yang datang bersamanya.
Hanya ada kehampaan yang sama setiap tahunnya. Aku menatap sisa-sisa api yang masih berjuang, tetapi bahkan cahaya sekecil itu pun tahu kapan harus menyerah.
"Hahahahahahaha!"
"Giliran kamu!"
"Ih, bukan aku."
Aku menoleh ke arah beberapa anak kecil yang sedang bermain, berlarian mengejar satu sama lain, tertawa bersama, dan membantu satu sama lain saat terjatuh. Tawa mereka terdengar lepas, bercampur dengan suara angin dan gemerisik dedaunan.
"Aw!"
Aku memperhatikan bagaimana salah satu dari mereka terjatuh, lututnya menyentuh tanah, tangannya berdebu, tapi tak butuh waktu lama sebelum yang lain menghampiri, menariknya berdiri kembali.
"Ada yang luka, nggak?"
"Enggak, kok."
"Ayo bangun lagi, aku bantu."
Tidak ada tangis, hanya cengiran lebar dan dorongan kecil di punggung sebagai isyarat untuk kembali berlari. Mereka terus bermain, seakan tidak ada yang bisa menghentikan mereka—seakan jatuh bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti.
Dulu, aku juga seperti itu, tak punya rasa takut dan teman-teman yang selalu membantu. Sebelum akhirnya mereka semua pergi mengejar pelangi mereka, dan hanya tersisa aku, juga satu orang yang juga sudah melihat pelanginya namun memilih untuk masih bertahan menemaniku.
Aku menutup mataku dengan helaan nafas panjang sebelum tiba-tiba aku merasakan hawa panas dari bawah daguku. Aku membuka mata perlahan, dan di hadapanku, lilin-lilin yang seharusnya telah padam kini menyala kembali. Aku menatapnya lama, membiarkan cahaya itu menari di mataku, sebelum menoleh ke sampingă…ˇsumber dari api itu, dan satu-satunya orang yang begitu lama bertahan di sampingku.
"Tiup," ucapnya menunjuk lilin-lilin itu dengan dagunya.
Aku menoleh, menatap sosok laki-laki di sampingku yang kini duduk dengan santai di atas rerumputan. Aku mengenalnya, terlalu baik sampai aku tahu apa yang akan ia katakan setelah ini.
"Pelanginya bakal muncul setelah kamu tutup mata."
Aku tertawa pelan, tak lagi menganggap ucapan itu serius. Hal itu terlalu tidak mungkin, hingga yang keluar dari bibirku hanya sebuah tawa tanpa nyawa. Lilin-lilin itu terus menyala, membentuk lingkaran cahaya kecil di tengah senja yang semakin larut.
Aku mengingat semua lilin yang pernah kunyalakan di tahun-tahun sebelumnya, semua harapan yang kugantungkan pada nyala mereka sebelum akhirnya padam dalam hembusanku sendiri, dan setiap aku membuka mata, aku tak pernah melihat pelangi yang selalu dia katakană…ˇdan aku nantikan.
Laki-laki di sampingku berdiri, membuat mataku tanpa sadar mengikutinya. Ia menghampiri anak-anak kecil yang sedang bermain, mengobrol dengan mereka dengan ramah lalu kembali ke tempatku duduk bersama-sama.
"Kenalin, ini Kak Amira. Dia hari ini ulang tahun, lho," ujarnya sambil menepuk bahuku pelan, membuat anak-anak itu menatapku dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Perhatian yang tiba-tiba ini terasa asing—terlalu terang dibandingkan dengan bayang-bayang yang selama ini menyelimutiku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa pun, salah satu anak dengan rambut dikepang dua melangkah mendekat, tersenyum lebar, lalu duduk di sampingku tanpa ragu.
"Tadi aku juga ulang tahun, Kak!" katanya, suaranya riang. "Aku tiup lilin di rumah sama ibu, terus dikasih hadiah. Kakak dapat hadiah apa?"
Aku terdiam, memandangi mereka satu per satu. Wajah-wajah kecil yang tampak begitu ringan menjalani hidup. Hadiah? Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jika mereka bertanya apa yang kuinginkan, aku bahkan tidak yakin apa yang akan kuucapkan.
"Kok lilinnya nggak ditiup, Kak?" tanya salah satu anak, matanya berbinar.
"Oh itu... kalian mau tiup?"
Mereka saling berpandangan sejenak, lalu menggeleng hampir bersamaan, "Kenapa?" tanyaku.
"’Kan itu lilin ulang tahun Kakak," sahut anak lain sambil mengayun-ayunkan kakinya. "Harus Kakak yang tiup."
Aku diam selama beberapa detik, memperhatikan wajah-wajah penuh harap dari anak-anak di sekelilingku. "Ayo, Kak!" dorong gadis kecil dengan kepangan itu. "Kalau ditiup, Kakak harus bikin permintaan juga!"
Aku tetap diam. Namun perlahan air hujan mulai turun membasahi rerumputan di sekelilingku, menciptakan aroma tanah yang lembap. Lilin-lilin itu tetap menyala, membangkang terhadap angin yang menggila dan hujan yang mulai mengguyur.
Aku menatap langit yang kelabu, mencari warna yang dijanjikan, tapi yang ada hanya kabut tipis yang menyelimuti awan. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan suara hujan menggantikan dentingan kecil dalam kepalaku.
"Ayo berteduh," ucap laki-laki di sampingku. Aku mendengar langkah kaki anak-anak yang mulai berlarian mencari tempat berteduh sambil berteriak senang karena hujan turun. Namun, Aku tak lagi mendengar apapun setelah itu. Aku hanya merasakan bagaimana air hujan tak lagi jatuh ke wajahku, dan aku percaya dia sedang memayungiku.
Aku menarik napas dalam, membiarkan udara memenuhi dadaku sebelum perlahan melepaskannya. Kemudian, tanpa berpikir, aku meniup lilin-lilin itu. Satu per satu, cahaya mereka redup, padam seolah menyerah pada takdirnya. Kegelapan menyergap seketika, hanya tersisa langit mendung di atas, dan hujan yang kini turun tanpa ragu, menghapus sisa-sisa api terakhir yang tersisa.
Saat aku menatap sisa asap tipis yang berputar sebelum menghilang, seseorang di antara anak-anak itu berseru riang, menunjuk ke langit yang mulai terang. Aku mengikuti arah telunjuk kecilnya, dan di sana, melengkung di antara awan yang masih menggantung berat, seberkas warna muncul, samar namun nyata. Pelangi. Aku menatapnya lama, membiarkan warnanya meresap ke dalam ingatanku, entah sebagai jawaban atau sekadar kebetulan. Tapi, aku tidak peduli.
Aku tersenyum kecil, membiarkan rintik hujan terakhir jatuh di kulitku yang tidak tertutup, lalu bangkit perlahan, merasakan sesuatu yang hangat mengisi ruang kosong di dadaku.
Cerpen ini ditulis oleh Maydhinni, mahasiswi program studi Sastra Inggris FIB Unmul 2022.