Cerpen

Suara Sebelum Mati

Ilustrasi (Sumber: jompoint.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


“Kamu itu bagaimana?”

“Bagaimana apanya?” suara berat seorang laki-laki menyahutku.

“Bahkan aku tidak tahu wajahmu, tolong tunjukkan.”

“Jangan, nanti kamu rindu,” jawabnya lagi sembari terkekeh.

“Dan aku belum tahu raut senyummu, tampakkanlah.”

“Mungkin lain kali,” suaranya melembut.

“Tapi, bukannya kita sudah lama berteman? Kenapa kamu belum pernah memegang tanganku ataupun menyentuh kepalaku sedikitpun?”

“Kalau aku katakan ‘aku tidak suka menyentuh perempuan’, sama saja aku mengelak,” lalu dia diam sejenak. “Dan maaf belum bisa menyentuhmu hingga saat ini,” lanjutnya.

“Kalau begitu, mari kita jalan-jalan suatu hari nanti.”

“Maaf, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu.”

“Kenapa?”

“Karena aku sudah senang ketika kita berdua duduk bersama dan bercerita di ruangan ini.”

Lalu aku mendengar suara kursi yang sedikit bergeser, kupikir dia sedang memperbaiki letak duduknya.

“Dan, apakah kamu sehat-sehat saja saat ini?”

“Sehat, dan sekarang aku masih bisa menemanimu berbicara,” ia menjawabku santai.

“Lalu, kapan aku bisa melihat wajahmu?”

“Mungkin nanti, tapi lebih baik kamu jangan melihat wajahku.”

“Ah, padahal kita kan sedang berdua saja, kenapa sangat sulit untuk melihatmu?”

“Hmm...” ia menggumam, mengisyaratkan sedang berpikir kata apa yang lebih cocok untuk ia ucapkan. “Entahlah, aku pun tidak tahu, mungkin aku malu,” jawabnya kemudian.

“Tapi hanya mendengar suaramu saja aku sudah bosan.”

“Bosan? Bagaimana jika kamu sudah tidak bisa mendengar suaraku lagi?”

“Tunggu, itu tidak mungkin.”

“Sangat mungkin,” balasnya dengan nada sangat yakin. Aku berusaha mencerna apa kalimat-kalimat yang ia lontarkan sebelumnya.

“Kita berteman, bukan?”

“Iya, lalu kenapa?”

“Kenapa sekarang kau menakutiku? Tidak mendengar suaramu lagi? Maksudnya?”

“Aku hanya bertanya,” jawabnya dengan suara yang sedikit melemah.

“Tetapi...”

“Aku hanya memastikan, jika aku tidak ada...” suaranya perlahan tidak terdengar oleh runguku. Aku berusaha mencari keberadaannya, aku yakin ia masih berada didekatku.

“Hei, kamu dimana?”

“Heh? Aku didekatmu,” terdengar ia sedikit bingung dengan pertanyaanku.

“Maaf, ulangi kalimatmu tadi.”

“Aku hanya ingin tahu apa kamu memiliki teman selain aku.”

“Hah?”

“Setidaknya, aku berharap kamu bisa berteman selain denganku.”

“Eh? Aku sudah nyaman berbicara denganmu. Kamu kenapa?”

“Mungkin setelah hari ini aku tidak bisa menemanimu lagi.”

“Maksudmu apa? Kamu mau kemana?”

“Maaf, aku tidak bisa memberitahumu,” suaranya kembali melemah, hampir tidak terdengar olehku.

Setelah itu, aku mendengar suara kursi tergeser disusul suara langkah kaki yang terdengar menjauh dengan tempo yang lambat, hingga derapnya lenyap dalam keheningan.

“Hei, apa kamu masih disana?”

Sunyi. Tidak ada jawaban. Aku mulai panik karena tidak ada suara laki-laki tadi.

“Hei! Tolong jawab aku! Jangan tinggalkan aku! Kumohon...”

-----

Ramai beberapa polisi mengelilingi satu sisi di rumah lapuk itu, dan mereka sedang menyelidiki penyebab wanita yang ditemukan sudah tidak bernyawa dan kulitnya mulai terlihat bercak-bercak kebiruan. Wanita itu ditemukan bersandar pada kusen jendela yang tua dan sama lapuknya, dan tangannya memegang sebuah kunci yang terlihat kuno. Pakaiannya yang lusuh pun basah kuyup oleh derasnya hujan yang masuk melalui jendela di sebelahnya yang terbuka. Walau hujan lebat turut mengguyur mayat wanita tadi, tidak menyurutkan para polisi tadi untuk menghentikan penyelidikan.

Tidak hanya para polisi, pihak rumah sakit dan warga sekitar juga turut menyaksikan proses penyelidikan mayat wanita yang ditemukan oleh seorang petani yang kebetulan lewat disana. Terdengar sedikit percakapan warga-warga tadi yang terdengar riuh dan kacau.

“Bukannya itu si pelayan gereja?”

“Kasihan, padahal dia buta.”

“Apa dia tidak punya keluarga?”

“Dia cantik, tapi nasibnya malang benar.”

“Sudah berapa lama dia mati disana?”

“Sesungguhnya dia tidak punya teman kecuali dengan Nenek Patricia.”

“Sungguh, tidak adakah yang mengaku kerabatnya?”

“Sudah lama tidak keluar rumah, mengapa malah menjadi mayat?”

Dan beberapa celetukan serupa yang terus mereka tanyakan, namun entah siapa yang dapat menjawab itu semua.

Ditulis oleh Mahmudah Syarifatunnisa, mahasiswi Manajemen, FEB 2016.



Kolom Komentar

Share this article