Suara Sebelum Mati: Catatan
Ilustrasi (Sumber: sains.kompas.com)
Patricia masih sibuk membersihkan sisi kamar yang menghadap utara, setelah sebulan ditinggal pemiliknya meninggal. Tangan keriputnya terus menjelajah celah-celah berdebu di daerah bawah ranjang dengan menggunakan kemoceng, ia tak peduli dengan kepulan debu tebal yang terus menerpa wajahnya.
Saat ia membuka lemari yang bersebelahan dengan ranjang, ia melihat banyak sekali tumpukan buku-buku didalamnya, selain pakaian-pakaian yang terlipat rapi. Mulai dari buku tulis, dongeng anak, hingga novel masih tertata rapi di dalamnya, walaupun berdebu juga.
“Wah, banyak sekali buku-buku cerita, pasti dia suka sekali membaca,” gumam Patricia ketika melihat tumpukan buku-buku itu.
Patricia mengeluarkan buku-buku itu satu persatu. Namun, satu buku yang menarik netranya adalah buku catatan dengan sampul berbahan rajut berwarna coklat muda, dihiasi beberapa kancing dan satu hiasan kupu-kupu.
Kegiatan bersih-bersihnya ia hentikan, kemudian Patricia duduk di ranjang dan membuka halaman pertama buku tersebut.
Hari ketiga semenjak menginap di gereja.
Kali ini aku punya teman baru, yaitu Nenek Patricia! Aku senang mengobrol dengannya, bahkan aku banyak bercerita saat aku belum mengenal adanya Tuhan. Nenek Patricia mulai menuntunku untuk selalu beribadah, dan Nenek juga sangat suka dengan anak-anak, juga sangat suka hari Minggu.
Namun aku masih ragu untuk bertanya kepada Nenek, dimana ibuku? Bagaimana aku bisa menceritakan tentang ibu kepadanya? Aku bingung bagaimana aku harus memulainya.
Patricia tersenyum seusai membaca halaman tersebut, ia memutar kembali memorinya saat pertama kali ia berjumpa dengan anak itu, ia muncul dengan keadaan yang kelaparan dan lelah. Waktu itu, anak itu masih berusia 16 tahun dan dia cantik. Patricia pun menawarkan untuk tidur dengannya di basement gereja, dan Patricia juga menyediakan segala pakaian dan keperluan pribadi untuk anak itu.
Patricia kembali membuka halaman selanjutnya, halaman itu terlihat kotor menghitam akibat serpihan pensil.
Hari ke-35 semenjak menginap di gereja.
Padahal hari ini ulang tahunku, tapi tidak ada yang mengucapkan selamat kepadaku, malahan aku mendapat masalah hari ini. Wilbert malah mengambil novelku dan melemparkannya ke lumpur! Sungguh aku sangat benci kepada Wilbert!
Aku langsung menceritakannya kepada Nenek, tetapi Nenek malah berpesan kita tidak boleh dendam kepada orang lain. Lalu, kalau tidak boleh dendam, kita membiarkan diri kita tertindas dengan orang seperti Wilbert?
Wajah Patricia berubah menjadi tegang, ia ingat karena pengaruh omongannya tadi anak itu malah menutup diri dengan anak-anak seusianya.
Beberapa halaman lainnya, anak itu bercerita tentang kesehariannya, seperti membantunya memasak, ada seseorang yang disukainya, hal-hal yang disukai dan tidak disukainya, dan saat ia senang saat Patricia membelikannya gaun baru.
Lalu di catatan terakhir, ia hanya melihat catatan yang lebih pendek dari catatan lainnya. Saat catatan itu tertulis, anak itu sudah berumur 19 tahun, dan bercerita tentang ketertarikannya tentang merajut.
Hari ke-989 semenjak menginap di gereja.
Tadi sore aku melihat seorang ibu-ibu merajut di bangku taman depan gereja, aku menghampirinya dan dia mengajarinya padaku. Aku bertekad ingin membuat syal untuk Nenek Patricia dan memberikannnya saat natal nanti.
Patricia berpikir kembali, mungkin ini sebabnya anak itu bisa tertusuk gunting di matanya hingga buta, karena ketertarikannya ini anak itu terlalu bersemangat hingga gunting itu terpental dan ujungnya mendarat di matanya. Walau itu bukan darah daging Patricia, namun ia merasa anak itu adalah titipan Tuhan dan ia harus menjaganya, saat itu ia merasa sangat bersalah dan sangat takut kehilangannya.
Patricia menutup buku itu, dan menuju kepada tumpukan buku yang sedari tadi ia biarkan tertumpuk dibawah. Ia melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya, serta menurunkan beberapa buku yang masih ada di dalam lemari.
Ketika ia mengambil salah satu tumpukan baju, sesuatu juga ikut terjatuh dari bawah tumpukan baju tersebut. Sebuah buku catatan bersampul biru tua bermotif dengan bahan kertas yang lebih tebal. Patricia menaruh baju-baju tadi di lantai dan mengambil buku tersebut, dari halaman pertama isinya dituliskan dengan menggunakan huruf Braile.
Patricia kembali penasaran dengan buku itu, dan mencoba membacanya dengan meraba tulisan-tulisan itu dengan ujung jarinya sambil menutup matanya.
Hari kesepuluh setelah kembali ke gereja.
Aku sangat sedih saat aku terpaksa kehilangan penglihatanku, semua karena rajutan sialan itu! Aku gagal memberikan Nenek Patricia sebuah syal buatanku sendiri. Maafkan aku selalu merepotkanmu selama ini, Nek. Aku berjanji aku akan lebih baik lagi kepada Nenek.
Untungnya salah satu suster memberiku buku catatan ini, ia juga mengajariku tentang huruf-huruf Braile jadi aku tetap bisa menulis keseharianku.
Rasa sedih itu muncul lagi di benak Patricia setelah membaca catatan itu. Sejujurnya, tidak hanya buta saja yang dialami anak itu, karena matanya terinfeksi karena karat pada gunting itu yang akhirnya infeksi tersebut menjalar ke dalam otaknya. Dokter yang merawatnya memberitahukan bisa saja timbul kelainan lain di otak anak itu. Dan benar saja, anak itu terus saja berhalusinasi.
Air mata yang entah kapan sudah mengalir di pipinya ia hapus dengan punggung tangannya, bersedih terlalu larut pun juga tidak baik. Toh, setelah kejadian itu, anak itu masih bisa melakukan aktivitas, walaupun terbatas.
Patricia membalik dan membaca halaman demi halaman. Kesuraman makin terasa tiap halamannya. Padahal, setelah anak itu dijahili oleh Wilbert yang diceritakan sebelumnya, ia tidak pernah melihat anak itu bermain dengan teman seusianya dan memilih membaca buku atau membantu pekerjaan rumah. Namun, anak itu bercerita jika ia memiliki teman baru.
Hari ke-255 setelah kembali ke gereja.
Aku sangat bosan, jadi aku pergi ke bilik pengakuan. Kata Nenek, jika aku bercerita kesusahan yang kurasakan, maka Tuhan akan mendengarku. Tetapi ada suara laki-laki yang memanggilku dengan lembut, terdengar sangat dekat di telingaku. Dia bilang “Jane, jangan merasa sendiri, aku akan mendengarkanmu”.
Saat kutanya apakah dia ingin menjadi temanku, dia menjawab “tentu saja!” dengan suara yang keras dan membuatku kaget. Kurasa, aku bisa menceritakan apa saja kepadanya.
Dada Patricia semakin sesak, air mata yang sedari tadi ditahannya mulai meluncur kembali di pipinya. Patricia ingat ketika Jane duduk di salah satu bangku di dalam gereja dan bersenda gurau dengan ‘seseorang’ dihadapannya, padahal anak itu duduk sendirian. Patricia takut jika infeksi di otaknya semakin menjadi dan Jane menjadi depresi karena penglihatannya yang tidak berfungsi lagi.
Sejujurnya, ia sangat menyayangi Jane, lebih dari ia mencintai kehadiran Tuhan. Kedatangan Jane di hari itu pun juga membuatnya terhibur walau suasana gereja cukup sepi, setidaknya itu mengurangi rasa kesendiriannya.
Patricia terus menjelajahi tiap cerita yang dituliskan oleh Jane, semua yang tertulis terus membuat Patricia berlinang air mata disertai perasaan yang amat bersalah.
Hari ke-346 setelah kembali ke gereja.
Temanku sangat baik hati, dia selalu mendengar kisahku dan selera humornya juga bagus. Tapi sampai sekarang aku belum tahu namanya, tiap kali aku bertanya namanya, dia malah jawab “coba ditebak deh, namaku sangat bagus dan diambil dari Alkitab” atau “kalau begitu, beri aku nama”. Hah, aku agak jengkel kalau dia tidak menurutiku, tetapi itu teman yang satu-satunya kupunya.
Hari ke-400 setelah kembali ke gereja.
Kemarin aku tidak sempat ke bilik pengakuan karena aku harus pergi mengontrol mataku ke dokter bersama Nenek. Aku bercerita sepanjang jalan dan aku selalu mendengar suara Nenek yang terengah-engah seakan Nenek lelah sekali. Andai saja aku bisa memijat kakinya sepulang dari dokter, tetapi kami terlalu lelah karena rumah dokter yang sangat jauh, bahkan kami harus menumpang traktor Paman Billy untuk kesana. Temanku bahkan menungguku sangat lama di dalam bilik, aku sangat menyesal.
Hari ke-418 setelah kembali ke gereja.
Nenek Patricia harus mengunjungi sanak saudaranya, jadi aku harus menjaga rumah sendirian. Jujur, awalnya aku sangat takut, temanku hanya mau bercerita di bilik pengakuan.
Mungkin hari ini adalah hal paling aneh sekaligus luar biasa, temanku mau menemaniku di rumah! Dia bilang hanya sampai Nenek pulang saja, setelah itu kita kembali bercerita di bilik pengakuan.
Hanya sampai situ, Patricia menutup buku catatan itu. Ia tak kuasa menahan rasa bersalah yang terus menusuk hatinya, ia peluk buku itu sangat erat dan menangis sejadi-jadinya. Ia tidak mau mengingat kejadian Jane yang ditemukan telah menjadi mayat di waktu itu.
Ditulis oleh Mahmudhah Syarifatunnisa, Mahasiswi Manajemen, FEB 2016.