Cerpen

Seorang Hipokrit

Reformasi dikorupsi! Begitu seruan para mahasiswa dari berbagai universitas

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Nessa Witias

Reformasi dikorupsi! Begitu seruan para mahasiswa dari berbagai universitas, terlihat dari warna almamater yang berbeda dari satu dan lainnya. Terik matahari tidak menurunkan semangat dari mereka yang katanya sedang memperjuangkan hak para buruh, berjuang agar undang-undang yang menyulitkan para buruh itu tidak disahkan oleh para tikus berdasi.

Demi melihat itu semua, aku memilih untuk melipir di trotoar, berteduh di bawah pohon. Aku kembali menyesap rokok yang tersisa setengah batang. Ini adalah rokok kedua selama aku tiba di seberang kantor Dewan Perwakilan. Tempat yang menjadi titik aksi para mahasiswa.

Sebenarnya aku juga seorang mahasiswa. Bahkan, aku mengenakan almamater yang dibanggakan oleh tiap penjuru kabupaten dan kota di provinsi. Sayangnya, aku tidak tertarik untuk ikut menantang terik matahari hanya untuk memperjuangkan hal yang tidak pasti. Sebuah perubahan terhadap undang-undang yang jarak antara palu dan ketukannya hanya sebesar jengkal bayi manusia.

Berkali-kali aku katakan hal tersebut pada Raia, kekasihku. Bahwasanya aksi sebanyak apapun tidak akan pernah bisa mengubah keputusan mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Jika ingin merubah sesuatu, kau harus berkuasa dulu. Matanya membulat seketika, ia kemudian membalas bahwa aku terlalu pesimis, bahkan ia sampai mengatakan bahwa orang sepertiku akan menyesal di masa depan karena tidak ikut memperjuangkan hak mereka yang ditindas.

“Kak, kamu lupa kalau Indonesia yang kita kenal saat ini ya karena perjuangan mahasiswa di masa lalu. Kejadian '98 itu loh, buktinya mereka berhasil menjatuhkan Orde Baru dan melahirkan Reformasi. Menjadikan negeri kita ini lebih demokratis, Kak!”

“Ya, tapi kenyataannya? Kalau sudah begini apa, kamu bilang Reformasi dikorupsi, kan? Itu tandanya apa lagi kalau bukan memperlihatkan sebenarnya negara kita ini belum siap untuk menjadi negara yang demokratis.”

Kulihat wajahnya memerah, ia sedang menahan amarahnya.

“Negara kita siap menjadi negara demokratis, hanya saja kita sedang dipimpin oleh rezim yang seperti ini, rezim yang suka salah langkah! Makanya, kita sebagai mahasiswa yang notabene-nya adalah Agent of Change, harus bisa meluruskan rezim yang sekarang. Yang salah, ya harus ditegur, itulah fungsi demokrasi di negeri ini.”

Aku menghela napasku kemudian menepuk-nepuk kepalanya. Gadisku ini terlalu kuat tabiatnya. Entahlah, mungkin ada darah Srikandi dalam dirinya.

“Berani banget bilang kayak gitu, gak takut tuh tukang sate depan rumah lagi bawa walkie talkie?”

“Biarin aja! Lagian itu kan tukang sate andalan di rumah, kalau dia mau ngadu, ya kehilangan pelanggan setia, lah!”

Aku tertawa seketika mendengar jawabannya. Raia, dengan segala imajinasinya.

“Kak Mahesa!” seketika lamunanku tentang malam di mana aku dan Raia sedang duduk berdua di teras rumahnya hancur seketika. Membawa rohku kembali ke trotoar di seberang kantor Dewan Perwakilan.

“Kak, ngapain sih malah duduk disini?” tanya Raia. Aduh, lihatlah dia, wajahnya penuh dengan olesan odol.

“Ngadem,” jawabku sembari membuang putung rokok ke sembarang arah.

“Kak Hesa, mending ngadem di kosan aja sekalian!” ia berseru kesal.

“Iya, ini bentar lagi balik,” ternyata jawabanku justru membuat Raia semakin kesal, ia langsung meninju lenganku dengan kekuatan yang ia punya.

“Sakit, tahu!” aku berseru sembari mengusap lengan dan seruanku hanya dibalas oleh juluran lidah oleh Raia. Ia kemudian melangkah meninggalkanku sendiri.

Aku tidak menyukai aksi seperti ini sebenarnya. Entahlah, mungkin karena keluargaku adalah bagian dari Komisi Orang Hilang. Ibuku beberapa kali bercerita bahwa kakak laki-lakinya adalah seorang aktivis di tahun 1998. Ibu bercerita bahwa paman adalah laki-laki yang cerdas, seorang pujangga yang mencintai sastra begitu dalamnya hingga rela berdiri meski harus dihunus pedang demi memperjuangkan kebebasan sastra di Indonesia.

Ibu bercerita bahwa paman sudah tidak pulang sejak akhir tahun 1997 dan akhirnya hilang kabar pada bulan Maret tahun 1998. Aku bisa mendengar bagaimana ketir kesedihan dari nada ibuku saat ia menceritakan satu-satunya saudara yang ia miliki. Matanya yang sendu seperti memberitahuku, bahwa luka itu tidak pernah sembuh.

Bahwa hingga hari ini, ia masih berharap dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada saudaranya yang hilang.

Cerita ibu membawaku kepada buku dan film yang berkaitan dengan kejadian di tahun 1998. Terlalu abu-abu, kisah yang tidak pernah tercantum dalam buku sejarah di pendidikan formal itu terlalu kelam untuk diketahui. Bahkan aku hampir menangis saat membaca sudut majalah sebuah media yang menceritakan kisah tahun 1998 dari mereka yang pernah hilang tapi dipulangkan kembali. Kisah yang menceritakan bagaimana siksaan demi siksaan dialami oleh mereka yang memperjuangkan sebuah Indonesia yang ‘demokratis’.

***

“Hidup Rakyat!”

“Hidup Mahasiswa!”

Para mahasiswa masih bertahan dan berseru-seru di hadapan Kantor Dewan Perwakilan. Tidakkah mereka lelah berdiri dan berteriak seperti itu? Aku kemudian beranjak dan maju ke barisan para demonstran. Berjalan menembus sela-sela kawan mahasiswa demi menemukan Raia. Gadis yang aku percaya meski tanpa penjagaanku, ia bisa menjaga dirinya sendiri.

Aku menemukannya, segera aku berdiri bersisian dengannya.

“Katanya mau pulang,” gumamnya.

“Kalau aku pulang nanti kamu diantar orang lain, gak aman.”

Dari sudut mataku, Raia terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku kemudian menjadi seorang hipokrit, yang tidak percaya pada buah hasil perjuangan tapi tetap meneriakkan tuntutan dan ikut menyanyikan lagu perjuangan mahasiswa. Biarlah kemudian aku menjadi seorang hipokrit. Karena belakangan aku mengetahui. Dari sajak-sajak yang ditulis oleh pamanku, aku melihat bahwa ia memilih untuk tidak berpihak pada siapapun atau apapun.

Ditulis oleh Yasmin Dieva Islamiyah, Mahasiswa Psikologi, FISIP 2019.



Kolom Komentar

Share this article