Cerpen

Sederhana

Cerita pendek dari makna sederhana.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Google.

Ruang Satu

Aku menatap malas anakku, Ananta, yang kupangku di lututku dan sedang menepuk-nepuk pipiku yang tidak kucukur selama tiga minggu. Menatapnya, aku jadi berharap posisiku dan anakku yang masih berumur 8 bulan bisa bertukar walau sebentar, masih bisa tertawa lepas, masih belum memikirkan tagihan listrik dan air yang belum terbayar.

“Umumu... ayaa... waa...”, tangan mungil Ananta lanjut menarik-narik rambut di daerah dahiku yang mulai menipis, karena memikirkan keadaan keuangan keluargaku yang semakin hari semakin menipis, semenjak bos kantorku menyuruh seluruh karyawannya bekerja di rumah. Entah aku mencari pemasukan dari mana lagi bahkan untuk membeli selembar pakaian baru untuk Ananta.

Sebenarnya, istriku tidak terlalu memikirkan apa yang harus disediakan untuk lebaran tahun ini. Dia yang paling paham tentang keuangan di keluarga kami. Dia sendiri sudah pusing memutar uang yang setidaknya untuk membeli bahan makanan. Aku sangat bangga dengan kemampuan istriku dalam mengelola uang, bahkan dia membantuku mengumpulkan uang dengan memasarkan usaha parsel kue kering milik temannya.

“Pak, buka puasa terakhir pakai es teh aja ya?” istriku berteriak dari dapur, sedang menyiapkan hidangan buka puasa. Ya begitulah hidangan buka puasa di rumah kami, lauk pauk seadanya dengan segelas es teh. Ananta yang masih bayi pun ikut berbuka dengan kami dengan makan bubur bayinya. Yang penting masih ada yang bisa dimakan, dan Ananta tidak kelaparan.

Tiriririringgg....

Nomor tidak dikenal terpampang di layar ponselku, aku berusaha menggapai ponselku yang berada di atas meja kecil di depanku. Cepat-cepat aku menggeser tombol jawab sebelum direbut oleh tangan kecil Ananta.

“Halo?”

“Halo? Apa benar ini nomor Pak Ardi Muhammad?” suara wanita terdengar dari seberang telepon.

“Ya benar, ini dari siapa?”

“Saya Husna, saya dari humas Tim Satuan Petugas Covid-19 bagian Kantor YZ.”

“Ya?”

“Begini pak, saya diberi rekomendasi oleh pihak HRD, bahwa beliau ingin Pak Ardi Muhammad untuk bergabung dalam tim Satuan Petugas Covid-19. Maka dari itu, saya ingin menawarkan Pak Ardi untuk bergabung dalam tim satgas.”

Sesaat pikiranku masih mencerna apa maksud ucapan orang ini. Aku baru tahu kalau kantorku juga membuat satuan petugas ini, dan lagi sejak kapan beroperasi?

“Pak? Permisi?”

“Ah, maaf. Ada apa?”

“Bagaimana pak? Kalau Bapak mau bergabung dalam satgas, apa Bapak besok bisa datang ke kantor untuk interview singkat?”

Aku terdiam sejenak. Aku memikirkan apakah dengan bergabung sebagai satgas akan digaji—

“Akan ada insentifnya pak, diluar dari THR dan tunjangan bulanan.”

“Baik! Saya akan datang besok ke kantor,” jawabku cepat dengan perasaan senang yang tak terbendung.


------

Ruang Dua

Selimut, tiga setel baju, dua jaket, buku catatan baru, dan sebotol jamu racikan ibuku tertata rapi di dalam tas ransel besar berwarna biru gelap yang sedang kujinjing. Saat ini aku berada di salah satu rumah sakit daerah, berdiri menunggu seorang perawat memanggilku untuk masuk ke salah satu ruangan di dalamnya. Hawanya terasa dingin, napas hangat dari hidungku yang tertutup masker kain menggantikan rasa dingin yang menjalar di sekitar wajahku.

“Atas nama Rizal, silakan ke ruang 202 ya,” perawat yang berlabel nama Rini itu memanggilku dan mengantarku ke sebuah ruangan kecil terlebih dahulu. Di sana, aku diarahkan untuk membersihkan tanganku, memakai gaun medis berwarna biru muda, memasang penutup kepala, masker medis, dan sarung tangan pelindung.

Pintu ruangan 202 dibuka oleh perawat tadi, mengarahkanku untuk duduk menghadap sebuah kaca pembatas yang besar. Di seberang kaca itu, ada Doni, adik bungsuku yang berumur 14 tahun, terduduk di ranjang pasien dan menggunakan piyama rumah sakit.

“Kaaaaakkk....” suara Doni terdengar lesu, namun senyumnya sangat cerah.

“Aku datang. Ini ada salam juga dari Ibu,” kataku sambil mengangkat tas ransel besar tadi dan menunjukkan padanya.

“Boleh aku ambil tasnya? Aku mau lihat,” Doni meminta tas tersebut, yang kemudian diantarkan oleh seorang perawat yang memakai alat pelindung diri yang sangat rapat.

Doni membongkar isi tas itu, dan sangat senang melihat botol jamu tadi. Matanya berbinar sambil menunjuk-nunjuk botol jamu di tangan kirinya, cepat-cepat ia membuka botol jamu itu dan meneguknya seolah memeragakan iklan minuman. Kuakui, saat itu tingkahnya sangat lucu.

“Nanti kalau aku balik kesini lagi, ada yang mau dititip lagi?” tanyaku ke Doni yang masih bersemangat meneguk jamu. Seketika, Doni perlahan menurunkan botol jamu tadi dan raut wajahnya berubah serius dan menatapku dalam.

“Kak, minggu depan aku enggak titip apa-apa, tapi Kakak sama Ibu kasih aku doa yang banyak dari rumah ya. Kemarin, temanku ada yang sudah boleh pulang. Aku pengin minggu depan aku dibolehkan pulang. Aku kangen Ibu.”


------

Ruang Tiga

Rrrrrrr......

Klik.

“Halo sayang?” wajah sumringah Ani muncul dari seberang telepon video. Lesung pipinya masih setia terlukis di wajah bundarnya.

“Hai. Apa kabarmu disana? Udah dua bulan nih, aku enggak balik ke Samarinda,” jawabku.

“Lama juga ya dua bulan....” ucap Ani setengah menggumam.

“Disini baik semua kok sayang. Mama sekarang lagi merekap hasil jualan kuenya, kalau Papa lagi nonton sitkom tuh,” celoteh Ani kemudian. Aku hanya tersenyum, asik mengamati wajahnya yang kurindukan.

“Kamu sendiri gimana, sayang? Ibu sama Bapak disana sehat aja, kan? Apa kabar Adel?” tanya Ani bertubi-tubi. Aku terkekeh sesaat.

“Ibu sama Bapak baik aja, mereka sudah libur kerja mulai kemarin. Adel.... rada sensitif gara-gara kelas online terus. Hehe,” jawabku kemudian. Ani hanya mengangguk lalu tersenyum simpul.

“Habis lebaran nanti, kira-kira kamu balik ke Samarinda lagi, enggak?” Ani kembali melempar pertanyaan padaku.

“Kurang tahu, masih lihat kondisi disini.”

Ani terdiam, kemudian menyibakkan rambut sebahunya ke belakang telinganya. Aku ikut terdiam dan memikirkan topik pembahasan lainnya.

“Gimana nanti kalau aku udah balik ke Samarinda, kita puas-puasin jalan? Kemana ya? Pantai? Taman? Mall? Atau ke event pameran?” aku asal memberi ide saja, agar percakapan kami tidak berakhir begitu saja.

Lama Ani hanya menatapku dari telepon video, dengan senyum tipisnya. Ani kembali berbicara sesaat setelah menghela napas.

“Untuk sekarang, aku cuma mau kamu kembali dulu ke Samarinda kalau kondisinya reda. Cukup kamu muncul berdiri di depanku dan kasih aku pelukan, itu udah buat hatiku tenang.”

Tanpa sadar, air mata mengalir dari mata kananku. Ani juga terlihat mengusap pipinya yang terlihat basah. Hatiku terenyuh saat mendengar keinginan wanitaku, keinginan yang sederhana.

Love you. Sehat terus ya.”

Sesederhana itu.

Ditulis oleh Mahmudhah Syarifatunnisa, Mahasiswa Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, 2016.



Kolom Komentar

Share this article