Cerpen

Seangkasa

Sebuah cerpen dengan judul "Seangkasa". (sumber foto: infoglobal.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


28 Juli 2006

Jon berpaling dari kelap-kelip lampu kamera. Ia bergegas mempercepat langkah di atas karpet merah. Tak ingin banyak bicara dengan wartawan, tak ingin banyak diabadikan. Jon tak tahu bagaimana bersikap, ia tak nyaman dengan segala sanjungan di koran, di radio, di teve, ia tak nyaman di pesta ini. Namanya digadang-gadang sebagai orang paling berpengaruh abad ini, seorang pelopor, pembaharu peradaban, inovator masa depan, Jon sang kosmonaut.

“Bukan main, kita bersama-sama menyaksikan orang yang akan mengukir sejarah, seorang pelopor ulung, lihatlah rambut klimisnya, lihatlah langkahnya yang mantap walau kelihatannya ia sedang terburu-buru. Saya yakin misi peluncuran ke Mars-nya akan sukses besar, ia akan memulai sebuah pen-”

Teriakan heboh reporter teve bingar di telinganya, ia bahkan tidak mau dengar apa yang dibahas dengan pemirsa via satelit mereka. Jon genggam jasnya, melangkah makin cepat masuk gedung.

“Saya yakin kalau pendaratan kita akan berhasil karena-“

Jon juga berusaha tidak mendengar apapun, termasuk pidato sambutan untuknya. Ia mulai mual. Ketenaran memang bukan untuknya. Ia berulang-ulang mengecek arlojinya. Ia tidak bisa kabur, tentu. Ia duduk paling depan sejajar dengan para admiral, sejajar dengan presiden.

“-jadi ini bukan keberhasilan bagi kami saja, bukan pula keberhasilan pemerintah, ini pencapaian kita semua, umat manusia!” pidato sambutan munafik itu ditutup dengan gemuruh tepuk tangan hadirin yang terhormat, bergema di seluruh sendi gedung.

“Namun saya memang lancang sedari muda, buktinya sekarang, saat menang pemilu saya malah nikah lagi hahaha,” presiden menertawakan sendiri pidatonya yang tidak nyambung. Hadirin yang terhormat tertawa dengan profesional.

“Tapi saya percaya keberangkatan saudara Jon akan menjadi batu loncatan bagi kemanusiaan. Bumi kian hari kian jahat, iklim makin setan, udara kian tipis, kolonisasi di Mars akan menjadi harapan bagi spesies kita, bagi masa depan kita.”

Jon makin resah memikirkan isi pidatonya sendiri.

4 Maret 2021

“Bencana kelaparan semakin meluas, kali ini di distrik B sudah delapan orang tercatat meninggal dunia. Kementerian Dalam Negeri berdalih pasokan makanan sudah disebar namun masih kekurangan.”

“Kami dan satgas sudah menyuplai bahan makanan melalui pemerintah daerah tapi kami memang masih kurang. Kami berusaha bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Perkebunan untuk meningkatkan kuantitas panen musim ini. Hanya itu yang kami bisa usahakan.”

“Sementara itu huru-hara makin menjadi di kalangan masyarakat, mereka menuntut pemerintah untuk segera menuntaska-“ Erin mematikan teve.

Ia merasa tidak perlu khawatir, keluarganya cukup kaya untuk membeli tiket ke Mars. Sekitar sembilan tahun lagi persiapan kolonisasi Mars rampung dan semua yang membayar bisa pergi ke sana, menyelamatkan pantat dan ego mereka.

5 Januari 2026

“Sudah tidak ada harapan lagi, bumi tinggal sebentar,” baca Bono keras-keras. Bocah lima tahun itu baru bisa membaca. Tulisan itu muncul sesekali di bagian bawah layar tevenya. Ia tak bisa membaca yang lainnya karena terlalu cepat.

“Bono sayang, ayo sarapan nak,” panggil ibu dari dapur.

Berjalan pelan ia sembari melihat ayahnya yang sudah memakai seragam lengkap dengan dasinya. Sambil mengunyah roti ia membaca koran. Ia mengernyit membaca berita tentang seorang pria yang membunuh polisi dengan garpu karena menjatah makanannya lebih sedikit dari yang ia harapkan.

“Aku sih malu kalau jadi dia,” kata ayah Bono.

“Seharusnya sebagai lelaki harus kerja keras dong mengumpulkan uang, makanya kalau muda sekolah yang benar biar dapat kerja yang enak, manusia sekarang mau gampangnya saja, heran.”

Ibu terkekeh mendengar itu.

“Bono jangan seperti paman yang di koran ya, sekolah yang benar,” kata ibu.

Bono mengangguk.

14 April 2033

Hal unik terjadi di kota-kota besar seluruh dunia. Orang-orang kaya mendemo pemerintah menuntut hak mereka. Mereka yang enggan turun ke jalan bahkan menyewa massa untuk mewakili mereka. Bahkan sampai ada yang menuntut pemerintah di pengadilan, gila memang, lagi-lagi bisa karena uang.

“Kami menuntut hak kami, kami sudah membayar, maka kami harus memastikan mendapatkan apa yang telah kami bayarkan,” kata David pada seorang reporter.

“Bukankah pemerintah sudah mengeluarkan pernyataan yang menjamin bahwa semua baik-baik saja, dan keberangkatan ke Mars akan dimulai sebentar lagi, apakah Anda tidak mempercayai itu?”

“Sebentar itu kapan?! Sejak tahun lalu pemerintah bilang sebentar-sebentar, tenggat waktu ke Mars sudah lewat dua tahun! Bumi makin panas, pohon tidak tumbuh, makanan tipis, makin banyak orang mati! Kami menuntut klaim pemerintah tiga tahun lalu bahwa di Mars gandum sudah bisa tumbuh, artinya di Mars ada makanan! Itu sudah cukup bagi kami untuk hidup di sana. Kami sudah habiskan banyak uang untuk ini. Kami ingin hidup lebih lama!”

23 Mei 2038

Aneh, jalanan penuh dengan orang-orang yang berjalan gontai. Mata mereka cekung seperti kurang tidur.

“Kenapa sih orang-orang kaya itu loyo? Mereka kan bisa dapat makanan yang lebih layak dari kita, mereka bisa beli roti, beli susu, lah kita hanya bisa makan makanan daur ulang dan minum air sulingan,” kata seorang gelandangan di pinggir jalan pada temannya.

“Kudengar mereka ditipu, begitu, entahlah, aku tidak peduli dengan orang-orang egois itu. Makan saja aku susah.”

Orang-orang kaya itu melangkah dengan langkah terseret-seret, menggumamkan kalimat berulang, “Mars tidak pernah ada!”

11 Februari 2001

Erik berkelahi dengan kawannya Stanley karena ia melempar kaleng minuman ke kandang monyet. Padahal guru-guru dan pemandu wisata jelas sudah melarang membuang sampah di kebun binatang.

“Sudah-sudah! Kalian ini sudah cukup besar untuk tahu bahwa kelahi itu hal yang buruk!” kata bu guru mencoba memisahkan.

Mereka kemudian melakukan janji perdamaian palsu di depan bu guru. Sepulangnya dari kebun binatang Erik masih kesal. Bagaimanapun di matanya Stanley adalah orang yang sok tahu. Stanley mempermalukannya di depan semua orang. Ia tahu membuang sampah di kandang itu dilarang, tapi bukan berarti Stanley bisa dengan sok menasihatinya di depan semua orang.

“Kenapa kau, Rik?” tanya kakeknya yang bingung melihat wajah kesal cucunya itu.

“Tadi aku berkelahi dengan Stanley kek.”

“Bagaimana bisa?”

Erik menceritakan kronologinya dengan sedikit hiperbola. Kakeknya tersenyum tipis memandangi cucu semata wayangnya yang masih kecil ini. Ia tahu persis setengah dari cerita Erik adalah mengada-ada.

“Kau berani juga, sebagaimana yang diaharapkan sebagai anak lelaki,” kata kakek menatap mata Erik yang separuh bangga.

“Tapi kau tahu, tidak semua soal bisa selesai dengan memukul. Aku pikir Stanley ada benarnya, walaupun memang aku akui cara dia menasehiti orang itu terlalu sok,” lanjut kakek sambil mengedipkan sebelah matanya pada Erik.

“Benarkan kek? Lagipula itu hanya satu kaleng soda, tak berarti apa-apa,” Erik membuat pembenaran.

“Bagaimana kalau ada sejuta Erik di dunia? Berarti akan ada sejuta kaleng soda di kandang monyet," Kata kakek terkekeh.

“Bagaimana kalau ternyata bukan hanya Erik yang berpikiran begitu atau bagaimana kalau kaleng sodanya tidak hanya ada di kandang monyet, atau ternyata bukan hanya kaleng soda yang dibuang sembarangan?” lanjut kakek.

Erik terdiam.

“Bumi bisa penuh sampah, sayang.”

“Kita kan bisa daur ulang sampah, bisa kita bakar, bisa kita…”

“Bukan soal bagaimana penanganannya, ini soal kebiasaan. Hal-hal semacam ini kalau diteruskan, bisa merusak tatanan kehidupan di planet bumi. Ikan-kan mati karena laut penuh plastik, air tercemar, tumbuhan mati, ternak tak dapat makanan, manusia juga akan punah pada akhirnya. Bumi ini rumah manusia, jika bumi rusak, manusia tinggal di mana lagi?”

“Masih ada Mars!” kata Erik ngotot.

7 Agustus 2005

Jon setengah berlari di koridor. Ia dipanggil oleh bosnya mendadak. Memang beberapa minggu ini ada kabar burung bahwa akan ada pengangkatan jabatan. Jon berharap ia naik jabatan, dengan begitu tentu gajinya akan naik dan bisa setidaknya membantu memenuhi keperluannya sehari-hari.

Begitu masuk ke ruangan ia disambut beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya. Orang-orang ini asing pikirnya.

“Ah Jon! Kau sedikit terlambat, tapi, ya, itu bukan masalah besar,” sambut bosnya.

“Duduklah, dan kita akan mulai segera," lanjut lelaki botak gemuk itu.

Jon duduk dengan gugup. Ia merasa seperti menghadiri sidang pidana. Orang-orang tak dikenal di sekitarnya terlihat sangat kaku dengan jas mewah mereka.

“Jadi begini,” suara bos mencairkan suasana.

“Seperti yang sudah kita wacanakan beberapa tahun lalu, kita butuh suplai dana yang besar untuk keberlangsungan lembaga kita dan perut kita tentunya. Kita butuh donatur. Tapi tentu saja tidak akan ada donatur yang mau cuma-cuma, mereka akan berharap timbal balik. Kebetulan isu kiamat sedang merebak,” bosnya tiba-tiba berhenti bicara dan melihat Jon.

Semua kini melihat Jon. Ia menelan ludah.

“Untuk itulah kami butuh volunteer untuk memancing uang. Kita akan mewujudkan mimpi untuk hidup di Mars! Kolonisasi Mars! Semua orang akan membayar mahal untuk menyelamatkan keluarga mereka dari rumah mereka yang makin rusak! Kita akan terbangkan kau ke Mars, Jon! Sebagai gelombang awal mimpi manusia di Mars!”

Jon kaget bukan main. Tangannya gemetar.

“Tapi b-bos,” katanya terbata. Jon dengan takut-takut mencoba bicara.

“Kita di Lembaga Antariksa semua tahu, kalau Mars itu tidak pernah ada.”

Orang-orang asing ini menoleh cepat menatap Jon, memicingkan mata mereka tajam-tajam dalam diam, seakan menghakimi. Bosnya menghela napas panjang.

“Di situlah intriknya sayangku, Mars tidak pernah ada!” kata bosnya memegang pundak Jon.

TAMAT


Ditulis oleh Mochamad Fernanda Fadhila, mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP.



Kolom Komentar

Share this article