Cerpen

Ruang Dua Satu

Sebuah cerpen berjudul Ruang Dua Satu karya Rabiatul Husna, mahasiswi Akuntansi, FEB. (Sumber foto: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Ruang Kuliah 21

14.00 WITA

Ruang kelas ini terasa sepi. Meski semua bangku dari barisan depan hingga belakang sudah terisi penuh, tetap saja aku merasa sendiri. Selalu begini. Kuperhatikan satu kumpulan perempuan di belakang, mereka sedang asik membahas sesuatu, sepertinya menarik karena sesekali mereka tertawa bersama. Lalu, ada lingkaran lain, perempuan dan laki-laki di pojok depan. Tampaknya, mereka membahas sesuatu yang serius karena semua diam mendengarkan satu orang berbicara, tak lama para wanita menunjukan ekspresi kaget dan prianya tertawa. Rusuh sekali. Aku menoleh ke kanan dan kiri, teman-teman di sampingku sibuk dengan gadget di tangan. Sepertinya tak ada yang ingin mengajakku mengobrol, pun denganku yang enggan mengajak mereka bicara.

Biasanya, saat seperti ini akan ku isi dengan menenggelamkan diri pada novel atau bacaan lainnya. Tapi, kali ini aku benar-benar ingin diam dan duduk saja.

Di belakangku duduk empat wanita tercantik di kelas ini. Salah satunya tenggelam dalam snapgram. Ya, dia adalah Dini, perempuan yang diam-diam aku iri padanya, pada kehidupan, kecantikan, bentuk tubuh hingga rumah yang dimilikinya. Dia adalah perempuan sempurna. Intinya aku iri pada Dini dan ingin sekali menjadi dirinya.

Aku pernah sekali ke rumahnya dalam rangka tentu saja mengerjakan tugas kelompok, selain alasan itu tak ada lagi alasan rasional seorang bisa menginjakkan kaki di rumahnya. Aku benar-benar canggung begitu masuk ke rumahnya. Yaah, dibandingkan dengan rumahku yang berukuran kecil, dengan satu kamar tidur dan satu kamar mandi, dihuni oleh 6 orang. Bahkan, rumahku hanya seukuran ruang tamu Dini. Lantainya di alasi dengan permadani lembut sekali, mungkin dibeli di negeri yang jauh sana. Meski begitu, ia tetap menggunakan alas kaki di dalam rumah.

Kami mengerjakan tugas di ruang keluarga, dan aku melihat televisi raksasa. Aku tidak tahu itu ukuran berapa inci, namun itu jauh lebih besar daripada jendela terbesar yang ada di rumahku. Televisi? Jangan ditanya, kalau diibaratkan manusia, televisi di rumahku itu seperti kakek-kakek 90 tahun yang tinggal menunggu malaikat maut menjemput. Suaranya sudah serak dan kadang-kadang mati sendiri ketika tengah ditonton. Itupun kalau lebih dari 5 jam dihidupkan akan ‘ngambek’ selama 3 hari.

Ayah Dini seorang staf akuntan di perusahaan swasta. Dia bisa belajar Akuntansi –jurusan kita– langsung dari ayahnya. Dia bahkan bisa melihat langsung bentuk saham atau surat-surat berharga yang hanya bisa kulihat gambarnya di buku-buku pedoman. Teman-temannya pun memiliki ayah dengan profesi yang tidak jauh berbeda dengannya. Mereka duduk di belakang ku saat ini, pergi kuliah dengan mobil masing-masing meski rumah mereka berdekatan. Tak hanya bergelimang harta, dia juga memiliki wajah yang cantik. Tentu saja, dia rajin mengikuti perawatan-perawatan yang biayanya mungkin melebihi jumlah akumulasi makan kami ber-6 selama satu minggu. Saat iseng kutanya bagaimana punya wajah sebersih itu, ia mengatakan sering mengolesi lemon dan madu sebagai masker. Lemon? Setelah kupikir-pikir jika aku membeli lemon dan madu untuk kujadikan masker, pasti habis duluan oleh keluargaku di jadikan macam-macam, sebelum sempat ku olah jadi masker. Alasannya, perbaikan gizi!

Bukannya aku tidak bersyukur dengan membanding-bandingkan kehidupanku dengan orang lain, tapi lihat saja mukaku. Jerawat sebesar jagung tak henti-hentinya menghiasi. Meskipun menurut teori yang kubaca entah di mana, jerawat akan terhenti di usia ke 20, namun hal itu tak berlaku padaku. Mungkin karena setiap hari aku mesti jalan kaki ke halte untuk naik angkot jika ingin ke kampus. Debu dan polusi terakumulasi di wajahku tanpa sekalipun pernah tersentuh tangan mbak-mbak salon. Aku juga tidak punya teman yang bisa ku ajak pergi ke tempat-tempat seperti bioskop atau kafe. Aku hanya punya 2 teman dan itu sebatas teman di kampus dan untuk diskusi-diskusi masalah tugas. Lagi pula prinsipku semakin banyak teman, semakin banyak pengeluaran. Ada satu lagi teman spesialku, Beni. Aku memang diam-diam berharap lebih padanya, tapi aku cukup tau diri untuk melihat siapa aku dan pelan-pelan terbiasa dengan kebaikannya tanpa mengharapkan apa-apa.

Aku dekat dengan Beni karena pernah satu kelompok dalam mengerjakan tugas. Dan ternyata dia nyambung diajak ngobrol. Sejak saat itu aku dekat dengannya. Dia baik padaku, kadang-kadang aku berpikir ia menyukaiku, namun aku harus menerima kenyataan bahwa ia baik pada semua orang dan memang sikapnya membuat siapapun merasa diistimewakan olehnya. Lihat, lelaki itu menuju ke arahku, dia pasti dari tadi memperhatikan aku melamun.

“Rahma! Jangan bengong aja, kayak orang kurang kerjaan aja! Dosen gak datang, ke kantin yuk?” tuh kan, dia baik. Kubilang juga apa.

“Aku kenyang sudah makan” jawabku pendek.

“Yaaah, padahal aku mau traktir” ia berjalan keluar.

“Aku mau makan, tapi cemilan aja ya. Ayuuuk” aku mengikutinya sambil nyengir.

*** ***

Ruang Kuliah 21

14.57 WITA

Aku memperhatikan Rahma mengikuti Beni keluar. lihatlah senyuman tulus itu. Aku diam-diam iri dengan pertemanan mereka. Tidak hanya itu, aku iri dengan kemampuannya, keaktifannya di kelas, cara bicaranya hingga teman-teman yang dimilikinya. Pokoknya aku iri dengan semua yang dimilikinya. Bahkan jika reinkarnasi itu benar-benar ada, aku ingin menjadi Rahma di kehidupan berikutnya. Aku iri dengan tatapan kagum yang ditunjukan orang-orang di belakangnya. Suatu hal yang tak pernah ku dapatkan. Aku bahkan ragu apakah di kelas ini aku di anggap ada. Aku tidak pernah unjuk gigi di bidang apapun. Apa yang ku bisa? Selain mencatat dan terus mencatat materi dari dosen. Karena sekeras apapun aku belajar, rasanya semua yang sudah ku simpan di otak, menguap begitu cepat.

Aku ingin sekali memiliki teman yang bisa diajak diskusi sehabis kuliah. Seperti yang kulihat sering dilakukan oleh Rahma. Aku bosan menjalani kuliah dan bersantai-santai setelahnya. Rahma memang tidak cantik, justru itu yang membuat aku iri. Bagaimana ia dihargai dan mendapat tempat karena apa adanya dia. Bukan karena apa yang dimiliki. Aku bahkan berani bertaruh, teman-temanku saat ini, akan meninggalkanku saat aku tidak punya uang saku berlebih atau pergi kuliah tidak dengan mobil lagi. Bukannya tidak bersyukur dengan apa yang aku miliki, tapi lihatlah ke depan. Saat ini Rahma dan Beni sedang asyik makan sesuatu berdua. Mereka sibuk mengobrol tak peduli rusuhnya kelas. Tak bisakah Rahma melihat tatapan kagum di mata Beni untuknya? Tatapan mencintai dengan dalam, apa adanya. Sesuatu yang saat ini benar-benar ingin kudapatkan dari Toni, pacarku.

Akankah Toni tetap bersamaku, jika aku tidak lagi rajin merawat diri ke salon? Apakah Toni tetap bangga padaku, bahkan jika aku tidak menggunakan barang-barang branded di depan teman-temannya? Akankah teman-temanku masih mau menggandeng tanganku jika besok suatu keadaan buruk terjadi dan aku harus naik angkot kemana-mana? Lagi-lagi aku dikuasai perasaan cemburu. Hidupku bagai noktah hitam, tidak ada harganya dibandingkan kehidupan Rahma.

Aku pernah melewati rumahnya. Rumahnya sederhana namun selalu ramai. Bandingkan dengan rumahku yang sehari-hari diramaikan oleh pembantu dan tukang kebun. Aku juga iri pada ayahnya yang perhatian. Pernah ketika belajar kelompok di rumahku, Rahma izin pulang duluan.

“Maaf banget ya, sudah disuruh ayah pulang, takut kemaleman kalau ditunda-tunda lagi pulangnya”

Aku tersentuh dengan kata-kata itu. Papaku? Dia bahkan mungkin tidak tahu aku ada di rumah atau tidak. Bagaimana mungkin ia akan peduli jika ia sendiri pulang larut malam dan langsung istirahat karena kelelahan? Satu-satunya perhatian yang selalu diberikan adalah, “Uang jajan mu masih ada? Kalau habis bilang ya, kalau tidak diingatkan papa lupa transfer."

Aku bersyukur atas itu, hanya saja ada kebutuhan lain selain uang, yang aku ingin papa mengerti. Aku ingin kehadirannya. Rumah besar itu terasa gersang, kering kerontang tanpa kasih sayang.

Perlahan, orang-orang beranjak pergi meninggalkan kelas. Aku menyeret kaki untuk pulang, membatalkan janji jalan-jalan dengan teman. Aku butuh sendiri. Ku biarkan langkah kaki membawaku pergi.

*** ***

Dan kisah itu terjadi lagi. Kisah yang sama datang dan pergi bersama waktu. 55 tahun aku berdiri menyaksikan begitu banyak anak manusia menghabiskan waku dalam ruangan kecil ini. Jutaan kisah terekam di sini, disaksikan dinginnya ubin, lembab dinding dan foto presiden yang acapkali berganti. Kisah cinta tanpa rasa, cinta segitiga, cinta terpendam, persahabatan penuh dusta, hingga kisah yang baru saja ku amati. Betapa seseorang ingin menjadi orang lain dalam hidupnya.

Benarlah pepatah yang diciptakan manusia, “Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau”. Aku tidak bisa mencegah apapun terjadi, tugasku hanya mengamati. Tapi aku tidak pernah mengeluh. Bahkan jika badai Nuh terulang lagi, lalu kehidupan kedua terjadi aku tidak akan pernah menyesal meminta pada Tuhan untuk diciptakan kembali menjadi sebuah ruang kelas!


Ditulis oleh Rabiatul Husna, mahasiswi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis 2015.



Kolom Komentar

Share this article