Pergi Tapi Ada
Cerpen
Sumber Gambar : Canva
Ditemani danau yang menjadi saksi kehadiran mereka di tempat ini. Dua anak perempuan itu saling menatap satu sama lain. Mili dan Michi, sepasang anak kembar yang selalu bersama kemana pun mereka pergi. Keduanya tak pernah terpisah dan tidak pernah ingin berpisah.
Angin sejuk menerpa rambut hitam mereka. Senyuman manis seolah tak pernah pudar dari bibirnya. Bagi Mili, Michi adalah kehidupannya dan begitu pula sebaliknya. Rupa mereka hampir sama, bahkan jika orang awam melihat sekilas mungkin akan sulit membedakan antara Mili dan Michi.
Mili berjongkok di hadapan Michi yang sedang duduk di atas kursi rodanya. Kedua tangan Mili tergerak menggenggam jari-jemari halus Michi.
"Michi harus janji ya kalau Michi bakal sembuh," ucap Mili dengan pengharapan besar di hatinya.
Kembarannya itu hanya menanggapi dengan senyuman manis. Ingin rasanya mengucapkan kata ‘iya’, tetapi jauh di lubuk hatinya itu adalah suatu hal yang sudah tidak mungkin. Michi mengidap kanker hati yang sudah memasuki stadium empat. Kenyataan pilu yang tidak bisa ditolak dari takdir hidupnya.
"Michi kok diam aja? Michi enggak mau janji? Michi mau ninggalin aku ya?" Celetuk Mili dengan pertanyaannya.
Butiran air mata itu akhirnya lolos dari pelupuk mata Mili. Baginya, tidak ada yang lebih ditakutkan di dunia ini selain kehilangan Michi. Tidak ada yang lebih menyedihkan selain menatap rasa sakit Michi, sedangkan ia tidak mampu berbuat apapun.
Michi menggelengkan kepalanya. Tangannya mengusap air mata yang jatuh di pipi Mili.
"Kata siapa Michi bakal ninggalin kamu? Enggak ada yang pernah bilang begitu kan?" bujuk Michi kala itu.
"Tetapi, dokter tadi bilang kemungkinan Michi bertahan lama itu kecil," sergah Mili.
"Harapannya kecil bukan berarti enggak ada harapan sama sekali kan?" Michi menyangkal pernyataan Mili.
"Michi....." gerutu Mili.
"Mili, kalaupun Michi udah enggak di samping Mili lagi, Mili harus ingat bahwa Michi akan selalu hidup di hati Mili," papar Michi untuk menenangkan Mili.
•••
Notifikasi ponsel yang sedikit nyaring berbunyi, tepat disebelah gadis yang sedang tertidur pulas dengan selimut Doraemonnya. Ia bangkit dan menatap jam di sebelahnya. Pukul 21.00 malam rupanya.
Mili mengedarkan pandangannya ke kasur yang berada di sebelahnya. Dirinya tersenyum menatap kembarannya yang juga terlihat sedang tidur pulas. Mili lebih tenang mengetahui jika kepergiannya kembarannya itu hanyalah bunga tidurnya saja.
Gadis itu bangkit dari kasur dan meninggalkan Michi yang terlihat tidur pulas.
"Mama," panggil Mili pada ibunya yang sedang menonton televisi.
Mili langsung mengambil tempat tepat di sebelah ibunya dan menyenderkan kepala di bahu sang ibu. Ayahnya bekerja di luar kota, jadi hanya ibunyalah yang menemani kesehariannya.
"Kamu kebiasaan banget deh setiap habis magrib selalu tidur," tegur sang ibu.
"Bukan tidur, tetapi ketiduran aja," sahut Mili.
"Ya sama aja kan, sama-sama tidur," terang sang ibu.
"Beda tau," Mili kembali menjawab pernyataan ibunya.
"Lagian kamu aneh, setiap habis magrib selalu tidur tapi setiap malam pasti begadang. Yaudah sana makan malam dulu," ucap ibu.
Mili bangkit dan melangkahkan kakinya menuju meja makan yang tidak jauh dari ruang keluarga mereka. Segelas air putih diminumnya terlebih dahulu sebelum mengambil lauk yang hendak dimakannya.
"Ma, Michi udah makan belum?" Tutur Mili.
Ibunya tersentak mendengar pertanyaan putrinya itu. Dirinya tersenyum dengan terpaksa lalu berkata "Udah, kamu aja sana."
"Yaudah aku bangunin Michi dulu kasian dia pasti belum makan juga," ucap Mili.
Mili berdiri dari tempat duduknya, namun langkahnya terhenti karena mendengar teguran dari sang ibu. Kali ini nada bicara ibunya terlihat lebih tegas dari sebelumnya. Bahkan, raut wajahnya pun seketika berubah.
"Mili berhenti! Kembali ke meja makan dan makanlah," desak sang ibu.
"Tapi aku mau bangunin Michi dulu," sangkal Mili.
"Michi gak bakal bangun, lebih baik kamu makan sekarang," tutur ibunya dengan nada cemas.
Akhirnya, Mili mengurungkan niatnya untuk membangunkan Michi. Menyebalkan, ibunya selalu saja begini. Seakan melarangnya berdekatan dengan Michi.
"Jangan lupa habis makan nanti cuci piringnya,” ujar sang Ibu.
"Hmm," jawab Mili singkat.
Raut wajah cemberut ditunjukkan Mili karena kesal pada ibunya. Ia memilih duduk dan menghabiskan makanannya dengan cepat. Setelah mencuci piring, Mili bergegas ingin kembali ke kamarnya.
"Mili, mau kemana?" tanya sang ibu.
"Balik ke kamar," sambungnya.
Mili menjeda ucapannya sejenak, lalu berkata. "Aku mau bangunin Michi."
"Mili, sini nak," ujar ibunya.
Gadis cantik itu kembali mendekat kepada ibunya dan duduk disebelah wanita paruh baya itu. Ibunya mengelus rambut Mili penuh kasih sayang.
"Sampai kapan kamu begini terus?"
Mili hanya diam.
"Mili, sadar nak. Michi udah gak ada. Michi udah ninggalin kita selamanya, bahkan dari dua tahun yang lalu. Dia gak akan bisa balik lagi,” ungkap sang ibu.
“Kapan kamu bisa terima kenyataan ini nak? Sejak kepergian Michi, kamu selalu berhalusinasi seolah-olah kamu melihat dia," tatapan sendu terpancar di sorot mata ibunya.
"Tetapi, tadi di kamar aku beneran liat Michi," kekeh Mili.
"Mili, setop. Dia bukan Michi, dia hanya halusinasi kamu," bentak ibunya.
Prang...
Tidak ada angin ataupun sesuatu yang mengganjal, vas bunga di belakang sofa yang mereka duduki tiba-tiba saja jatuh dan berserakan di lantai. Mili dan ibunya sontak menoleh kebelakang dan melihat apa yang terjadi.
"Michi...."
Ditulis oleh Siti Rahmi, Mahasiswi Manajemen, FEB 2020.