Passenger Seat: Manhattan Skyline
Kupejamkan mataku, sedetik kemudian membukanya kembali.
- 24 Mar 2022
- Komentar
- 1466 Kali
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
(Disarankan untuk membaca cerpen sebelum ini, karena saling berkaitan. Baca: https://sketsaunmul.co/cerpen/passenger-seat/baca)
Aku pernah sangat mencintai seorang perempuan.
Aku pernah menganggap bahwa dirinya berbeda, sehingga tidak ingin kulepaskan. Aku pernah membayangkan jika perempuan ini adalah sosok paling indah saat mataku terbuka di pagi hari, juga ketika malam menjelang.
Aku pernah berharap, agar perempuan inilah yang kelak kugenggam tangannya menuju altar.
Sebagai manusia pada umumnya, aku lupa apakah pernah memikirkan bahwa hal-hal tersebut sebenarnya tidak lebih dari sekadar keegoisanku semata.
Menarik melihat hidup membawa kita pergi. Seperti sekarang, misalnya. Di depan pelataran Mini Market 24 Jam, aku duduk melipat kaki sembari memegang segelas susu Milo panas. Sebelah tanganku tak bisa diam, gelisah bagai maling tertangkap basah. Lalu, ada perempuan yang turut duduk bersamaku dengan gelas yang sama.
Ya, perempuan itu.
Kami duduk berdekatan. Udara malam hari di Bandung tidak pernah ramah. Ia merapatkan jas yang kupinjamkan. Tidak ada yang bicara. Aku mencuri pandang sejenak. Hidungnya memerah karena dingin. Ia meminum susunya perlahan, seolah tak ingin cepat habis. Matanya menatap lurus jalanan yang mulai terlihat sepi.
Ketika aku akan minum seteguk lagi, ia memalingkan wajahnya padaku.
“Gue nggak ngira kalo masih ada Milo panas di sini. Kita selalu minum ini tiap lo kelar latihan band.”
Aku mengangguk. “Ya. Soalnya cuma minuman ini yang kamu mau.”
“Gue cerewet banget ya dulu?”
“Yoi.”
Percakapan terhenti. Masing-masing dari kami seperti sengaja membiarkan keheningan yang ada. Benar-benar canggung. Lagi pula, apa yang dapat diharapkan dari pertemuanmu dengan mantan setelah bertahun-tahun lamanya tak pernah saling menghubungi?
“Ehm, Agra sama Dita kayaknya bareng-bareng ya?” tanyanya, memecah kesunyian.
“Kurang lebih gitu. Seharusnya dari dulu sih. Mereka aja yang bego,” tukasku.
Perempuan bernama Nayanika Nirmala tersebut tertawa geli. Sebuah senyum terulas di wajahnya. Aku tak yakin, apa yang kini ada di benaknya.
“Gue dulu juga bego, kok. Super tolol, malah,” rutuknya.
“Kenapa begitu?”
“Soalnya gue ngebiarin lo berjuang sendirian.”
Aku terdiam. Pembicaraan ini seakan menuju kotak-kotak usang yang sudah kusimpan rapat-rapat di dalam diriku.
“Naya...”
“Candra Adiwarna,” sebutnya tegas, “gue minta maaf.”
Maaf. Kata-kata yang seharusnya membuat seseorang lega dan tenang, justru membuat hatiku sakit. Untuk apa dia minta maaf?
“Gue akui kalo sifat gue berengsek. Gue selalu bosan, gak pernah puas akan suatu hubungan. Gue tolol karena ngebuat lo bertahan dalam hubungan yang bahkan gak berjalan dua arah. Kita seharusnya gak perlu jadian sama sekali. Gue nggak seharusnya nyakitin lo, Candra,” tuturnya.
“Naya, itu udah terjadi. Nggak ada yang bisa kita lakuin soal itu,” jawabku.
“Tetap aja gue goblok. Gue tahu banget kalo lo selalu sayang dan tulus dalam hubungan kita. Tapi yang gue lakukan waktu itu adalah ngedorong lo untuk menjauh dari gue. Seolah semua hal yang lo usahakan gak ada artinya sama sekali buat gue. Gue salah,” kata Naya dengan suara bergetar. Ia mengayun-ayunkan kakinya dengan gelisah.
Kupandangi langit malam yang mendung. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya kuucapkan. Tapi diam juga bukanlah solusi.
Bolehkah aku mempertanyakan dirinya?
“Satu hal, Nay. Sekali, sekali aja. Apa pernah kamu benar-benar ngerasain hal yang sama? Cinta, pernahkah?”
Ia tertegun, nampak tak siap dengan pertanyaan tersebut. Mata kami saling bertatapan. Tanpa perlu bicara, aku sudah mendapatkan jawabannya.
Tidak tahu. Tidak ada.
“Lo orang yang benar-benar baik dan tulus, Candra,” ucapnya.
Aku mendesah pelan.
“Kalau gitu, aku juga bego. Aku cinta sama kamu, tapi nggak pernah ngebiarin diriku ngelihat hubungan kita dari sudut pandangmu. Aku mempertahankan hubungan yang gak ingin kamu pertahankan. Apalagi namanya, kalo bukan bego?”
Usai berbicara, baik aku maupun Naya kembali membisu. Minuman kami mendingin, seiring dengan kesunyian ini. Ia menggeser posisi duduknya, lalu sandarkan kepalanya di pundakku. Cukup lama kami terdiam bersama suara angin, sebelum akhirnya ia membuka suara.
“Mungkin gue nggak tau malu buat bilang gini. Tapi andai kita saling terbuka, apakah ada harapan untuk hubungan ini?” bisiknya.
Kupejamkan mataku, sedetik kemudian membukanya kembali.
“Pada akhirnya, kita tetap akan berpisah. Apa dengan terbuka, kamu dapat setidaknya menaruh cinta yang sama untuk aku? Atau aku dengan ikhlas akan menyerah dari hubungan ini?”
“Kita manusia yang keras kepala. Itulah kenyataannya,” sambungku.
Ia mengangkat kepalanya dari pundakku. Naya tersenyum manis tanpa bicara, lalu berdiri. Aku mengikutinya.
Perempuan itu mendekat, memelukku dengan hangat. Kurengkuh pula tubuhnya yang terbalut jas.
Kepalaku memutar sebuah lagu yang sering dinyanyikan Agra dan Dita ketika kami sedang istirahat dari latihan band. Manhattan Skyline.
“My boat’s leaving now,
So we shake hands and cry.
Now, I must wave goodbye.”
Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswa Akuntansi, FEB 2017.