Cerpen

Passenger Seat: Live Forever

“You and I are gonna live forever...”

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

(Disarankan untuk membaca cerpen sebelum ini, karena saling berkaitan. Baca: https://sketsaunmul.co/cerpen/passenger-seat-manhattan-skyline/baca).

Macarin kamu, gak jauh beda, dengan main ludruk... 

Pake nanya silsilah, golongan darah, ningrat atau umum... 

Rasanya menyenangkan jika punya seseorang, atau beberapa orang yang pandai bernyanyi ketika sedang dalam perjalanan jauh. Seabsurd apapun lagunya, setidaknya suara mereka dapat dijadikan toleransi untuk telinga yang mendengarkan. 

Bagai menghayati peran masing-masing, kedua sahabatku mulai bertingkah. Dita yang duduk di sebelahku, berpose seperti sedang menggenjreng bas dan kepalanya naik turun tidak jelas. Candra yang duduk di kursi belakang, nampaknya benar-benar menjadi ludruk karena tidak bisa duduk dengan diam. Mulutnya komat-kamit, mengikuti narasi yang ada di dalam lagu. Kemudian, keduanya bernyanyi bersahut-sahutan. 

Lalu ada aku, yang sedari tadi menyetir mobil dengan fokus. Sebenarnya aku juga ingin ikutan nimbrung, tapi ada batuk berdahak yang amat mengganggu. Daripada jadi perusak suasana, ada baiknya kusimpan sendiri penderitaanku ini. 

Ngomong-ngomong, kami sedang dalam perjalanan ke Semarang. Selain karena Candra yang ingin pulang kampung, ada seorang kawan band kami yang kini tinggal bersama dengan istrinya di sana. Untuk menebus absen kami semua yang tidak bisa datang saat pernikahannya, kita memutuskan untuk berkunjung sekaligus menengok anak pertamanya yang baru saja lahir. 

“Ta, pinjem hape dong! Mau ganti lagunya nih,” kata Candra di tengah-tengah aku dan Dita. 

“Noh.” 

Ponsel sudah berpindah tangan. Dengan cekatan, ia mengganti lagu sambil cekikikan. 

“Pasti lagu jorok ini!” seru Dita mesam-mesem. 

Benar saja. Begitu musik mengalun, aku langsung mengenali lagu tersebut. Bagaimana tidak, jika kami bertiga sudah mendengarnya berkali-kali sebab para anak kos di sekitar rumah sering menyanyikannya. 

Senandung Raja Singa memenuhi seisi mobil. Suara Krisyanto, vokalis Jamrud membawa nostalgia kembali ke benak masing-masing. Dosa apa kami dulu, para remaja tanggung hingga memiliki kenangan aneh yang melibatkan lagu dengan lirik unik ini? 

Ndes1, ikut nyanyi yok!” ajak Candra sembari menggungcang bahuku. Logatnya mulai keluar kalau dia sudah bersemangat. 

“Suara aing2 kagak ramah di telinga, maneh3 aja dah,” sahutku. 

Ojo ngono4 lah, Ndes! Opo malu, karena ada Dita?” godanya. 

“Dah gak usah malu-malu! Lo gatel pengin nimbrung juga, ‘kan, daritadi? Ngaca tuh, di spion!” timpal Dita. 

Kalau sudah digeruduk begini, jalan terakhir ialah pasrah. Dengan suara serak yang tidak ada bagus-bagusnya, aku bernyanyi sambil menahan tawa. 

Enaknya dikit, enaknya dikit, sakitnya lama... 

Itu adalah Candra. 

Sakitnya lamaaaa...” Aku dan Dita mendadak jadi backing vocal. 

Tak tahan karena paham dengan liriknya, tawa kami akhirnya pecah. 

“HUAHAHAHA! BISA-BISANYA KITA DULU NYANYI INI DI DEPAN KELAS!” ucap Dita dengan geli. 

“Itu ‘kan idenya Candra! Ancur dah, untung kagak dihukum Pak Slamet dari BK,” sambungku, mendelik ke arah belakang. 

“Anak-anak kelas ‘kan pada request! Terus aku kudu piye, jal5?” jawab Candra. 

“Hadeh!” ujarku dan Dita serempak

Capek menyanyi, akhirnya kami diam sendiri. Candra tiduran di kursi belakang, memandang langit-langit mobil dengan melankolis. Sementara Dita, proaktif mengepangi rambutnya sendiri. 

“Kita tuh sebenarnya ‘ndak boleh mengarungi lautan,” kata Candra tiba-tiba. 

HAH? 

“Hah? Maksud lo, Can?” tanya Dita. 

“Iya tah? ‘Kan karung cocoknya buat beras!” balasnya. 

“Garing ah, lo! Kirain apa!” sambar Dita sambil melempar bantal leher dari kursinya ke wajah Candra. Yang dilempar malah cengengesan. 

“Gini ya, aku itu berusaha untuk terjaga. Kalo nggak, kalian berdua pasti udah berasyik-masyuk di depan!” 

Belegug sia6!” umpat Dita yang misuh-misuh. 

Sebenarnya aku takut mau ketawa, tapi malah kelepasan. Dita menatapku dengan tajam. 

“Eh, galak amat teh7. Ntar cantiknya luntur loh,” ucapku yang disusul dengan ledekan Candra. 

“Candra juga! Diem-die deh, tidur napa! Kagak capek apa,” kataku. 

“Iya, iya. Aku tidur, yo!” ujar Candra yang kemudian balik badan. 

“Lu juga mending tidur, Ta. ‘Ntar kalo udah nyampe rest area, gue bangunin. Oke?” 

Ho-oh. Pelan-pelan aja ya, nyetirnya,” jawabnya. 

Setelah dua kawanku ini tertidur, barulah aku bisa kembali menyetir dengan tenang. Karena kami berangkat agak kesiangan, mungkin baru akan sampai rest area saat sore nanti. Aku memacu mobil dengan hati-hati, supaya keduanya tidak lekas terbangun. 

---

“Bangun, weh! Jajan dulu kita!” seru Dita, menggoyangkan tubuh Candra yang selemas daun bayam. 

“Hngh... Eh, udah sampai?” tanyanya dengan mata yang mengerjap-ngerjap. 

“Masih di rest area kok. Turun bentar, yuk!” ajakku. 

Kami turun dari mobil dan bergegas masuk ke mini market. Candra berlari-lari kecil ke arah makanan ringan, sedang aku dan Dita mengantre untuk kopi. 

Beres urusan bayar-membayar, kami kembali ke mobil untuk bersantai. Cuaca hari ini amat mendukung dan membuatku mengantuk.

Tapi tentu saja, aku tidak jadi ngantuk karena suara Candra yang asyik makan keripik. Dita mengomel dan menyuruhnya makan dengan benar. Seperti yang sudah kuduga, mereka kemudian berdebat dengan seru.

Entah karena sedari tadi aku melamun atau bagaimana, baru kusadari bahwa obrolan mereka jadi lebih tenang. Aku memasang telinga, sembari mengunyah kacang polong bawaanku.

“Jadi, udah lega tuh jiwa dan raga lo abis ketemuan sama Naya kemaren?” tanya Dita.

“Yah, gitu deh. Meskipun udah tahu gimana akhirnya, seenggaknya aku lebih lega buat maju ke depan,” sahut Candra.

“Tapi heran sih gue. Kayaknya dari dulu kisah cinta lo tuh mendayu-dayu mulu, dah,” komentar Dita.

Candra tersenyum jahil. “Dikutip dari pandangan Efek Rumah Kaca8, katanya sih karena kuping kita Melayu,” balasnya. Mau tak mau, aku ikut cekikikan.

“Elah garing amat, keripik talas kalah dah!” 

“Terus kalian berdua gimana? Bakal jauh-jauhan, dong? Dita di Boston, Agra di Jogja. Buset, macem AADC aja dah!” kata Candra. 

“Mau gimana lagi? Aing kerja di sana, Dita juga kerja sambil kuliah. Maneh kalo punya ide, sok atuh9,” ujarku. 

“Hmm... Nikah wae, Ndes! Mumet aku mikirnya,” jawab Candra asal-asalan. 

Urang mah teu ngarti ku kalakuan maneh mah10!” sahut Dita, pasrah dengan kelakuan Candra yang ajaib. 

Sementara mereka berdebat (lagi!), aku merenung sejenak. Kuperhatikan kawan-kawanku satu persatu. 

Rupanya waktu benar-benar berjalan. Membayangkan bahwa kami bertiga bersahabat sejak kecil hingga sudah sebesar ini, masih membuatku takjub. Andai saat itu Candra tidak dikejar anjing dan terjatuh ke dalam parit depan rumahku, mungkin kami tak akan saling berkenalan dan mulai berkelahi karena jadwal nonton kartun di Minggu pagi. 

Sekarang, kami semua ada di tempat yang berbeda-beda. Candra yang selalu berandai untuk keliling dunia, kini bekerja sebagai arkeolog dan pergi dalam beragam ekspedisi. Aku yakin ia sangat menikmatinya, meskipun sering mengeluh saat kutelepon. 

Anindita Agni Dewangga, perempuan yang kukagumi dengan segala ambisinya. Selesai kuliah, ia bekerja pada galeri yang fokus dalam seni instalasi dan berakhir dengan mendapatkan beasiswa untuk kembali belajar di Massachusetts. 

Aku sendiri memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta dan meneruskan pabrik milik kakek buyut. Produk teh serta kopi olahan kami masih memiliki banyak peminat, terutama orang-orang lama. Sebagai cucu yang berbakti, sudah sepatutnya aku mengambil bagian juga. 

Walau ada perubahan yang terjadi dalam hidup kami, aku tak merasa bahwa persahabatan ini semakin jauh. Atau barangkali, asing sama sekali. Ada saja alasan-alasan yang kami gunakan untuk tetap saling bertautan. 

Aku sangat bersyukur dengan kehadiran mereka. 

Ground control to Major Tom! Halo, dengan Abraham Nuraga di sana?”

Suara renyah yang khas milik Candra menyadarkanku. Ia melambaikan tangannya di depan mukaku dengan cepat. 

“Ngelamun apa sih? Mikirin maharnya Dita, ya!” serunya. 

“Bukan sih, tapi kayaknya bisa dipertimbangkan. Eh, ini maneh jadi gantian gak?” tanyaku balik. 

“Minggir, deh! Biar ‘tak bawa mobilnya!” 

Kami lalu keluar dari mobil dan berganti posisi. Saat akan membuka pintu, Dita menarik lenganku dan berbisik. 

“Beneran lo mikirin mahar gue?” 

Aku tersenyum, lalu membisikkan sesuatu di telinganya. Wajahnya merona, lalu masuk dan duduk di kursi belakang sambil mengulum senyum. 

“Dah siap, kan? Let’s go!” 

Perjalanan dilanjutkan. Kami bersenandung bersama suara Liam Gallagher dalam lagu Live Forever. Trek favorit kami.

You and I are gonna live forever...

Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswa Akuntansi, FEB 2017. 

Catatan:

  1. Ndes (Gondes): Artinya goblok. Bahasa Semarangan yang hanya digunakan untuk memanggil antar teman (karena konotasinya kasar). 
  2. Aing: Berarti ‘saya’ dalam bahasa Sunda (kasar) 
  3. Maneh: Artinya ‘kamu’ dalam bahasa Sunda (kasar) 
  4. Ojo ngono: Jangan begitu (bahasa Jawa) 
  5. Kudu piye, jal?: Mesti gimana, coba? (bahasa Jawa) 
  6. Belegug sia!: Goblok kamu! (bahasa Sunda, kasar) 
  7. Teteh: panggilan untuk ‘kakak perempuan’ atau ‘mbak’ dalam bahasa Sunda. 
  8. Merujuk pada lagu ‘Cinta Melulu’ karya Efek Rumah Kaca (band) 
  9. Sok atuh: Silakan dong (bahasa Sunda) 
  10. Urang mah teu ngarti ku kalakuan maneh mah!: Saya nggak ngerti sama kelakuanmu! (bahasa Sunda, kasar)





Kolom Komentar

Share this article