Cerpen

Ombak Mimpi

Riki yang gusar akan kelanjutan pendidikannya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Instagram.

Pagi merangkak lebih cepat dari biasanya. Ujian Akhir Semester dimulai pukul 07.30 Wita. Riki berdoa sebelum mulai mengisi lembar jawaban. Selain itu, Ibu juga menyuruhnya untuk taat pada yang punya kehidupan. Dibetulkannya posisi duduk, fokus benar pada soal-soal tertera.

Tak lama kemudian, Pak Andi bertanya adakah kertas cakaran yang tersisa. Dalam hati, Riki menggerutu. Bagaimana bisa guru-guru ini mengganggu murid yang sedang fokus berpikir hanya karena cakaran murid lainnya. Tetiba ia sadar, egois sekali menggerutu seperti itu.

Lonceng berbunyi, Riki dan Baso berjalan kaki dari sekolah ke rumah. Bercucur keringat karena matahari terik sekali.

"Kamu jawab apa nomor 20 tadi?" tanya Baso, ingin tahu.

"Lupa," ucap Riki santai.

"Paket soal kita beda ya, Ki?"

"Aku gak tau, So."

"Emang kalau beda soal, kita semua gak bakal nyontek ya, Ki?"

Riki memelankan jalannya. Menghela napas cukup panjang.

"So, kalau soal diacak dan pakai paket bisa minimalisir kecurangan," jawabnya, tak yakin dengan ucapan sendiri.

"Tapi kecurangan masih aja ada kan, Ki?" Baso mengelap kening yang mulai menetes keringat.

Sesampainya di rumah, Riki mengganti baju dan makan siang. Di luar rumah, sayup terdengar anak tetangga asyik bermain di bawah pokok kelapa.

"Anggap aja kita orang kaya ya, kita pakai mobil. Nih, nih mobilnya!"

"Aku orang kaya, ya."

Riki tersenyum. Apakah semua anak dari penjuru negeri bermimpi jadi orang kaya sedari dini? Tak terkecuali dirinya saat itu? Hidup memang teka-teki yang tak sudah. Riki banyak menghela napas untuk hari ini.

Pikirannya kalut akhir-akhir ini, sebab sakit ibu makin parah. Bapak harap cemas dengan hasil laut. Ia terus memikirkan kelangsungan pendidikannya, sebab butuh dua tahun lagi untuknya selesai menjalankan masa studi SMA.

Menjadi anak satu-satunya tak melulu soal makan enak, dan harapan yang senantiasa dipenuhi. Tak melulu soal kado-kado Ibu dan Bapak. Menjadi anak tunggal beban yang semakin nyata dirasakan Riki. Jika ekonomi keluarga semakin memburuk, ia mau tak mau membantu Bapak melaut.

---

Minggu ke minggu semakin berat dilaluinya. Libur akhir semester menyisakan tanda tanya. Akankah ia mengenyam pendidikan sampai usai?

Cuaca buruk, Riki tidak ikut melaut dan bapak meminta Riki menjaga ibu. Riki di ambang kegentingan, ranking tak menjadikan ia aman dan bisa terus bersekolah. Seminggu lagi, ia masuk sekolah dan akan penjurusan.

Senja indah sekali ditatapnya. Ibu masih tertidur lelap. Diceknya sesekali napas ibunya, barangkali nyawa sudah di tangan pencipta. Riki selalu berjaga akan hal itu.

---

"Ki, Bapak jujur aja sudah mulai gak sanggup bayar sekolahmu. Biaya berobat ibu juga bikin ngos-ngosan. Meskipun kamu sekolah negeri, Ki."

Terngiang selalu ucapan Bapak saat melaut waktu itu. Namun Ibu selalu jadi penguatnya untuk mengenyam pendidikan yang layak. Kata orang, belajar bisa di mana saja. Namun bagaimana jika ia belajar di rumah mengurus Ibu?

Akankah ia dapat ijazah untuk melamar pekerjaan? Pihak mana yang mau memberinya kemudahan? Sial, belajar nyatanya tak selalu menjunjung tinggi kebebasan. Untuk orang kecil seperti Riki, sistem jadi pengikat dan cita-cita hanya delusi.

Sudah cukup baginya Ibu dan Bapak direndahkan tetangga karena tak punya apa-apa. Kapal untuk melaut pun bukan milik bapak.

Apa harus aku mendendam untuk jadi lecutan semangat dan bercita-cita jadi orang kaya dan dipandang? Tanya Riki di depan cermin tiap kali menyisir rambutnya.

Langkahnya memulai hari pertama sekolah dengan gontai. Di tengah-tengah upacara saat menyanyikan Indonesia Raya, bendera SMAN 1 Mamuju berkibar. Tiang bendera juga masih kokoh berdiri. Anak-anak pesisir berbahagia, tidak dengannya.

Apa betul bangsa ini merdeka? Tanyanya dalam hati.

Ditulis oleh Restu Almalita, mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2018.



Kolom Komentar

Share this article