Cerpen

(Not) Evergreen

Sebuah cerpen dari Yasmiin Khoirul Bariyyah, Pendidikan Dokter Umum 2015. (Sumber foto: istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


“Aku mau kita jadi lebih dari sekedar teman…” Sewoon tiba-tiba menatapku serius.
Aku berbalik menatapnya ragu.
“…. Maksudnya?” tanyaku pura-pura tak mengerti.
"Kamu mau jadi pacar aku?” Lelaki ini mengangkat ujung bibirnya tinggi.
Tanpa basa-basi aku mengangguk pelan sambil membalas senyumannya.


“Wah, kalau diingat-ingat lucu juga, ya?” gumamku.

Sudah setahun lamanya sejak kejadian ‘bersejarah’ itu terjadi. Aku tak bisa mengelak, banyak hal yang berubah. Seperti kenyataan bahwa aku sudah menunggunya di cafe ini lebih dari setengah jam. Dia dulu tidak seperti ini, bahkan selalu datang 15 menit sebelum jam janjian kita. Tapi beberapa bulan terakhir ini dia selalu membuatku menunggu. 

"Mungkin karena masalah kampus atau organisasi?" Yah, begitulah caraku memahaminya.

Sudah setengah jam aku duduk, mengaduk vanilla latte-ku untuk mendinginkannya. Pikiranku melayang. Satu tahun, lama ya? Banyak hal yang dulu kita lakukan bersama, tapi kini sudah tidak. Sibuk. Alasan klise memang, tapi ya memang begini adanya.

Kling-kling

Pintu cafe terbuka. Sewoon melangkahkan kakinya masuk. Aku langsung menoleh kearahnya sambil tersenyum.

“Sudah lama?” tanyanya.

“Enggak kok, baru aja,”

Huh, bahkan setelah satu tahun bersama, aku tidak berani jujur tentang masalah sekecil ini.

Lelaki dengan kemeja kotak-kotak ini duduk di depanku, membuka laptopnya dan mulai fokus dengan pekerjaannya. Sesibuk itu ya? Ya, aku hanya bertanya dalam hati, tak berani mengganggunya.

Aku akhirnya bangkit dan bergerak dalam sunyi untuk memesan Americano untuknya.

Sekian banyak hal yang berubah, tapi minuman favoritnya tetap sama, Americano dengan setengah gelas kecil sirup. Aku menaruh cangkir hangat itu di atas meja. Lelaki yang masih sibuk dengan laptopnya ini tanpa basa-basi mengangkat cangkir Americano-nya dan menyuruputnya.

Masih dalam diam, aku dan Sewoon menikmati kopi kita masing-masing. Tidak ada yang mencoba memulai pembicaraan.

Benar-benar, lelaki ini! Aku bahkan menunggu seminggu, mengerjakan semua tugas organisasi dan paper ku pagi ini untuk bertemu dengannya, tapi di sini aku hanya bisa melihatnya yang sibuk dengan urusannya sendiri? Huh, bodohnya aku juga tidak berani membuka pembicaraan karena takut mengganggunya.

Aku terus memandang wajahnya. Tak banyak yang berubah dalam setahun, raut muka seriusnya selalu sama seperti ini. Hanya saja, mengapa aku merasa aku sedang bersama orang yang berbeda?

Aku meraih bungkus roti yang ada di meja, dan membaliknya, melirik tanggal kadaluwarsa.

Semua hal memiliki masa kadalwuarsa, begitu juga kita. Apakah ini saatnya?

Apa ini benar-benar saatnya berhenti? Apa sudah tidak bisa diperbaiki?

Bahkan tidak ada yang bisa diperbaiki, karena ini hanya masalah waktu dan perasaannya yang sudah berubah. Tapi tidak bisakah dia ungkapkan saja, daripada kita selalu terjebak dalam keadaan canggung seperti ini?

Ribuan pertanyaan mengacaukan pikiranku, terlebih lagi kenyataan bahwa aku tidak bisa menemukan solusinya.

Sewoon menghela napasnya keras, menghentikan kesunyian, menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas.

Kemudian akhirnya mata kami bertemu, aku sedikit tersentak kaget.

“Pulang?” ucap Sewoon.

“Ah… iya,”

Kami akhirnya berdiri dan melangkahkan kaki keluar cafe, masih dalam keadaan canggung.

Bahkan langit mengerti perasaanku, tiba-tiba hujan deras menyelimuti hari ini. Kami berlindung di bawah kanopi toko yang kebetulan tutup. Sewoon kembali menghela napas, entah karena di sini hanya ada aku dan dia atau karena alasan lain, helaan napasnya berat.

Aku akhirnya mencoba mengumpulkan keberanianku untuk membuka pembicaraan.

“Aku pikir ini akhirnya, ya?”

Kenapa dari sekian banyak pertanyaan dan kalimat yang ada di muka bumi ini, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku? Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku memaki diriku dalam hati.

Sewoon merapikan letak tasnya, “…. Hm?” gumamnya.

Sudah beberapa bulan ini aku memaksakan genggamanku dalam hubungan ini, dan sekarang aku mulai lelah. Haruskah aku mengatakannya saat ini, melepaskan semuanya?

“Kamu tahu… Kita sepertinya… Sudah tidak ada jalan lagi. Haruskah kita berhenti sekarang?”

Aku mulai merenggangkan genggamanku, tapi hatiku masih menginginkan lelaki ini yang berbalik menggenggam hubungan kita erat.

Tidak, aku tidak akan berharap!

“Kalau itu menurutmu aku…?” tanyanya.

Dari nada bicaranya aku bisa merasakan dia bahkan tidak mencoba menahanku.

Tapi memang tidak ada alasan untuk bertahan, jadi, untuk apa?

Jika dulu dia pernah bilang dia menyukaiku tanpa alasan, dia juga bisa ‘tidak lagi menyukaiku’ tanpa alasan.

Berakhir sudah, genggamanku lepas. Aku menghela napas dalam-dalam.

Hujan masih menyelimuti kita yang diam seribu bahasa.

Sewoon tiba-tiba berjongkok. Lelaki ini membetulkan tali sepatuku yang lepas karena terinjak saat berlari untuk berlindung dari hujan. Dia kemudian berdiri, menatapku sambil tersenyum. “Maaf….” kata itu meluncur dari mulutnya, satu kata yang tiba-tiba menusukku.

Aku membalas senyumnya, “… Tak perlu,” jawabku.

Sewoon mengangkat tasnya di atas kepala dan kemudian berlari menerobos hujan, meninggalkan aroma tubuhnya dan diriku yang hanya bisa melihat punggungnya yang mulai hilang dari pandangan.

Ini sungguh selesai.

Kalau genggamanku sudah kulepaskan dari dulu, akankah rasanya sesakit ini?

Aku melirik tali sepatuku yang diikat olehnya. Bahkan di saat-saat terakhir pun.

Dasar bodoh! benar-benar lelaki bodoh!

Tanpa sadar air mataku yang menumpuk, mulai jatuh ditemani rintik hujan yang tak kunjung reda.

Ditulis oleh Yasmiin Khoirul Bariyyah, mahasiswi Pendidikan Dokter Umum 2015.



Kolom Komentar

Share this article